Mohon tunggu...
Mubariq Alfaridzi
Mubariq Alfaridzi Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Seorang mahasiswa Jurnalistik UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Gerakan Pembaharuan Islam dari Ranah Minangkabau

25 Desember 2023   23:48 Diperbarui: 27 Desember 2023   11:07 223
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Lahirnya gerakan pembaharuan Islam di Minangkabau bersamaan dengan masuknya Islam di Minangkabau. Dalam aktivitas pendidikan Islam tadi merupakan pengalaman yang krusial bagi kelangsungan perkembangan Islam dan umatnya, baik dari segi kualitas maupun kuantitas.

Dari sebagian ahli sejarah, masuknya Islam ke Minangkabau diperkirakan pada awal abad ke-7 Masehi. Pada tahun 674 Masehi, sudah terdapat masyarakat Arab Muslim di pesisir timur pulau Sumatera. Melalui berdagang, mereka membawa masuk agama Islam ke Minangkabau melalui aliran sungai-sungai tersebut. Agama Islam pun berkembang pesat pada abad ke-13 Masehi, saat kerajaan Islam Samudera Pasai  timbul sebagai kekuatan dalam wilayah perdagangan Selat Malaka.

Ulama yang terkenal hingga kini sebagai penyebar agama Islam di Minangkabau adalah Syekh Burhanuddin (1646-1704 M) yang berasal dari Sintuk, Pariaman. Beliau mengajarkan agama Islam serta membuka madrasah (surau) tempat pendidikan dan pengajaran agama Islam. Menurut Prof. H. Mahmud Yunus, Syekh ini yang pertama kali membangun madrasah untuk menyiarkan pendidikan dan pengajaran Islam di Minangkabau menggunakan sistem yang lebih teratur sesuai dengan sistem pendidikan dan pengajaran yang dilakukan oleh gurunya, Syekh Abdul Rauf dari Aceh.

Lahirnya Gerakan Pembaharuan Islam di Minangkabau

Berawal sesudah Perang Paderi tahun 1837 ditandai jatuhnya Bonjol ke tangan Belanda. Kaum Paderi gagal memenangkan perang dengan Belanda, tapi sukses memperbaharui masyarakat Minangkabau dengan pengaruh yang signifikan. Mereka berhasil memberi pengaruh kuat agama Islam dengan perumusan "Adat Basandi Syara', Syara' Basandi Kitabullah" semboyan ini sebagai keberhasilan gerakan menyatukan antara agama dengan sistem budaya. Perumusan sistem ini mendahulukan perbedaan antara adat asli yang lama dengan adat Islamiyah, yaitu adat yang sesuai dengan ajaran Islam.

Awal abad ke-20 sebagai salah satu fase dinamis dalam kehidupan masyarakat Minangkabau, karena terdapat dua gejala kemoderenan yang ada saat itu. Di satu sisi pendidikan Barat sudah memperkenalkan konsep rasional yang digunakan dalam mengenal perilaku budaya masyarakat. Dalam kehidupan beragama masih terdapat perilaku bid'ah. Untuk itu, gerakan pembaharuan Islam di Minangkabau saat itu di satu sisi mengambil sistem pendidikan Barat dalam institusi pendidikan, di sisi lain secara penting juga mengedepankan rasionalitas beragama.

Pembahasan kali ini mengenai gerakan pembaharuan Islam dari masa ke masa, yang terbagi dalam tiga bagian. Berikut penjelasan mengenai fase-fase gerakan pembaharuan Islam di Minangkabau yaitu :

1. Fase Pertama (Abad ke-18) Tuanku Nan Tuo dari Koto Tuo

Pada abad ke-18 terdapat tiga ordo sufi yang berkembang di Minangkabau, yaitu Naqsyabandiah, Syathariyah, dan Qadariyah. Gerakan pembaharuan Islam ini dirintis oleh Tuanku Nan Tuo dari Koto Tuo yang dilakukan dengan cara persuasif dengan tujuannya mengubah perilaku jahiliyah di Minangkabau.

2. Fase Kedua (Abad ke-19) Tiga Haji Beraliran Wahabi

Pada abad ke-19 gerakan pembaharuan Islam dirintis oleh tiga Haji beraliran Wahabi seperti Haji Miskin, Haji Sumanik, dan Haji Pionang. Fase ini bersifat militerisme dengan adanya peperangan antara Kaum Adat dan Paderi yang bertujuan untuk memurnikan ajaran agama Islam.

3. Fase Ketiga (Abad ke-20) Pemikiran Tokoh-tokoh Gerakan Pembaharuan Islam di Minangkabau

Pada abad ke-20 gerakan pembaharuan Islam di fase ini bertujuan untuk mengubah perilaku masyarakat Minangkabau yang berbau khurafat, bid'ah, taqlid, takhayul, dan syirik. Pembaharuan yang dilakukan oleh ulama beraliran modernis ke dalam institusi pendidikan Islam. Perintis dari gerakan pembaharuan ini dilakukan oleh Syekh Khatib Al-Minangkabawi dengan muridnya seperti Syekh Muhammad Jamil Jambek, Syekh Abdullah Ahmad, dan Syekh Abdul Karim Amrullah (Buya Hamka) dengan pembaharuan melalui pendidikan dan pers Islam.

Selanjutnya, ada pendapat dari Deliar Noer (1982) mengenai "tiga serangkai" yaitu tokoh pembaharuan Islam pada abad ke-20 seperti Syekh Jamil Jambek, Syekh Abdullah Ahmad, dan Syekh Abdul Karim Amrullah. Berikut penjelasan tentang tiga tokoh pembaharuan Islam pada fase abad ke-20 :

Tokoh-tokoh Gerakan Pembaharuan Islam di Minangkabau

1. Syekh Muhammad Jamil Jambek

Lahir di Bukittinggi pada tahun 1860, di masa muda ia dikenal sebagai parewa (preman) yang tidak mempunyai tujuan hidup. Lalu, di tahun 1896 ia mendapat hidayah dengan pergi ke Mekkah, di sana ia memperdalam ilmu agama dengan beberapa guru, seperti Syekh Ahmad Khatib Al-Minangkabawi dan Syekh Tahir Jalaluddin.

Pada tahun 1903, ia kembali ke Bukittinggi sebagai ulama yang disegani. Sebagai ulama, ia tidak setuju dengan adanya ajaran tarekat, suluk, dan praktek bid'ah. Dia juga menentang keras orang yang berdo'a di atas kuburan. Dengan cara berdialog dengan orangnya, supaya mereka kembali mengamalkan ajaran Al-Qur'an dan Hadist. Sebagai orang yang membangun hubungan baik dengan siapa saja, adanya hikmah kebijaksanaan serta pertukaran pikiran mengenai masalah agama yang dilakukannya

Selain aktif menyebarkan agama melalui pengajian di Bukittinggi, dia juga mendirikan organisasi sosial bernama Tsamaratul Ikhwan pada tahun 1913. Organisasi ini juga menerbitkan buku-buku berupa brosur pelajaran agama. Di tahun 1918, ia mendirikan surau yang terkenal dengan nama Surau Inyiak Jambek. 

2. Haji Abdullah Ahmad

Lahir di Padang Panjang pada tahun 1878. Pada usia 17 tahun ia melanjutkan belajar ke Mekkah serta menetap selama empat tahun di sana, lalu kembali ke Minangkabau pada tahun 1899. Dia memprotes keras tradisi jahiliyah yang berlawanan dengan Al-Qur'an dan Sunnah. Demi mewujudkan sikapnya, ia mulai mengajar di Surau Jembatan Besi, Padang Panjang. Tidak hanya lewat masjid dan mushalla ia berdakwah, tapi juga lewat pers Islam.

Tahun 1909 dia mendirikan sekolah Adabiah setelah mengunjungi "Madrasah al-Iqbal al-Islamiyah" adalah sekolah agama yang terkenal yang didirikan oleh Syekh Tahir Jalaluddin di Singapura. Selain itu, ia juga membangun hubungan baik dengan tokoh pembaharuan Islam lainnya. 

Abdullah Ahmad menerbitkan majalah Al-Munir pada tahun 1911 yang dibantu oleh Buya Hamka, Muhammad Dahlan Sutan Lembak Tuah, Sutan Muhammad Salim, Haji Mara Muhammad bin Abdul Hamid, dan Haji Sutan Jamaluddin Abubakar. Kemudian, di tahun 1926 bersama Buya Hamka diundang ke Mesir untuk mengikuti kongres Khilafah sedunia. Selama di sana mereka menarik perhatian ulama-ulama Al-Azhar sehingga diberi gelar "Dokter al-din" sebagai pengakuan terhadap keahliannya tentang Islam.

3. Haji Abdul Karim Amrullah (Buya Hamka)

Lahir di Maninjau, 17 Februari 1908 dari keluarga ulama. Dia adalah salah satu tokoh utama gerakan pembaharuan Islam yang membawa kaum muda. Buya adalah panggilan khas orang Minangkabau yang artinya abi atau, abuya dalam bahasa Arab artinya ayahaku atau orang dihormati. 

Dia berangkat ke Mekkah saat usia 15 tahun, dan menetap selama 7 tahun (1894-1901) serta belajar dengan guru lain seperti Syekh Ahmad Khatib Al-Minangkabawi dan Syekh Tahir Jalaluddin. Kembalinya pada tahun 1901 ke Maninjau orang nagari menyelenggarakan acara besar untuk melantiknya sebagai Syekh.

Tahun 1906, dia mulai mengajar serta menyebarkan gagasannya, bahkan mengajar di berbagai tempat salah satunya Surau Jembatan Besi, Padang Panjang. Dia merupakan seorang yang ahli pidato, dengan pembawaan yang lugas dan tegas mampu membangkitkan semangat. 

Sebagai ulama, ia berhasil memperbaharui Islam di Minangkabau. Selain menyebarkan idenya melalui pendidikan, dia juga menggagas dakwah lewat pers. Dengan Syekh Abdullah Ahmad menerbitkan majalah "Al-Munir". Saat pemerintahan Belanda menjalankan Goeroe Ordonantie yang artinya keharusan bagi guru agama Islam mendapat izin mengajar dari pemerintahan tahun 1928. Dia memprotes tindakan tersebut dengan mengajak ulama lain menentang kebijakan tersebut.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun