Gunung Arjuno terletak di perbatasan Kota Batu, Kabupaten Malang dan Kabupaten Pasuruan yang dikelola di bawah naungan Taman Hutan Raya Raden Soerjo. Dengan memiliki ketinggian mencapai 3.339 meter di atas permukaan laut, menjadikan Arjuno sebagai gunung tertinggi nomor 2 di Jawa Timur setelah gunung Semeru. Gunung ini memiliki status istirahat sehingga aman untuk kegiatan pendakian.
Kegiatan pendakian di gunung Arjuno sempat ditutup sejak bulan Agustus 2023 silam akibat kebakaran hutan dan dibuka kembali pada 15 Juni 2024 lalu. Ada 4 jalur untuk mendaki gunung ini yaitu Tretes, Sumber Brantas, Lawang dan Tambaksari atau dikenal juga dengan Purwosari. Dari ke empat jalur tersebut, jalur Tambaksari menjadi jalur terpanjang dan cukup landai dari jalur lainnya.Â
Saya dan beberapa teman kuliah melakukan pendakian ke gunung Arjuno via Tambaksari pada 10-11 Juli 2024 lalu. Kami berlima memilih jalur ini karena penasaran dengan cerita kemistisannya dan juga tertarik dengan situs bersejarah yang banyak ditemukan di sepanjang jalur ini.
Pendakian kami awali dengan melapor di basecamp. Sebelumnya, pendaftaran pendakian dilakukan secara online melalui website Tahura Raden Soerjo. Basecamp ini terletak di Dusun Tambakwatu, Desa Tambaksari, Kecamatan Purwodadi, Kabupaten Pasuruan. Di basecamp, kami melakukan laporan dan pengecekan perlengkapan serta logistik yang akan dibawa saat pendakian. Biaya registrasi sebesar Rp.20.000 per orang selama satu hari dan maksimal pendakian adalah 3 hari 2 malam. Menurut SOP terbaru, anggota pendakian minimal 3 orang.
Setelah melakukan laporan dan pengecekan di basecamp, kami menuju pos 1 dengan menggunakan sepeda motor pribadi. Sekarang sepeda motor sudah bisa langsung parkir di pos 1 Goa Antaboga. Biaya parkir sepeda motor di sini sebesar Rp.15.000.
Pos 1 dinamakan Goa Antaboga karena di sini terdapat sebuah goa dan masyarakat sekitar meyakininya sebagain mulut dari ular naga raksasa bernama Antaboga. Goa ini memiliki kedalaman 1,5 meter dan lebar 1 meter serta ketinggian 1,25 meter. Antaboga sendiri diambil dari nama tokoh pewayangan yakni Sang Hyang Antaboga yang memiliki wujud ular naga raksasa sebagai dewa penguasa bawah tanah.
Di depan goa sudah dibangun cungkup sehingga dapat dimanfaatkan pendaki untuk melepas lelah dan juga sering digunakan masyarakat untuk ziarah dan melakukan ritual. Aroma dupa sudah sangat terasa di pos ini. Pos 1 memiliki fasilitas yang sangat lengkap mulai dari musholla, kamar mandi, tempat wudhlu dan warung-warung.
Setelah dari pos 1, kami melanjutkan perjalanan ke pos 2 dengan berjalan kaki. Waktu itu kami mulai berjalan kaki sekitar jam 4 sore sehingga tidak terasa panas. Trek yang dilalui sangat mudah karena berupa paving yang tersusun rapi hingga pos 2. Disepanjang jalur menuju pos 2 kami melewati perkebunan kopi di kanan kiri jalur. Di tengah tengah perjalanan kami mencium aroma dupa yang sangat kuat. Ternyata berasal dari sebuah batu di pinggir jalur. Batu tersebut diberi sejumlah dupa dan bunga-bunga yang terlihat masih baru.
Sekitar 40 menit berjalan, akhirnya kami tiba di pos 2 Tampuono. Di pos 2 ini terdapat warung dan juga gubuk-gubuk untuk para peziarah. Ada salah satu bangunan di pos ini yang menjadi tujuan ziarah yaitu petilasan Eyang Sekutrem. Di pos 2 ini juga terdapat sumber air yang melimpah bernama Sendang Dewi Kunti. Petilasan Eyang Sekutrem berada di dalam bangunan kecil. Bentuknya seperti sebuah reruntuhan makam.
Lepas dari pos 2 kami berjalan menuju pos 3. Jalan dari pos 2 menuju pos 3 ini sudah mulai berupa tanah padat dan tangga alami dari akar-akar pohon. Sepanjang jalan selalu tercium bau dupa karena situs-situs untuk berziarah tidak hanya di pos-pos saja, melainkan di sepanjang jalur pendakian. Jalur ini sudah mulai banyak tanjakan. Menjelang magrib, kami sampai di pos 3 Eyang Sakri.
Pos 3 ini diberi nama Eyang Sakri karena di sini terdapat petilasan Eyang Sakri di dalam sebuah bangunan kecil. Pos ini memiliki halaman yang cukup luas untuk mendirikan beberapa tenda. Namun tidak disarankan mendirikan tenda di sini karena merupakan tempat berziarah.
Setelah beristirahat sebentar, kami meneruskan perjalanan ke pos 4 Eyang Semar. Jalan menuju pos 4 ini pada awalnya landai setelah itu langsung menanjak tanpa ampun. Karena hari sudah mulai gelap, kami menyalakan senter kepala untuk menerangi jalan. Kami terus berjalan mengikuti jalan yang cukup jelas sampai tercium bau dupa yang menyengat. Kami sangat senang karena jika tercium bau dupa yang kuat berarti pos sudah mulai dekat.
Benar saja kami sudah sampai di pos 4 Eyang Semar sekitar jam 18:30 WIB. Di pos 4 kami melaksanakan sholat magrib dulu di shelter peziarah mumpung masih ada waktu. Pos ini dinamakan Eyang Semar karena di sini terdapat arca berbentuk tokoh pewayangan Semar. Konon, arca Semar ini merupakan perwujudan Semar yang paling tua.
Setelah sholat kami melanjutkan perjalanan menuju pos 5 makuto romo. Perjalanan dari pos 4 ke pos 5 ini langsung menanjak terus. Tidak perlu khawatir jika menjumpai jalan setapak yang tiba tiba bercabang karena pada akhirnya akan bertemu lagi di jalur yang sama. Pendaki bisa memilih jalur yang nanjak atau cukup landai.
Sekitar jam 8 kami sampai di pos 5 Makuto Romo. Di sini kami mendirikan tenda untuk istirahat dan persiapan untuk summit dini hari nanti. Di pos 5 ini terdapat sebuah situs berupa punden berundak yang cukup besar dan tinggi berbentuk persegi dengan beberapa tingkat. Di puncaknya terdapat sebuah batu menyerupai mahkota.Â
Pos 5 merupakan tempat yang ideal utuk ngecamp karena tempatnya yang luas juga terdapat kran air yang berfungsi dengan baik. Di sini terdapat pula kamar mandi serta WC. Namun kondisinya cukup jorok. Pada saat itu teman saya bercerita bahwa di dalam wc masih ada kotoran yang tidak disiram. Bak mandi pun juga tidak ada airnya. Bau pesing sangat menyengat ketika memasuki kamar mandi.
Jam setengah dua dini hari, kami melanjutkan perjalanan ke puncak. Kami melewati pos 6 Candi Sepilar. Dinamakan candi Sepilar karena pos ini memang berupa candi yang masih utuh. Ada 3 bangunan candi di pos ini. jarak antara pos 5 ke pos 6 hanya beberapa meter saja dengan jalur tangga kuno yang tersusun rapi dan diapit oleh arca raksasa membawa tongkat di sepanjang tangga.
Kami tidak berhenti di pos 6 dan langsung berjalan menuju pos 7 Jawa Dwipa. Jalan menuju pos 7 ini cukup melelahkan karena tanjakan yang tak habis-habis ditambah perjalanan malam hari yang minim oksigen. Sekitar 1 jam berjalan, kami tiba di pos 7 Jawa Dwipa. Pos 7 merupakan tempat untuk ngecamp terakhir sebelum menuju puncak. Di sini tidak terdapat sumber air karena sumber air terakhir ada di pos 5.di pos ini terdapat tumpukan batu yang digunakan sebagai tempat pemujaan. Hal ini bisa dilihat dengan adanya sajen di batu tersebut.
Kami istirahat sekitar 15 menit di pos tersebut. Setelah itu kami berjalan lagi menuju pos 8 Plawangan. Jam 5 pagi matahari sudah mulai menampakkan sinarnya. Gunung Bromo dan Semeru terlihat sangat jelas di jalur ini. sekitar jam 7 pagi, kami sampai di pos 8 Plawangan. Meski namanya pos, di sini sama sekali tidak ada area yang lapang. Pos 8 hanya berupa jalur persimpangan antara Purwosari atau Tambaksari dan jalur Lawang.
Kami terus melanjutkan perjalanan dengan trek yang sangat menanjak untuk menuju puncak. Jam 8 pagi kami sudah sampai di puncak Arjuno. Total lama perjalanan untuk menuju puncak saja mencapai 7 jam jika ditempuh dari pos 5. Wajar apabila jalur ini disebut sebagai jalur terpanjang untuk pendakian Arjuno.
Dari pengalaman pendakian tersebut saya sama sekali tidak merasakan keangkeran atau nuansa horor. Padahal pendakian tersebut dilakukan pada bulan suro yang diyakini sebagai bulan yang bernuansa mistis. Sebaliknya saya merasakan suatu ketenangan dan kenikmatan karena mencium aroma dupa disepanjang perjalanan. Apalagi jalur ini merupakan jalur yang terbilang sepi daripada jalur lain.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI