Sekalipun banyak perspektif yang bisa digunakan untuk mengkaji film Joker, terutama sisi psikologis, tapi perspektif Marx tentang perjuangan kelas bisa dibilang sangat relevan untuk menggambarkan film yang disutradarai oleh Todd Phillips ini.
Lihatlah bagaimana anak-anak orang kaya dengan sombong dan banalnya merampas papan iklan yang digunakan sebagai alat permainan badut, Arthur Fleck (Joaquin Phoenix). Ini adalah simbol penindasan kelas menengah-atas (borjuis-kapitalis) terhadap kelas bawah (kaum buruh-proletar).
Dendam berkepanjangan itu kemudian mememuncak hingga mampu mendorong ribuan badut, sebagai representasi buruh, melakukan revolusi, dan menguasai negeri.
Arthur yang dibesarkan dalam masyarakat kapitalis, hidup di gang kumuh di sudut kota. Dia harus mencari nafkah untuk bertahan hidup kepada pemilik modal yang berkuasa atas alat-alat produksi perbadutan.Â
Ibunya, Penny Fleck (Frances Conroy), yang sangat dicintai, sudah terlalu tua sehingga butuh perawatan intensif dan ditemani. Dengan berprofesi sebagai badut, Arthur juga bisa terus menyambung hidupnya.
Sayang, perjalanan hidup Arthur tak selalu mulus. Arthur harus berhadapan dengan kebengisan kota. Anak-anak yang dibesarkan dari keluarga borjuis membuat Arthur teraleniasi (terasing).Tak hanya itu, agen perbadutan Haha, Ted Marco (Marc Maron) selalu memperlakukan Arthur dengan tidak adil. Diskrimatif.Â
Semena-mena karena dia merasa yang memiliki modal. Dia berhak mengeksploitasi tenaga para buruh, termasuk Arthur, untuk bisa memutar modalnya sehingga usahanya terus bergerak. Pendek kata, apa yang melekat dalam diri Arthur, termasuk kesenangannya, telah dirampas dan ditentukan agen perbadutan.
Dendam dan Kejiwaan Arthur
Bullying terhadap Arthur terus berlanjut, di ruang kerja, sudut-sudut kota, bahkan di gerbong kereta api. Setiap gerak-gerik Arthur yang mestinya menjadi hak paling asasi pun, direnggut oleh orang-orang kelas borjuis. Di sinilah konflik semakin meruncing.