Seperangkat Kritik
Meski demikian, film ini tidak luput dari kekurangan. Misalnya, cerita seorang remaja yang jatuh cinta pada orang baru, selalu dilatarbelakangi dengan keburukan watak dari pacar lamanya. Ini terjadi pada Milea. Alasan klasik ini selalu digunakan untuk memutus pacar guna berganti dengan pacar baru sehingga tampak rasional dan tidak jahat. Cerita cinta ini cukup basi dan selalu menjadi konsumsi film remaja dan sinetron televisi. Â
Selain itu, dandanan menor Milea dan teman-temannya di SMA cukup mengganggu karena bisa mengurangi kenaturalan seorang siswa. Ini berbeda dengan siswa-siswa SMA dalam film Ada Apa Dengan Cinta. Wajah Cinta (Dian Sastro) dan teman-temanya tampak natural, tanpa polesan kosmetik yang tebal. Karena memang begitulah semestinya seorang siswa SMA, apalagi pada tahun 1990.
Sementara sejumlah kritikus mengkritik tentang adegan ugal-ugalan dan tak mengenakan helm saat di jalan raya. Pada tahun 1990 memang penggunaan helm di jalan raya tak seketat sekarang, apalagi harus pakai helm SNI. Juga tentang kata-kata Dilan yang menyebut gurunya, Pak Suripto, yang mencintai Milea. Adegan ini dianggap melecehkan institusi pendidikan. Apalagi sampai ada kata-kata "Membakar sekolah".Â
Namun kalau kita melihat film sebagai representasi dari fakta sosial, mestinya kritik itu tak pernah ada. Kecuali memang benar-benar dianggap sebagai adegan vulgar.
Terlepas dari itu semua, film ini cukup mengocok perut dengan humor-humor natural, mengharu biru untuk sebuah perjuangan cinta, dan tentu saja membawa kita kepada romantisme, ke alam asmara yang dimabuk dengan puisi-puisi pujangga yang sedang jatuh cinta. Sekalipun terkesan gombal! Sampai bertemu di Dilan 1991.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H