Mohon tunggu...
Muhammad Bahruddin
Muhammad Bahruddin Mohon Tunggu... Dosen - Dosen

Dosen Media dan Komunikasi Institut Bisnis dan Informatika Stikom Surabaya. Berminat pada penelitian media, politik, iklan, dan film. Saat ini sedang menyelesaikan program Doktoral Komunikasi Universitas Indonesia

Selanjutnya

Tutup

Kkn Pilihan

Dilan dan Seperangkat Kegombalannya

22 Februari 2018   12:15 Diperbarui: 7 Agustus 2024   08:58 1605
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
foto: dilan (cnnindonesia.com)

Seperangkat Kritik

Meski demikian, film ini tidak luput dari kekurangan. Misalnya, cerita seorang remaja yang jatuh cinta pada orang baru, selalu dilatarbelakangi dengan keburukan watak dari pacar lamanya. Ini terjadi pada Milea. Alasan klasik ini selalu digunakan untuk memutus pacar guna berganti dengan pacar baru sehingga tampak rasional dan tidak jahat. Cerita cinta ini cukup basi dan selalu menjadi konsumsi film remaja dan sinetron televisi.  

Selain itu, dandanan menor Milea dan teman-temannya di SMA cukup mengganggu karena bisa mengurangi kenaturalan seorang siswa. Ini berbeda dengan siswa-siswa SMA dalam film Ada Apa Dengan Cinta. Wajah Cinta (Dian Sastro) dan teman-temanya tampak natural, tanpa polesan kosmetik yang tebal. Karena memang begitulah semestinya seorang siswa SMA, apalagi pada tahun 1990.

Sementara sejumlah kritikus mengkritik tentang adegan ugal-ugalan dan tak mengenakan helm saat di jalan raya. Pada tahun 1990 memang penggunaan helm di jalan raya tak seketat sekarang, apalagi harus pakai helm SNI. Juga tentang kata-kata Dilan yang menyebut gurunya, Pak Suripto, yang mencintai Milea. Adegan ini dianggap melecehkan institusi pendidikan. Apalagi sampai ada kata-kata "Membakar sekolah". 

Namun kalau kita melihat film sebagai representasi dari fakta sosial, mestinya kritik itu tak pernah ada. Kecuali memang benar-benar dianggap sebagai adegan vulgar.

Terlepas dari itu semua, film ini cukup mengocok perut dengan humor-humor natural, mengharu biru untuk sebuah perjuangan cinta, dan tentu saja membawa kita kepada romantisme, ke alam asmara yang dimabuk dengan puisi-puisi pujangga yang sedang jatuh cinta. Sekalipun terkesan gombal! Sampai bertemu di Dilan 1991.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kkn Selengkapnya
Lihat Kkn Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun