Aku termenung mengingat lagi hidupku 10 tahun lalu. Aku dulu hanyalah seorang supir truk sayur yang mengantarkan sayur-sayuran dari Jawa Tengah ke pasar pasar induk di daerah Jakarta dan sekitarnya. Mulai pagi-pagi buta aku berkeliling dari daerah Banyumas sampai daerah Temanggung untuk memenuhi bak truk milik bos ku dengan sayur-sayuran segar. Lalu segera diantar ke daerah seputaran Jakarta. Istri dan anakku aku kontrakkan sebuah rumah petak sederhana di belakang pasar induk Cikupa, dekat dengan pool truk ku. Biasanya siang hari aku sudah sampai rumah, beristirahat dan malam nanti aku berangkat lagi ke daerah sentra sayur di Jawa Tengah. Waktu itu lelah tak terasa ketika sampai di rumah, disambut istriku dan Fitri, anak semata wayangku. Biasanya begitu datang aku langsung bermain dengan Fitri sambil makan siang di rumah.
Hari-hari kami bahagia hingga di usia 5 tahun, Fitri di vonis terkena leukimia. Aku dan istriku bingung harus bagaimana. Puskesmas sudah memberikan rujukan ke RSUD2 Tangerang dan membantuku untuk mendapatkan bantuan keringanan biaya pengobatan di RSUD. Penyakit anakku semakin parah dan mulai membutuhkan cuci darah dan itu tak tercover oleh bantuan rumah sakit.
“Mas, ini jual aja” kata istriku waktu itu, sambil menyerahkan kotak perhiasan berisi cincin dan kalung, paling beratnya hanya 7 gram. Perhiasan yang dulu kubeli dengan menjual warisan tanah bapakku. Biaya cuci darah waktu itu satu juta dua ratus ribu rupiah, hasil penjualan perhiasan emas itu tidak cukup untuk satu kali cuci darah. Aku berhutang ke mana-mana, ke bos truk ku, ke tetangga-tetanggaku… hingga tak ada lagi tempat berhutang.
“Parjo, kau mau kerja di Irian Jaya3…. gajinya bisa 5 kali lipat dari kau bekerja disini” Bos ku berkata kepadaku ketika aku baru saja pulang dari mengantarkan sayur.
“kawanku telepon tadi, masih satu marga denganku di batak sana…. dia butuh sopir pertambangan katanya, nah bolehlah kau coba lamar di sana. buat Fitri, anak kau yang lucu itu”
Aku terdiam sejenak, “Buat Fitri anak kau yang lucu itu”, bagian kata-kata bos ku ini membuatku langsung bilang iya. Bos truk sekaligus juragan sayur pasar induk ini sangat baik padaku. Aku waktu itu tak berpikir bahwa truk yang kubawa adalah truk berukuran super besar seperti sekarang. Jika saat itu aku tahu, mungkin aku tolak tawarannya. Saat pertama kali melihat truk monster itu di lokasi pertambangan waktu itu, perutku sudah mual tak karuan.
“Mas yakin arep budhal nang Irian4?” istriku bertanya lagi kepadaku ketika aku mengutarakan maksudku
“Iki gae Fitri, Gae cuci darah nang RSUD… duite lumayan akeh. Aku wis isin ngutang nang kene” Ucapku sambil mengusap kepala Fitri yang tertidur di pangkuanku. Mukanya pucat, baru saja tadi siang cuci darah untuk yang kedua kalinya.
Aku akhirnya melamar dan diterima bekerja di pertambangan itu. Tiga bulan pertama bekerja, aku masih bisa menengok istri dan anakku seminggu sekali karena aku masih training di kantor Jakarta. Aku diajari tentang seluk beluk perusahaan, keselamatan kerja, dan prinsip dasar pertambangan. Lalu setelah itu ketika sudah berangkat ke Papua, aku sudah tidak lagi pulang ke rumah kontrakanku di Jawa. Komunikasi kami hanya lewat surat dan wesel pos kirimanku. Syukur alhamdulillah, biaya cuci darah Ftri dapat aku penuhi dengan gajiku walaupun aku harus hidup sangat sederhana di Papua. Aku mulai bisa agak lega ketika sudah lewat masa 6 bulan masa training lapangan di site tambang. Gajiku sudah dibayar penuh dan dapat mengirim sedikit berlebih ke Jawa.
Kabar mengejutkan datang ketika sudah satu tahun aku bertugas di site sebagai junior driver. Fitri ku tidak tertolong lagi. Mungkin karena fisiknya yang kecil dan ringkih, hingga rasa sakit tak terkira sehabis cuci darah telah membuatnya menyerah. Aku menerima kabar itu ketika bertemu dengan Pak Sinaga, kawan bos truk ku dan sekarang sudah menjadi kepala divisiku. Aku tak bisa langsung pulang ke Jawa, bekerja di site tambang sangatlah keras dan disiplin. Tak perduli siapa anggota keluarga yang meninggal, izin meninggalkan site harus dibuat dulu dan menunggu persetujuan kepala site.Baru tiga minggu kemudian aku bisa pulang ke Jawa. Pedih rasanya melihat pusara mungil tempat bersemayamnya bocah berusia 6 tahun yang selama ini kusayangi sepenuh hati. Hati ayah mana yang tidak hancur tidak bisa melihat wajah putrinya untuk terakhir kalinya.
Istriku masih shock berat. Termenung setiap hari di kamar kontrakan kami yang kecil. Ia Menangis setiap hari dan tak bisa beraktivitas apa-apa lagi. Aku tak bisa berbuat apa-apa karena kutahu selama ini dia yang dekat dengan anakku, merawat anakku, dan menemaninya ketika ajal menjemputnya. Karena kesehatannya menurun drastis, aku bawa dia ke Papua agar aku bisa lebih memperhatikannya. Aku mengontrak rumah di Mimika untuk kami berdua. Aku ijin kepada kepala divisi untuk sementara tak tinggal di asrama. Depresi nya semakin menjadi-jadi, dokter tak mengerti penyakitnya apa. Tubuhnya kurus kering, matanya pucat terlalu banyak menangis. Aku bukannya tidak bersedih hati atas kehilangan putriku, tapi aku harus tetap berjuang sendiri untuk menguatkan istriku.Sejak sampai di Papua, tak banyak komunikasi yang bisa aku lakukan. Dia jarang bicara pada siapapun. Aku merawatnya dengan penuh kasih sayang dan segenap kemampuanku hingga 8 bulan kemudian dia wafat dengan membawa kesedihannya. Hatiku sudah tergores dan tercabik-cabik. Baru saja putriku wafat, lalu aku juga harus kehilangan istri tercintaku.