Mohon tunggu...
Muarrifuzzulfa
Muarrifuzzulfa Mohon Tunggu... Perawat - Pekerja profesional di rumah sakit Jerman

Kesederhanaan. Suka membaca buku, mendengar, bertukar pikiran dan menulis.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Butir Emas di Padang Pasir 3 (Reflection on Relationship)

5 Agustus 2024   23:52 Diperbarui: 6 Agustus 2024   01:23 76
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Butir Emas di Padang Pasir

oleh : Mu'arrifuzzulfa

Mencari pelajaran kehidupan

            Beberapa waktu lalu saya menangani seorang pasien laki-laki berumur sekitar 85 tahun. Beliau secara fisik terlihat masih fit, tetapi secara psikologis terdapat gangguan. Pernah dalam sejarahnya ingin melakukan bunuh diri. Dia memiliki istri dan satu anak laki-laki. Saya mengenal baik pasien tersebut dan juga istrinya. Istrinya setiap hari menjenguknya bersama menantu perempuannya. Kurang lebih dalam kurun waktu seminggu, keadaan pasien menurun sangat drastis, ketika semua keluarga menjenguknya dia mengungkapkan bahwa dia sudah ingin mengakhiri hidupnya. 

            Hari silih berganti hingga dia berada pada titik dimana dia sudah terbaring di kasur dan sudah tidak berdaya lagi. Tarikan nafas yang sangat berat, pupil matanya dan berbagai tanda fisiologis sudah menunjukkan akhir hidup. Sebelumnya dalam kamar pasien tersebut terdapat pasien lain, tetapi karena keadaannya semakin memburuk, saya memindahkannya ke kamar lain agar pasien lebih tenang.

           

            Di hari selanjutnya sekitar jam 15.00 saya masuk ke kamar pasien, dan disana terdapat istrinya yang sedang duduk memandang suaminya  sambil memegang tangan suaminya yang sudah tidak berdaya lagi. Ketika saya masuk, istri pasien langsung mendatangi saya secara perlahan karena kami sudah mengenal baik. Kemudian dia bercerita banyak tentang perasaannya dan bagaimana mereka hidup bersama selama ini. Saya tidak berbicara sama sekali, saya hanya ingin mendengarkan dia bercerita dan mengungkapkan semua perasaannya. Saya sangat mengerti, dia ketika itu membutuhkan seseorang yang dapat mendengarkan dengan penuh empati.

           

            Mendengarkan bagimana mereka sudah lebih dari 50 tahun bersama sebagai pasangan sumai istri, saya sangat terharu ketika dia harus melihat pasangan hidupnya hanya bisa berbaring dan sudah tidak berdaya lagi. Karena dia seorang ibu dari anak laki-lakinya, saya ketika itu spontan teringat kepada ibu saya yang berada sangat jauh dengan saya saat ini, beliaulah yang mengajari saya bagaimana etika berbicara dengan seorang perempuan. Berbicaralah yang lembut, jaga sopan santun dan tata krama, gunakan empatimu dan berikan hormat ketika berhadapan dengan seorang perempuan, itulah beberapa hal yang diajarkan oleh ibu kepada saya.

            Setelah istri pasien merasa cukup untuk mengungkapkan perasaannya saya mengucapkan satu kalimat kepada dia sebelum saya meninggalkan mereka berdua di kamar tersebut, "Anda adalah wanita yang sangat baik, saya sangat respek bahwa anda masih ingin dan menyempatkan datang setiap waktu untuk menemani suami anda di akhir-akhri hidupnya. Saya yakin tidak semua istri seperti anda. Apa yang anda lakukan adalah hal yang sangat baik. Saya yakin dan saya ikut merekasakan bahwa ini adalah hal yang sangat susah bagi anda untuk melihat bagaimana suami anda menahan rasa sakit dan berada dalam kondisi ini.". Dia kemudian menjawab, "Terimakasih, saya meminta satu permintaan kepadamu. Nanti malam, anak laki-laki saya akan datang kesini, dia pasti akan kaget melihat ayahnya dengan keadaan seperti ini. Tidak pernah dalam hidupnya dia melihat ayahnya dalam keadaan seperti ini. Saya sangat berharap anda dapat berbicara dengan dia".

            Saya kaget mendengarkan permintaan itu, saya tidak menjawabnya dan hanya menganggukkan kepala seperti orang bingung ingin menolak tetapi sepertinya dia memberikan sebuah kepercayaan kepada saya. Ingin menolak karena saya yakin anaknya berumur lebih tua dari saya dan saya dididik orang tua dari kecil untuk menghormati orang yang lebih tua, selalu mendengarkan perkataan yang lebih tua dan bukan memberi pesan atau nasehat kepada yang lebih tua dari saya. Apalagi dalam kondisi ini anak tersebut selama hidupnya memiliki hubungan yang baik dengan ayahnya, sesuai cerita dari istri pasien. Disisi lain saya merasa diberi kepercayaan oleh istri pasien tersebut untuk sekedar berbicara dengan anaknya. Dilema terjadi dalam pikiran ketika itu. Berfikir positif dan profesional mungkin tindakan yang tepat ketika itu. Kepercayaan seseorang tidak bisa ditolak karena ego belaka, saya harus belajar. Mungkin bagi istri pasien tersebut meluangkan sedikit waktu untuk berbicara dengan anaknya tersebut adalah suatu yang sangat bernilai baginya karena saya dan anaknya sama laki-laki. Mungkin hal ini adalah sedikit apa yang bisa saya beri dan lakukan kepada keluarga ini.

            Sekitar jam 18.00 istri pasien tersebut mencari-cari saya dan akhrinya saya mendatanginya di luar kamar pasien. Dia memberi tahu bahwa anaknya sudah datang dan sedang berada di dalam kamar pasien. Dia menyuruh masuk dan memulai berbicara. Sebelum masuk saya bertanya ke dia, "Apa yang bisa saya bicarakan?maaf jika bahasa saya tidak bagus". Dia menjawab, "bicara apa saja, yang penting ajak anak saya bicara di dalam". Saya berkata,"Berikan saya waktu sebentar saya akan datang setelah beberapa menit". Dia kemudian masuk kamar dan saya pergi sebentar.

           

            Setelah beberapa menit saya pergi ke kamar pasien. Saya mengetuk pintu dan mengulurkan tangan saya untuk berjabat tangan dan mengenalkan diri kepada anak pasien tersebut. Dia berumur sekitar 40-50 tahun. Saya mulai menceritakan bagaimana perubahan kondisi ayahnya selama seminggu ini. Setelah beberapa menit saya menjelaskan perubahan kondisi ayahnya, dia berkata, "Saya tidak pernah melihat ayah saya dalam kondisi seperti ini. Apakah dia masih sadar dan dapat mengenalku?". Saya kemudian menjawab,"meskipun ayah kamu dalam kondisi yang seperti ini, sudah tidak dapat merespon, berbicara, dan tarikan nafasnya sudah sangat berat, ayah kamu masih sadar dan dapat merasakan sentuhan-sentuhan dari kamu tetapi dia hanya tidak dapat meresponnya. Mendekatlah ke dia dan peganglah tangan dan wajahnya, dia merasakan itu.". Dia mulai meneteskan air mata dan mengucapkan kembali kalimat yang sama, "Saya tidak pernah melihat ayah saya dalam kondisi seperti ini". Secara spontan saya menepuk bahunya dan berkata, "Es tut mir sehr leid". Saya memberikan waktu kepada dia untuk menangis. Ketika saya melihat dia menagis, secara spontan pikiran saya langsung memikirkan orang tua saya yang berada sangat jauh disana. Saya lalu berkata kepada dia yang duduk tepat disamping ibunya, "Kamu adalah anak yang sangat baik, kamu masih menyempatkan waktu untuk menjenguk dan melihat ayahmu dalam kondisi ini. Tidak semua anak seperti kamu. Saya dapat merasakan apa yang kamu rasakan. Sekedar anda tahu, saya berasal dari Indonesia, dan itu sangat jauh dari sini. Jika saya mendapatkan kabar bahwa ayah saya dalam kondisi seperti ini, detik itu juga saya akan pulang untuk menjenguknya, saya tidak peduli bagaimana keadaan saya, saya harus pulang ketika itu juga. Duduklah disamping ayahmu, ayahmu sangat butuh kamu berada didekatnya.".

            Saya kemudian izin untuk meninggalkan kamar. Istri pasien mengikuti saya dari belakang dan mengatakan kepada saya diluar pintu, "Terimakasih anda sudah berbicara dengan baik kepada anak saya.". Sekitar jam 19.00 mereka berdua mendekati saya dan pamit ingin pulang, ibu anak itu berkata, "jika saya tega dan kuat melihat suami saya lagi, maka satu jam lagi saya akan datang dan menginap disini, jika tidak saya akan tidur di rumah.". Saya menjawab, "Itu pilihan kamu, akan sangat baik jika kamu datang lagi ke sini dan tidur dengan suami anda, suami anda membutuhkan kedekatan kamu, tidak ada yang tahu kapan dia akan pergi. Datanglah kembali jika kamu bisa datang.". Mereka lalu pergi.

            Sekitar jam 20.00 saya melihat istri pasien itu datang lagi sendirian sedangkan anaknya tidak datang. Saya mengantarkan ke kamar suaminya dan berkata, "disamping kasur suamimu ada kasur kosong yang disiapkan untuk kamu. Tidurlah bersama suamimu, beradalah didekat dia malam ini, dia sangat membutuhkanmu.". Sebelum saya meninggalkan tempat kerja, saya menjenguk mereka dan bertanya apakah lampunya mau dinyalakan atau dimatikan?. Istri pasien menjawab, "Biarlah lampu yang berada tepat di atas suami saya yang menyala, agar saya bisa melihatnya, lampu lain bisa dimatikan saja. Saya akan tidur menghadap ke dia dan saya akan memegang tangannya." Saya kemudian meninggalkan mereka dan pulang ke rumah.

            Keesokan harinya saya datang kerja siang hari. Saya melihat di list nama-nama pasien dan ternyata nama pasien tersebut sudah tidak ada. Dia meninggal tadi malam jam 00.30. Di keesokan harinya kamar tersebut ternyata sudah di tempati oleh pasien baru lain. 

            Ada hal penting yang saya pelajari dari peristiwa ini. Saya melihat sangat begitu indahnya hubungan mereka berdua, sangat romantis. Saya melihat seorang sosok wanita yang sangat sabar dan tabah yang bersedia menemani suaminya yang berada pada sisa-sisa akhir hidupnya, saya yakin ini sangat susah bagi dia, lebih dari 50 tahun mereka bersama dan pada akhirnya harus berpisah. Bersama lebih dari 50 tahun itu hal yang sangat sulit, merasakan senang bersama, sedih, susah, perjuangan, pengorbanan dan tibalah waktu mengatakan mereka harus berpisah selamanya, ini hal yang sangat sulit. Hal yang saya sayangkan dari akhir semua ini adalah saya tidak mempunyai kesempatan bertemu lagi sosok istri pasien tersebut. Jika seandainya ketika itu saya ada kesempatan bertemu, maka saya akan mengatakan ucapan bela sungkawa dan saya akan mengucapkan, "terimakasih anda telah mengajari saya tentang kehidupan, jika tidak keberatan saya ingin meminta sebuah nasehat. Nasehat apa yang ingin anda berikan kepada saya jika anda dapat merangkumnya dalam satu kalimat tentang kehidupan anda selama ini dengan suami anda dan anak anda?". Sayangnya saya tidak memiliki kesempatan untuk bertemu lagi dengan istri pasien itu lagi.

Bisakah kita menemukan butir emas di padang pasir?

            Tulisan ini sebenarnya bermula dari pencarian makna yang tersirat dalam kalimat yang diungkapan oleh Sadhguru. Kalimat yang singkat tetapi sangat dalam maknanya jika seandainya ada keinginan untuk di dalami, jika tidak maka mungkin kalimat itu seperti burung yang hinggap di balkon sebentar dan kemudian terbang lagi. Vidio talkshow tersebut merupakan satu dari jutaan vidio yang beredar di youtube dan berbagai sosial media lainnya. Kita sebenarnya tidak membutuhkan jutaan vidio itu untuk ditonton. Kalaupun seumur hidup kita 24 jam menonton vidio-vidio tersebut, itu pun umur kita kurang, karena setiap menitnya vidio akan diunggah dari seluruh penjuru dunia. Kita juga sebenarnya tidak butuh untuk membaca kabar berita secara terus menerus yang selalu beredar di media sosial.

            Kita hidup pada era distruksi, era dimana manusia mempunyai potensi yang tinggi untuk membandingkan diri dengan orang lain di media sosial, era dimana informasi begitu sangat cepat terproduksi dan mengalir secara tidak beraturan di internet, era dimana emosional manusia sangat mudah termanipulasi oleh media, era dimana kepercayaan antar sesama sudah mulai menurun, era dimana emosional intelligence dan spiritual intelligence sudah dihiraukan lagi. Dunia penuh dengan pandangan materialistis. Kita terkadang lupa dengan diri kita sendiri, tidak mencintai diri, tidak peduli dengan diri, tidak memberikan respek terhadap diri sendiri.

            Sebenarnya semua ini tergantung pribadi masing-masing. Selama kita mempunyai self-control terhadap diri kita dan tidak kecanduan terhadap media, maka kita dapat menemukan butir emas di padang pasir. Self-control akan memandu kita untuk mencari bagaimana kita kembali mengenali diri kita, kembali mencintai diri, peduli dengan diri dan respek terhadap diri sendiri bahwa setiap dari kita memiliki "Value" dan hanya kita sendiri yang dapat menghormatinya. Semuanya bermula dari pribadi seseorang.

            Di padang pasir saya menemukan sebutir emas, di era banjir informasi saya menemukan kalimat yang sangat berharga. Sebutir emas itu adalah kalimat dari Sadhguru yang kemudian saya mencari maknanya dengan mengkaitkan nilai yang saya pelajari dari hubungan cinta yang sangat indah dari pasangan suami istri yang suaminya berada di akhir hidupnya dan begitu juga hubungan mereka dengan anaknya. Istri pasien tersebut sangat mengerti betapa berharganya waktu yang dia berikan kepada suaminya selama seminggu terakhir ful sampai akhirnya suaminya meninggalkan dia untuk selamanya. Anaknya juga sangat menghargai waktu, karena jika seandainya malam itu dia tidak datang menjenguk, maka dia tidak akan bisa melihat ayahnya dalam keadaan hidup untuk yang terakhir kalinya.

            Saya yakin setiap orang memiliki pengalaman masing-masing, tetapi tidak sedikit yang tidak bisa atau tidak mau memberikan nilai dari pengalamannya sendiri. Saya menulis ini karena saya pertama penduli dengan pribadi, ini menambahkan Value pada diri saya, respekt terhadapa diri. Saya masih belajar dan akan terus belajar. Kita dapat belajar dari siapapun, kapanpun dan dimanapun, tergantung kita mau atau tidak. Ibu saya sering berpesan kepada saya dan selalu diulang-ulang, "Jadilah orang baik yang bermanfaat bagi banyak orang". Mungkin dengan artikel ini orang dapat mengambil manfaat, kalaupun tidak ada manfaatnya, tulisan ini sudah memberikan manfaat pada diri saya.

 

            "Have you lived this 24 hours the way you want it if this is the last moment?. Everyday if they do it they will come to their senses". Jawaban setiap orang akan berbeda-beda. Setiap orang akan bisa menjawab pertanyaan ini sesuai dengan pendekatannya masing-masing dan value yang melekat padanya.

Referensi :

1. Daniel J. Levitin, "Hit the Reset Button in Your Brain," The New York Times, Aug. 9, 2014, https://www.nytimes.com/2014/08/10/opinion/sunday/hit-the-reset-button-in-your-brain.html.

2. Peter Densen, "Challenges and Opportunities Facing Medical Education, "Transactions of the American Clinical and Climatological Association 122 (2011): 48-58

3. Umejima K, Ibaraki T, Yamazaki T and Sakai KL (2021) Paper Notebooks vs. Mobile Devices: Brain Activation Differences During Memory Retrieval. Front. Behav. Neurosci. 15:634158. doi: 10.3389/fnbeh.2021.634158

4. Mueller, P. A., and Oppenheimer, D. M. (2014). The pen is mightier than the keyboard: advantages of longhand over laptop note taking. Psychol. Sci. 25, 1159--1168. doi: 10.1177/0956797614524581

* Ditulis di kota Stuttgart, Jerman, pada minggu terakhir bulan Desember 2023.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun