Mohon tunggu...
Muarrifuzzulfa
Muarrifuzzulfa Mohon Tunggu... Perawat - Pekerja profesional di rumah sakit Jerman

Kesederhanaan. Suka membaca buku, mendengar, bertukar pikiran dan menulis.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Butir Emas di Padang Pasir 2 (Reflection on Death)

5 Agustus 2024   22:35 Diperbarui: 6 Agustus 2024   09:41 56
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Butir Emas di Padang Pasir

oleh: Mu'arrifuzzulfa

Mencatat ketika banjir informasi

Banyak sekali manfaat yang kita bisa dapatkan dari banjirnya informasi ini. Kita dapat belajar banyak dari informasi yang ada. Belum tentu dengan banyaknya informasi ini kita lebih menjadi pintar. Memang kita mempunyai potensi menjadi orang yang banyak tahu, tetapi untuk apa sebenarnya jika kita banyak tahu tentang sesuatu?. 

Pertanyaan mendasar ini sebenarnya akan membimbing kita untuk menjawab apa sebenarnya "purpose" dari kita sendiri. Jika dengan kita banyak tahu dan tujuan kita adalah menjadi pribadi yang lebih baik di setiap harinya, maka kita akan mendapatkan sesuai tujuan yang kita inginkan, jika kita banyak tahu dengan tujuan agar kita tidak ketinggalan informasi, maka kita akan mendapatkan sesuai dengan tujuan kita dss.

Di media sosial kita dapat mendapatkan kalimat-kalimat motivasi dalam bentuk tulisan ataupun potongan vidio. Kita dapat membaca atau mendengarkan setiap hari kalimat-kalimat yang menyemangati kita. Tetapi terkadang kalimat tersebut hanya berdampak temporeri, artinya kalimat tersebut hanya berefek kepada kita pada saat itu dan detik itu, setelah itu kita kembali ke kondisi awal. 

Dalam prospek kedepannya tidak ada efek besar. Karena setiap harinya kita mendapatkan sangat banyak sekali kutipan-kutian yang ditawarkan oleh media sosial, tetapi kita tidak memberikan space untuk kita merenungkan dari kutipan-kutian tersebut. Dalam istilah lain dikatakan masuk telinga kanan, keluar telinga kiri. Tidak ada yang menetap dalam otak kita, hanya seperti angin yang berhembus saja.

Saya teringat sebuah syair dari Imam Syafi'i yang pernah saya hafal ketika saya masih belajar di sebuah lembaga pendidikan setara dengan sekolah tingkat menengah. Artinya seperti ini "Ilmu itu bagaikan binatang buruan sedangkan pena adalah pengikatnya. Maka, ikatlah buruanmu dengan tali yang kuat". Kalau kita melihat konteks sekarang, maka sebenarnya sangat banyak sekali ilmu-ilmu yang bertebaran di internet atau media sosial. 

Kalau kita ingin memburu binatang di alam yang luas, maka sebenarnya banyak sekali binatang yang menjadi sasaran untuk diburu, tetapi yang menjadi pertanyaan adalah kita tidak akan mendapatkan binatang buruan jika kita tidak mengikat hasil buruan tersebut dengan tali, karena dia pasti akan lari lagi di alam bebas. 

Begitu juga ilmu-ilmu dan wawasan yang berada di internet dan media sosial. Jika kita tidak menulisnya maka kita tidak akan memilikinya. Jika kita menulisnya maka kita akan membaca ulang apa yang kita tulis, jika kita membaca ulang tulisan kita maka esensi dari tulisan itu akan melekat pada pikiran kita, jika esensi tulisan itu melekat pada pikiran kita maka hal itu akan menjadi kepribadian kita.

Imam Syafi'i menggunakan kata "pena" sebagai alat untuk mengikat. Di zaman sekarang kita bisa mencatat dengan berbagai metode, menulisnya dengan pena diatas kertas atau dengan elektronik. 

Semuanya bisa dilakukan. Tetapi pointnya bukanlah hanya mencatat, tetapi bagaimana catatan kita membekas lama didalam otak kita. Banyak sekali penelitian yang mengatakan bahwa menulis di atas kertas lebih berpengaruh terhadap memori kita dibandingkan menggunakan alat elektronik.

Sebuah penelitian yang terbit di Frontiers in Behavioral Neuroscience mengungkapkan bahwa menulis di kertas fisik menunjukkan aktifitas otak yang sangat kuat dibandingkan menulis di tablet atau smartphone. Kuniyoshi L. Sakai, seorang neurosaintis di Universitas Tokyo memberi catatan penting dari penelitiannya "Actually, paper is more advanced and useful compared to electronic documents because paper contains more one-of-a-kind information for stronger memory recall."(3). Kelebihan lain dari mencatat dengan tulisan tangan dibandingkan mencatat menggunakan leptop adalah bahwa tulisan tangan dapat memahami sebuah tema secara konseptual. Hal ini karena mencatat menggunakan leptop cenderung menulis kata demi kata pada saat perkuliahan daripada memproses informasi dahulu dan menyusunnya kembali dengan kata-kata mereka sendiri.(4)

Suatu hari saya menonton sebuah talkshow di youtube yang menghadirkan Sadhguru. Dia adalah seorang Guru, mistikus dan yogi dari India, seorang penulis buku terlaris Inner Engineering: A Yogi's Guide to Joy. Dia merupakan orang yang sangat berpengaruh di Era Disrupsi ini. Dikarenakan wisdomnya, banyak sekali orang barat yang belajar dengannya. Selama talkshow berjalan dia diberi beberapa pertanyaan dan dia menjawab dengan sangat santai dan pembawaannya tidak terlalu serius atau menegangkan, dan sampai pada suatu kalimat yang kalimat tersubut saya ulang berkali-kali. 

Kalimat dari beliau seperti ini "Most people think other people die. They don't understand for everyone of us time is sticking a way right now as we sit here. What you stick, what is sticking away is not the clock, what is taking away is our life as we sit here. If we know this we would have no time for doing any nonsense with ourselves. We would do what means absolutely most to us not silly things. One thing everybody must do before the go to bed for a few minutes if they see their bed as their deathbed just see that next one minute you're going to die in these last 24 hours. Have you lived this 24 hours the way you want it if this is the last moment?. Everyday if they do it they will come to their senses". 

Setelah beberapa pengulangan, saya langsung mengambil buku catatan saya dan menulisnya. Kalimat diatas mempunyai makna yang sangat dalam. Kalimat tersebut mengingatkan kita untuk sadar bahwa kematian akan datang kapan saja dan kita sendiri sebagai orang yang mengamati sebuah kematian yang terjadi di sekeliling kita adalah salah satu yang akan menghadapi kematian tersebut. Point selanjutnya adalah bahwa jika seseorang mengerti bahwa di 24 jam kedepan adalah kematiannya, maka orang akan sadar bahwa dia akan memanfaatkan 24 jam itu untuk hal yang bermanfaat saja.

Kalimat tersebut menggugah kita untuk selalu berhati-hati dengan waktu. Waktu bergerak sangat cepat secara tidak kita sadari. Kecepatan waktu bergerak dalam ketidaksadaran kita. Dalam ketidaksadaran sebenarnya kita diatur oleh waktu dan bukan kita yang mengatur waktu. Jika kita diberi limit waktu 24 jam kedepan untuk hidup, maka kita pasti akan menggunakan waktu sebaik-baiknya. 

Kita akan mengatur perjamnya untuk menggunakan sebaik-baiknya. Kita akan mendatangi orang-orang yang sangat kita cintai, dari orang yang paling dekat seperti orang tua, sanak keluarga, sahabat, teman dekat, orang-orang yang telah membantu dalam perjuangan kita, mendatangi orang-orang yang pernah kita sakiti untuk meminta maaf dan masih banyak lagi kegiatan yang kita lakukan. Hal ini kita lakukan karena pada kondisi ini kita mengerti bahwa waktu sangatlah berharga. Waktu sudah tidak lagi dapat mengontrol kita, tetapi kita dapat mengontrol waktu.

Dalam beberapa tahun pekerjaan yang saya tekuni sebagai perawat di Jerman, kematian merupakan hal yang sudah tidak lagi menjadi hal baru. Pada awal menekuni pekerjaan ini saya memiliki tingkat keingintahuan yang sangat tinggi dalam tema kematian dengan pendekatan science. Saya banyak sekali membaca buku-buku tentang kematian dengan pendekatan medis salah satunya seperti buku dari Raymond A Moody JR., M. D yang berjudul Life After Life, begitu juga membaca beberapa jurnal ilmiah yang yang dapat menjelaskan bagaimana fisiologis kematian itu seperti dalam tema near-death-experience.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun