Imam Syafi'i menggunakan kata "pena" sebagai alat untuk mengikat. Di zaman sekarang kita bisa mencatat dengan berbagai metode, menulisnya dengan pena diatas kertas atau dengan elektronik.Â
Semuanya bisa dilakukan. Tetapi pointnya bukanlah hanya mencatat, tetapi bagaimana catatan kita membekas lama didalam otak kita. Banyak sekali penelitian yang mengatakan bahwa menulis di atas kertas lebih berpengaruh terhadap memori kita dibandingkan menggunakan alat elektronik.
Sebuah penelitian yang terbit di Frontiers in Behavioral Neuroscience mengungkapkan bahwa menulis di kertas fisik menunjukkan aktifitas otak yang sangat kuat dibandingkan menulis di tablet atau smartphone. Kuniyoshi L. Sakai, seorang neurosaintis di Universitas Tokyo memberi catatan penting dari penelitiannya "Actually, paper is more advanced and useful compared to electronic documents because paper contains more one-of-a-kind information for stronger memory recall."(3). Kelebihan lain dari mencatat dengan tulisan tangan dibandingkan mencatat menggunakan leptop adalah bahwa tulisan tangan dapat memahami sebuah tema secara konseptual. Hal ini karena mencatat menggunakan leptop cenderung menulis kata demi kata pada saat perkuliahan daripada memproses informasi dahulu dan menyusunnya kembali dengan kata-kata mereka sendiri.(4)
Suatu hari saya menonton sebuah talkshow di youtube yang menghadirkan Sadhguru. Dia adalah seorang Guru, mistikus dan yogi dari India, seorang penulis buku terlaris Inner Engineering: A Yogi's Guide to Joy. Dia merupakan orang yang sangat berpengaruh di Era Disrupsi ini. Dikarenakan wisdomnya, banyak sekali orang barat yang belajar dengannya. Selama talkshow berjalan dia diberi beberapa pertanyaan dan dia menjawab dengan sangat santai dan pembawaannya tidak terlalu serius atau menegangkan, dan sampai pada suatu kalimat yang kalimat tersubut saya ulang berkali-kali.Â
Kalimat dari beliau seperti ini "Most people think other people die. They don't understand for everyone of us time is sticking a way right now as we sit here. What you stick, what is sticking away is not the clock, what is taking away is our life as we sit here. If we know this we would have no time for doing any nonsense with ourselves. We would do what means absolutely most to us not silly things. One thing everybody must do before the go to bed for a few minutes if they see their bed as their deathbed just see that next one minute you're going to die in these last 24 hours. Have you lived this 24 hours the way you want it if this is the last moment?. Everyday if they do it they will come to their senses".Â
Setelah beberapa pengulangan, saya langsung mengambil buku catatan saya dan menulisnya. Kalimat diatas mempunyai makna yang sangat dalam. Kalimat tersebut mengingatkan kita untuk sadar bahwa kematian akan datang kapan saja dan kita sendiri sebagai orang yang mengamati sebuah kematian yang terjadi di sekeliling kita adalah salah satu yang akan menghadapi kematian tersebut. Point selanjutnya adalah bahwa jika seseorang mengerti bahwa di 24 jam kedepan adalah kematiannya, maka orang akan sadar bahwa dia akan memanfaatkan 24 jam itu untuk hal yang bermanfaat saja.
Kalimat tersebut menggugah kita untuk selalu berhati-hati dengan waktu. Waktu bergerak sangat cepat secara tidak kita sadari. Kecepatan waktu bergerak dalam ketidaksadaran kita. Dalam ketidaksadaran sebenarnya kita diatur oleh waktu dan bukan kita yang mengatur waktu. Jika kita diberi limit waktu 24 jam kedepan untuk hidup, maka kita pasti akan menggunakan waktu sebaik-baiknya.Â
Kita akan mengatur perjamnya untuk menggunakan sebaik-baiknya. Kita akan mendatangi orang-orang yang sangat kita cintai, dari orang yang paling dekat seperti orang tua, sanak keluarga, sahabat, teman dekat, orang-orang yang telah membantu dalam perjuangan kita, mendatangi orang-orang yang pernah kita sakiti untuk meminta maaf dan masih banyak lagi kegiatan yang kita lakukan. Hal ini kita lakukan karena pada kondisi ini kita mengerti bahwa waktu sangatlah berharga. Waktu sudah tidak lagi dapat mengontrol kita, tetapi kita dapat mengontrol waktu.
Dalam beberapa tahun pekerjaan yang saya tekuni sebagai perawat di Jerman, kematian merupakan hal yang sudah tidak lagi menjadi hal baru. Pada awal menekuni pekerjaan ini saya memiliki tingkat keingintahuan yang sangat tinggi dalam tema kematian dengan pendekatan science. Saya banyak sekali membaca buku-buku tentang kematian dengan pendekatan medis salah satunya seperti buku dari Raymond A Moody JR., M. D yang berjudul Life After Life, begitu juga membaca beberapa jurnal ilmiah yang yang dapat menjelaskan bagaimana fisiologis kematian itu seperti dalam tema near-death-experience.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H