Mohon tunggu...
Muarif Essage
Muarif Essage Mohon Tunggu... Guru - pembaca sastra

lahir di Tegal, 25 Mei 1969. Seorang guru, ia lebih sering membaca karya sastra dan membicarakannya dalam bentuk ulasan.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Ketika Aku Kawin Denganmu: Mencumbu "Rembulan Tembaga"

25 Desember 2022   14:44 Diperbarui: 25 Desember 2022   14:50 209
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

(1)

Membaca puisi, apalagi harus membaca serangkaian karya dalam bentuk buku kumpulan puisi, bagi aku tak ada bedanya dengan situasi ketika manusia mengalami proses kawin dengan lawan jenis. Sebelum kawin itu terjadi, manusia yang berlainan jenis itu akan bertemu hingga pada akhirnya bercumbu. Aku bertemu dengan sejumlah puisi Moch. Mi'roj Adhika, A.S dan untuk sampai pada percumbuan yang nikmat dengan puisi-puisinya, Aku sepenuhnya harus menyerahkan segala hasrat bercinta. Ini aku lakukan agar "orgasme estetik" ketika aku bercumbu dengan kata-kata dalam puisi Mi'roj dapat mencapai klimaks dan membuahkan hasil. Setidaknya yang aku sebut dengan "hasil" adalah pemahaman yang bersifat personal dan aku selanjutnya merasakan kepuasan dengan memberikan ulasan hasil percumbuan dengan puisi Mi'roj.

(2)

Cukup lama aku mengenal puisi-puisi karya Moch. Mi'roj Adhika, A.S melalui serangkaian antologi puisi bersama, baik dengan beberapa penyair di tingkat lokal maupun dengan banyak penyair nasional. Kiprahnya dalam dunia puisi, sesungguhnya tak diragukan lagi. Hal ini terlihat keterlibatannya dalam sastra radio, MUNSI (Musayawarah nasional sastrawan Indonesia), dan dari banyaknnya puisi karyanya yang hampir selalu dimuat dalam beragam antologi bersama di tingkat nasional. Perihal seringnya ia muncul di banyak buku puisi bersama itu, aku sempat menyebutnya sebagai penyair spesialis antologi bersama. Namun, sebutan itu kini telah gugur seiring penyair ini menerbitkan buku puisi pertamanya yang berjudul Adakah di Sakumu Rembulan Tembaga (penerbit Wadah Kata, Maret, 2022). Buku puisi ini memuat 79 puisi yang ditulis Mi'roj dalam rentang waktu dari tahun 1996 hingga 2022. Dalam kurun waktu hampir 20 tahunan ini aku seperti ditunjukkan adanya proses kepenyairan yang amat matang dalam bergelut dengan kata-kata. Mi'roj -sebagaimana dipaparkan dalam proses kreatifnya- memang banyak belajar dari serangkaian kritik yang ditujukan kepadanya dan beragam aktivitas sastra yang mampu menempanya menjadi seorang penyair.

Dari fakta ini aku dapat membaca bahwa pencapaian kepenyairan Mi'roj diraihnya melalui jalan yang tidak mudah. Mi'roj bukan penyair yang lahir dari politisasi sastra "wisudawan penyair" yang amat naf dan lebay. Tanpa perlu formalitas sastra yang dibuat-buat itu, kepenyairan Mi'roj lahir dari proses kepahitan untuk berjuang dalam menegakkan etos kepenyairannya. Maka, bagi aku, puisi Mi'roj yang berjudul "Segelas Kopi Pahit" sangat tepat diletakkan sebagai pembuka kumpulan puisinya.

SEGELAS KOPI PAHIT

Sore itu, kau lukis bayang-bayang impian

di atas pasir tepi pantai

tergambar lalu terhempas air laut

terus kau lukis tanpa henti

terus pula air laut menghapusnya

Sore itu angin basah

menari-nari cemara

yang berdiri kokoh menjulang cakrawala

lalu kau menatap langit

mendung menggumpal di sana

sayang tidak hujan, katamu

Waktu berputar

kadang memuakkan

kau terus melangkah

sambil mengemban impian

mengemban sekeranjang amanat

entah berisi tuhan atau syetan

Mari kita minum segelas kopi pahit sore ini

sambil mengeja langkah

mengeja cakrawala

dan angin tuhan yang putih

kita rawat

agar tak tercampur debu-debu

Entah mengapa ketika mencumbui larik-larik puisi ini, aku menemukan "kau-lirik" dalam diri Mi'roj yang pada awal kepenyairannya yang "terus melangkah sambil mengemban impian", meski "bayang-bayang impian" itu selalu saja "air laut menghapusnya". Mi'roj terus "berdiri kokoh menjulang cakrawala" untuk terus "menatap langit" sekalipun "mendung menggumpal di sana". Pemakaian diksi "segelas kopi pahit" sengaja digunakan Mi'roj untuk mempertegas imaji pembaca, bahwa impian setiap manusia (penyair) tetap akan dihadapkan pada kenyataan pada kegagalan demi kegagalan dalam mencapai keinginan. Mi'roj tak henti "mengeja langkah" dan ia tetap setia memelihara impian kepenyairannya "agar tak tercampur debu-debu". Di sini, diksi "debu" dapat kita pahami sebagai cara-cara yang tidak semestinya dilakukan seorang yang ingin menjadi penyair yang sesungguhnya. Melalui puisi ini, pembaca dapat memaknai bahwa kepenyairan harus ditempuh melalui jalan perjuangan. Kepenyairan adalah proses dan ini yang dipilih dengan amat konsisten oleh Mi'roj.

(3)

Ada serangkaian karya puitis Moch. Mi'roj Adhika AS. yang akan menarik perhatian pembaca. Aku sebut sebagai serangkaian karya puitis karena beberapa karya Mi'roj tersebut telah menunjukan -setidaknya- dua keunggulan yang amat transparan kita nikmati. Pertama, dalam beberapa karya tersebut, amat jelas penyair mempersiapkan dengan sungguh-sungguh sebuah fokus tema yang secara khusus ditujukan bagi perempuan yang amat dicintainya. Kedua, sebagai penyair, Mi'roj memanfaatkan perangkat estetis sehingga beberapa puisi itu memperlihatkan sisi romantisme Mi'roj. Beberapa puisi yang dimaksud dalam ulasan ini adalah "Nyanyain Perkawinan", "Ikhwal Perkawinan", "Kentrung Perkawinan", "Mahabbah Perkawinan", "Sajen Perkawinan", "Ritual Perkawinan", "Cemeti Perkawinan", "Juwadah Perkawinan", dan "Gelombang Perkawinan" yang ditulis Mi'roj secara berturut-turut dari tanggal 1 Juni hingga 15 Juni tahun 2011-2022. Sementara itu pada tanggal 18 Juni Mi'roj menulis satu judul puisi dengan tema yang sama, yakni "Do'a Perkawinan".

Dari sepuluh puisi karya Mi'roj tersebut, aku mendapatkan gambaran betapa kebersamaan dengan perempuan dalam satu bahtera perkawinan tak ubahnya sebagai "nyanyian" yang disenandungkan dengan beragam nada oleh Mi'roj. Dengan pemakaian serangkaian baris  yang berbunyi "dawai-dawai nada kekosongan", "nyanyian kelelawar malam", "memetik daun-daun sepi", "lorong-lorong perjalanan dalam angan", dan baris "tak ada suara-suara bisik rindu" , telah memperlihatkan adanya latar psikologis penyair untuk mendapatkan seseorang (adalah kamu yang terus aku kejar). Dalam situasi psikologis aku-lirik yang sunyi, penyair tetap mengharap bahwa apa yang hendak diraihnya "bukan sekedar bayangan namun mimpi nyata". Aku-lirik mengalami idealisasi diri dengan apa yang diharapkannya dari sosok perempuan yang telah ditekadkan dalam diri aku-lirik untuk menjadi istrinya. Dalam bahasa yang sebenarnya sudah lazim kita dengar, Mi'roj menulis, "Aku mencarimu, bukan sekedar teman perjalanan pengembaraan/.../namun ingin kamu menjaga keturunan/yang melanjutkan segala harapan." Pada bagian akhir, aku-lirk memperkuat keinginannya dengan berkata, "Inilah kesaksianku/akan ku rengkuh/dan kubawa kau dalam perkawinan/untuk melahirkan ribuan cinta".

 

(4)

Upaya aku-lirik yang ingin membawa perempuan dalam dunia perkawinan, pada puisi yang berjudul "Ikhwal Perkawinan", ternyata tidaklah begitu mudah dilakukan. Hal ini karena justru yang terjadi adalah "cinta berserakan di seluruh tubuh tanpa pupuk dan pemantik/lalu sama-sama menikmati alam sepi yang gersang, hidup tanpa/makna, berjalan dan tumbuh berhenti dan diam." Satu-satunya alasan bagi aku-lirik adalah suratan Tuhan (takdir) yang membawanya pada satu keyakinan, bahwa "cintaku telah menemu ibu dari anak-anakku." Di sini kita bisa melihat cara penyair menyikapi dunia perkawinan semata-mata sebagai kehendak Tuhan.

Romantisme layaknya manusia yang kasmaran dalam puisi Mi'roj memang sengaja ditiadakan. Sinyalemen seperti ini seakan diperkuat oleh baris-baris puisi yang berjudul "Kentrung Perkawinan". Mi'roj menulis: "Ketika jiwa kehilangan irama gelombang mimpi/dan sepi terus saja mengapung dalam gelap/Angin terasa hambar tanpa embun dan panas/menyulut atmosfir kehampaan/membawa ke segala penjuru/mencari kekasih jiwa sigaraning nyawa/yang tersembunyi." Baris-baris puisi ini jelas menunjukan kembali adanya latar psikologis aku-lirik yang memang berada dalam jiwa yang sepi, hambar, dan hampa. Perasaan semacam ini jelas akan terasa karena jiwa itu sendiri telah hilang. Pemakaian diksi "kabar dari langit" dan  "di alam keniscayaan",  lagi-lagi menujukkan bahwa takdir lah yang membuat aku-lirik menemukan kekasihnya. Peletakan takdir sebagai sebab utama terbentuknya dunia perkawinan yang membuat Mi'roj cenderung melihat hubungan laki-laki dan perempuan sebagai representasi dari religiusitas. Mi'roj tidak mendudukan hubungan laki-laki dan perempuan dalam kerangka nafsu birahi yang seringkali terjadi di antara lawan jenis. Perhatikanlah kata-kata yang digunakan Mi'roj, "Hati kita berbunga bersama ribuan malaikat/membawa rahmat dan berkah." Lebih jelas lagi bila kita membaca baris-baris dari puisi yang berjudul "Sajen Perkawinan". Perhatikan kutipan puisi berikut ini.

Tetapi iman dan cinta padaNya adalah

hakekat percintaan kita

Cipta karsa keindahannya

Cinta bukan untuk dinodai

sebelum ada perjanjian dan ikatan

atas nama Tuhan

Cinta dan kasih sayang akan merawat kekasih kita

dari kehinaan di hadapanNya

Ritual cinta dengan sajen percintaan

dan beribu-ribu perniknya

Kita tafakurkan dan kita serahkan sajen-sajen perkawinan

dan ribuan dzikir

Kita mencintai tetap atas nama Tuhan

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun