5. Â makan nanti saja : memperbaiki sepeda rusak kekasihku
   (dalam puisi "Sepeda Kekasihku")
Dilihat dari pasangan baris-baris diksi tersebut, W.S. Rendra memang menggunakan bahasa sehari-hari. Akan tetapi, ia menggunakan "pikiran yang puitis" saat menuangkan emosinya dan pembaca pun mampu dibawa emosinya untuk sampai kepada "pikiran yang puitis" itu. Maksud dari  "pikiran yang puitis" adalah getaran halus yang muncul dalam jiwa dan amat terasa dalam getaran itu sehingga menimbulkan kesadaran kita akan pengalaman hidup yang bermakna. Ada pun "Pikiran yang puitis" yang dapat kita rasakan dari kelima pasangan baris-baris diksi tersebut adalah mencintai seorang kekasih berarti harus pula menerima segala penderitaan dan kepedihannya (puisi "Baju"), menjaganya dengan sepenuh hati (puisi "Sepeda"), tidak pernah berhenti untuk mencintainya (puisi "Kegemarannya"), mendahulukan kepentingan untuk yang tercinta (puisi "Sepeda Kekasih"), dan memilih setia hingga akhir hari tua (puisi "Kami Berdua").
Perasaan-perasaan puitis yang muncul dari baris-baris bahasa sehari-hari dalam puisi W.S. Rendra ternyata mampu membukakan mata dan hati para pembaca perihal kesederhanaan pengucapan untuk sebuah cinta. Rendra telah sampai pada hakikat cinta yang sesungguhnya bagi seseorang kekasih yang memang benar-benar harus dicintainya. Diksi-diksi "air mata kekasihku", "sepeda kekasihku", "anak-cucu kami", "aku sangat mencintainya", dan "memperbaki sepeda rusak kekasihku" menjadi realisasi untuk menempatkan seorang kekasih dalam kerangka estetisasi romantik seorang laki-laki.
Lantas, sudah kah saya menjadi laki-laki yang mampu berestetisasi romantik kepadamu, duhai kekasih?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H