Sekarang
memperbaiki sepeda rusak kekasihku
Membaca kelima puisi tersebut kita tentu sepakat bahwa bahasa puisi yang digunakan W.S. Rendra adalah bahasa sehari-hari. Pembaca sama sekali tidak merasakan kesulitan untuk menangkap apa yang dikatakan Rendra. Itu lah bahasa sehari-hari yang kita juga menggunakannya dalam percakapan kita. Akan tetapi bila kita menghubungkan antara bahasa sehar-hari dengan apa yang disebut "pikiran yang puitis", maka kita akan menemukan makna yang sesungguhnya di balik kedenotatifan kata. Bagaimana cara kita menemukannya?
Seluruh kata-kata yang digunakan dalam kelima puisi tersebut merupakan kata-kata denotasi, bahkan cenderung sebagai kata-kata yang naf. Rendra tidak menghiasi kelima puisinya itu dengan bertabur metafora, personifikasi, kata-kata kias, apa lagi bunyi persajakan. Seperti yang dikatakannya, Rendra ingin bereksperimen dan ternyata ia berhasil menundukkan anggapan kaum estetikus yang memandang keindahan puisi sebagai keniscayaan bahasa bersastra. Sekarang perhatikan lah pasangan diksi yang berbunyi:
1. Â sayang mencuci bajuku : telah melekat : air mata kekasihku (dalam puisi "Baju")
2. Â harus mengendarai sepeda hati-hati : yang kupakai sepeda kekasihku
(dalam puisi "Sepeda")
3. Â belum dikawinkan : di dalam jiwa : anak-cucu kami sudah banyak.
(dalam puisi "Kami Berdua")
4. aku mendongeng : selalu kusindirkan : aku sangat mencintainya.
   (dalam puisi "Kegemarannya")