Perilaku seseorang dalam percakapan telepon terkadang pula tidak terlalu berani untuk mengutarakan langsung apa yang menjadi tujuannya. Pembicara akan "berkisah" terlebih dahulu  masalah yang sedang dihadapi orang lain, lalu pembicaraan mengarah pada masalah yang sedang dihadapi diri sendiri. Begitulah yang "Narti" lakukan hingga apa yang diutarakannya melalui telepon begitu mengejutkan "aku".
Apa yang menarik dari puisi yang hanya menghadirkan percakapan-percakapan telepon dengan tiga model komunikasi seperti itu? Tentu saja akan menjadi menarik bila kita mau melihatnya dalam upaya membandingkan antara percakapan dua orang melalui telepon dengan "Percakapan" dua orang (penyair dan pembaca) melalui puisi.Â
Puisi berjudul  "Tiga Percakapan Telepon" menunjukkan bagaimana salah tafsir seringkali terjadi dalam komunikasi. Bahasa menjadi faktor utama yang menyebabkan salah tafsir itu terjadi.Â
Demikian juga dalam komunikasi penyair-pembaca melalui puisi. Seorang pembaca akan mengalami salah tafsir karena faktor bahasa puisi yang digunakan penyair.
Sapardi Djoko Damono seperti menemukan salah tafsir pembaca atas puisi-puisinya. Oh, tidak! Sapardi belum menemukan salah tafisr itu. Ia hanya memperingatkan terjadinya salah tafsir tersebut. Bagaimana bila salah tafsir pembaca benar-benar terjadi?
Pertemuan Kedua: Tak Usah Menafsirkannya sebagai Apapun
 Kali ini aku harus membaringkan tubuhku hanya untuk mengendurkan urat-urat sarafku. Untuk berkomunikasi denganmu lagi, aku membutuhkan waktu jeda.Â
Aku berharap ada "seseorang" yang masuk dalam pikiranku, yang mau bercerita mengenai dirimu yang lain. Benar saja, pada lembar kertas yang berhalaman 29 sampai 34, aku berjumpa denganmu lagi. Duh, ternyata dirimu ada banyak, lebih dari pertemuanku yang pertama.Â
Meski begitu, aku merasa senang karena pertemuanku yang kedua ini ternyata berkaitan dengan pertemuanku denganmu sebelunya. Aku cukupkan tubuhku dari pembaringan dan menemuimu  bersama segelas kopi yang tinggal setengah isi.
Sungguh aku terkejut, kamu mengawali percakapanmu dengan kata-kata "Siapa gerangan berani menafisrkanku sebagai awan ...." dan di tempat lain kamu juga berujar, "Siapa yang menyuruhmu menafsirkanku sebagai sungai ...." Dahiku berkerut, menghadapimu berkata-kata seperti itu membuat nyaliku ciut.Â
Apalagi saat  kamu secara terang-terangan mengatakan bahwa kamu tidak memiliki urusan dengan duniaku, "Siapa pula yang bilang/aku berurusan dengan duniamu?/..../Jangan tafsirkan aku/sebagai apa pun/sebab aku tidak pernah ada/dan tidak akan ada." Â