pada saat sama mereka telah membunuh-Ku.
Ah, tidak kah saya berlebihan meletakan tafsir seperti itu? Jangan-jangan hanya karena dalam benak kepala saya sedang berpikir tentang "sekelompok orang yang sedang menggunakan jargon-jargon agama untuk menyerang kelompok lain", saya lantas memahami dua puisi itu sebagai representasi atas konteks sosial-politik yang pernah terjadi di Indonesia. Bisa saja pemahaman saya amat jauh dari maksud puisi-puisi Triyanto. Namun, umat-pembaca manakah yang dapat menjamin sebuah penafsiran sebagi satu-satunya kebenaran?
Sekali lagi, ah. Saya sedang berproses dalam dunia tafsir dan pemahaman sederhana saya atas Kitab Para Pencibir, barangkali juga amat sederhana: buku puisi ini hendak memperlihatkan betapa Tuhan sedang amat tidak suka dengan perilaku manusia, yang atas nama cinta kepada Tuhannya, justru secara bersamaan pula telah "membunuh" benih ajaran-Nya. Padahal Tuhan telah memberi kalam, "Dan tidaklah kami (Allah) mengutus kamu (Wahai Muhammad) kecuali sebagai rahmat untuk semesta alam." (QS. Al-Anbiya: 107). Triyanto Triwikromo pun mengutipnya dengan bahasa seorang penyair: "Tidak Kuutus nabi untuk menebarkan benih cinta/Aku hanya bilang padamu bercerminlah sepanjang/waktu di telaga dan temukanlah wajah-Ku." (puisi "Benih", hal. 4).
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI