kau anggap sebagai dajal.
    Apakah agama telah merusakmu?
Apakah hanya dengan membaca puisi awal dan puisi akhir dari buku Kitab Para Pencibir lantas saya menyimpulkan bahwa buku puisi ini memberikan kritik atas perilaku manusia di Indonesia yang menggunakan jargon-jargon agama untuk menyerang dan menjatuhkan kelompok manusia lainnya? Tentu saja terlalu dini bila dibuat kesimpulan semacam itu, mengingat -seperti yang saya katakan di awal catatan ini- saya belum sepenuhnya "mudeng". Puisi-puisi lain karya Triyanto Triwikromo yang dimuat dalam buku ini belum sepenuhnya saya pahami dengan baik. Meski demikian, bila melihat konteks atas situasi sosial-poltik di Indonesia, tampaknya buku puisi ini dihadirkan untuk merespon situasi paling krusial saat agama menjadi "senjata pembunuh" atas kelompok lain yang tidak disukainya. Dua puisi Triyanto Triwikromo seperti mengarahkan saya untuk sampai pada kesimpulan seperti itu:
BENTENG
    Kau tidak boleh masuk ke kerajaan-Ku. Aku punya
serdadu kuat.  Kau hanya bandit.  Kau  hanya   orang
kampung tak paham kalam.
    "Aku lapar!" teriakmu.
    Aku tak peduli. Kau tak boleh menembus batas.
PERAYAAN KEMATIAN
    Setiap  mereka  merayakan   kelahiran-Ku,