Ketika kita membuka buku ini apakah lembaran-lembaran
kertas ini bertanya untuk apa?
    Ketika kita berjalan-jalan sore hari apakah trotoar bertanya
mau ke mana?
    Ketika kita diam dan tidak berbuat apa pun apakah hati
kita suka bertanya kenapa?
Memang hanya tiga pertanyaan yang Sapardi ajukan, namun amat terasa untukku ada semacam genangan air dalam kolam yang tenang, jernih, dan nyaman untuk dimasuki tapi tak terlalu berani untuk menyelami hingga ke dalam "kolam" puisi.Â
Aku hanya berpikir, bahwa dalam logika manusia, tentu saja "lembaran-lembaran kertas" dan "trotoar" tak mungkin dapat mengajukan pertanyaan. Sebagai nomina, kedua kata itu tidak sedang dipersonifikasikan oleh Sapardi karena kedua benda itu tetap dihadirkan dalam wujudnya sebagai benda mati yang tak akan mungkin dapat bertanya kepada kita.Â
Tentu saja keduanya hanya bisa "diam". Namun, apabila kedua nomina itu disandingkan dengan "hati", maka akan terasa "kolam" puisi Sapardi memperlihatkan adanya "air yang bukan sekadar air kolam ". "Air" itu -yang bukan sekadar air kolam- mampu menghidupi kerohanianku sebagai pembaca. Dengan perkataan lain, ada "air" yang bisa kita reguk bersama untuk kehidupan pembaca (manusia).Â
"Hati", meski sama nomina dengan "lembaran-lembaran kertas" dan "trotoar", ia hidup dalam jiwa manusia. Dengan puisi itu, Sapardi hendak mengatakan, bahwa hanya manusia yang tidak berhati yang akan diam dan tidak berbuat apa pun melihat ketimpangan, ketidakadilan, keserakahan, kecongkakan, penindasan, dan apa pun bentuk yang mengingkari kemanusiaan. Hanya manusia yang bertindak untuk diri dan lingkungannya lah yang akan disebut manusia yang berhati.
Sapardi, maafkan aku yang belum sepenuhnya menyelami "kolam" puisi-puisimu. Masih terlalu dalam "kolam" itu untuk aku menangkap pesan-pesanmu.