Mohon tunggu...
Samsul Muarif
Samsul Muarif Mohon Tunggu... Wiraswasta - Sosiologi Universitas Trunojoyo Madura

Mahasiswa aktif Sosiologi FISIB-UTM

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Urbanisasi dan Kawasan Kumuh Perkotaan

12 Juni 2021   17:20 Diperbarui: 13 Juni 2021   11:50 225
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Indonesia termasuk negara berpenduduk jumbo di Asia Tenggara. Pada 2019, tercatat ada 270,6 juta jiwa penghuni Indonesia. Angka pertumbuhan warga di Indonesia, juga sangat tinggi. Dari 270 juta jiwa, 56 persen tinggal di Pulau Jawa. Khususnya diperkotaan.  Tidak heran, jika tingkat kepadatan penduduk di kota dan di desa, pasti lebih padat kota. Salah satu penyebabnya, arus Urbanisasi masyarakat.

Data BPS tahun 2020 menunjukkan, Kota Surabaya memiliki angka kepadatan penduduk tertinggi di Jawa Timur. Hal ini tidak lepas dari Surabaya sebagai kawasan industri dan metropolitan. Sehingga warga luar daerah banyak datang ke kota Pahlawan untuk mencari pekerjaan (urban).

Umumnya kaum urban di Surabaya, berasal dari Madura, Sidoarjo dan Gresik. Berdasarkan data yang dihimpun dari aplikasi Puntadewa (Himpun Data Demografi Kawasan) di Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil, total penduduk urban di Surabaya pada tahun 2019 ada 1.232 jiwa yang tidak menetap. Sedankan jumlah warga urban yang menetap di ibukota Jawa Timur ini sekitar 10 ribu jiwa.

Umumnya mereka bekerja sebagai buruh pabrik dan pekerja lepas di beberapa tempat. Keinginan untuk menetap di kota metropolitan di Jawa Timur bagi para pendatang ini tentu ada karena hal ini akan memudahkan mereka dalam pekerjaannya. Mereka lebih memilih menetap atau membuat bangunan semi permanen di sekitar lokasi pekerjaan mereka yang pasti terdapat bangunan semi permanen milik warga setempat.

Pendirian bangunan semi permanen ini dirasa mudah bagi mereka yang tidak memiliki modal untuk membeli rumah atau menyewa kos. Karena harga yang murah dan tempat yang dekat dengan lokasi pekerjaan mereka tetapi di satu sisi akan ada penggusuran sewaktu-waktu apabila lahan tempat mereka tinggal akan digunakan oleh pemerintah.

Tingginya angka kepadatan dan pertumbuhan penduduk ini akan membuat kebutuhan rumah ikut meningkat. Apabila hal ini tidak diimbangi dengan angka ketersediaan lahan maupun tempat tinggal yang memadai khususnya bagi warga berpenghasilan menengah kebawah akan memicu munculnya pemukiman kumuh di kawasan Kota Pahlawan.

Menurut Budiharjo (1997) pemukiman kumuh adalah lingkungan hunian yang kualitasnya tidak layak huni yang berada pada lahan tidak sesuai dengan peruntukkannya sebagai tata ruang. Selain itu, kepadatan bangunan yang sangat tinggi dalam wilayah yang terbatas akan menimbulkan penyakit sosial dan lingkungan serta kualitas bangunan yang rendah mengakibatkan tidak terlayani prasarana lingkungan yang memadai dan membahayakan keberlangsungan penghuninya.

 

Dilansir dari data Badan Perencanaan dan Pembangunan Kota Surabaya pada tahun 2019 terdapat 43,46 hektare kawasan kumuh. Angka ini menunjukkan bahwa pemukiman kumuh di kota Pahlawan masih terbilang tinggi, selain itu persebaran pemukiman kumuh rata-rata berada pada kawasan Surabaya Utara dan Surabaya Timur yang menjadi tempat hunian bagi para pendatang. Adanya pemukiman kumuh ini tentu meresahkan bagi warga sekitar, terutama warga asli setempat yang lingkungannya tercemari dengan adanya bangunan kumuh seperti di bantaran sungai dan tepian rel kereta api.

Pemukiman kumuh ini tersebar di beberapa wilayah di Surabaya seperti kawasan Ngaglik DKA yang dekat dengan rel kereta api dan beberapa kawasan bantaran sungai seperti di Kali Jagir yang ada di Wonokromo. Kawasan tersebut tentu bukan peruntukannya sebagai tempat tinggal, ada fungsi lain seperti daerah resapan air yang ada di tepi sungai. Selain itu membuat bangunan semi permanen di pinggir rel kereta api dan pinggir sungai juga membahayakan bagi mereka yang tinggal disana karena bahaya volume air sungai meningkat dan beberapa hal yang tidak diinginkan pasti akan terjadi. namun mereka seakan menyadari akan bahaya tersebut tetapi karena kebutuhan ekonomi yang meningkat sehingga terkadang mengabaikan hal-hal tersebut.

Umumnya warga yang berada di pemukiman kumuh terdiri dari warga lokal dan pendatang, mereka membaur menjadi satu karena kesamaan latar belakang ekonomi. Para warga ini tidak memiliki pilihan laik karena minimnya lahan yang ada untuk membuat bangunan atau tempat tinggal. Kehadiran pemukiman kumuh ini juga menambah pekerjaan rumah bagi pemerintah kota Surabaya karena adanya pemukiman kumuh ini menunjukkan bahwa kapasitas warga di Surabaya yang sudah sangat padat, tercatat pada tahun 2020 kepadatan warga di Surabaya sebanyak 8.795 jiwa per kilometer persegi. Artinya kapasitas lahan di Surabaya sudah tidak mencukupi apabila didirikan bangunan semi permanen secara terus-menerus.

Para warga ini memilih membuat bangunan semi permanen di pinggiran sungai dan rel kereta api karena tidak ada lagi lahan bagi mereka. Seperti kita ketahui bahwa di Surabaya saat ini sudah banyak dibuat taman dan lahan terbuka hijau yang dilakukan pemerintah kota untuk menekan angka bangunan liar. Sehingga warga dengan ekonomi rendah memilih tempat yang tidak seharusnya mereka buat sebagai tempat tinggal.

Mereka mendirikan bangunan liar ini tentu secara illegal dan sudah pasti tidak memiliki surat atau dokumen yang sah. Tapi ada fakta menarik bahwa sebagian dari mereka telah membayar sejumlah uang kepada oknum yang tidak bertanggungjawab dan memanfaatkan hal ini demi keuntungan sendiri. Warga yang berada di pemukiman kumuh ini biasanya memberikan uang sebagai jaminan agar tidak dilakuan penggusuran terhadap tempat tinggalnya. Hal yang dilakukan oleh oknum ini tentu sangat merugikan dan membuat pemukiman kumuh semakin menjamur di kota industri terbesar di Jawa Timur ini.

Warga disini resah karena pemukiman kumuh semakin meluas di beberapa wilayah di Surabaya terutama daerah pinggiran kota. Mereka menilai seharusnya para pendatang atau warga yang bertempat disana tidak seharusnya mendirikan bangunan liar tanpa izin dari pemerintah kota. Mengingat ada regulasi yang mengatur tentang pendirian sebuah bangunan yang harus ditinjau dari berbagai aspek. Selain itu terdapat beberapa dari para pendatang atau warga di pemukiman kumuh ini yang bertingkah kurang baik dan seenaknya sendiri. Selain itu adanya pemukiman kumuh ini tentu bisa menimbulkan penyakit bagi warga setempat yang dimana kebersihan tempat kumuh ini tidak terjaga dengan baik sehingga bisa menimbulkan penyakit. 

Kehadiran pemukiman kumuh ini juga mengurangi keindahan Kota Pahlawan, dimana pada beberapa tempat di Surabaya yang indah dengan taman dan rindangnya pepohonan namun di sisi lain ada pemukiman kumuh yang tidak pernah tersorot padahal letak diantara keduanya kadang tidak jauh. Tidak hanya itu, adanya gedung-gedung tinggi dan pemukiman kumuh ini juga menunjukkan adanya kesenjangan ekonomi disana. Seperti bisa kita lihat di wilayah Surabaya Barat yang dominan dengan pemukiman elit dengan gedung-gedung tinggi namun disisi lain juga ada wilayah kumuh sehingga apabila dilihat bisa mengurangi keindahan Kota Surabaya.

Pemerintah kota tentu berupaya untuk menghadapi persoalan sulit seperti ini, karena adanya pemukiman kumuh ini diibaratkan sebagai siklus yang akan selalu terjadi ketika banyak warga tidak memiliki tempat tinggal permanen maka mendirikan bangunan liar adalah solusi bagi mereka. Dalam hal ini pemerintah Kota Surabaya berupaya agar bisa meminimalisir pendirian bangunan liar tidak berizin yang bisa merusak tata kelola kota. Usaha yang dilakukan pemerintah seperti pendataan warga yang bermukim disana dan penggusuran yang memindahan warga ke rusun yang ada di kota Pahlawan. Namun, upaya tersebut belum sebagian tepat karena semakin menjamurnya wilayah pemukiman kumuh

Solusi yang diberikan pemerintah kota Surabaya untuk menekan angka pemukiman kumuh di Surabaya adalah dengan membangun rumah susun (rusun) sebagai ganti tempat tinggal bagi warga yang tidak memiliki tempat tinggal permanen atau warga yang mengalami penggusuran lahan akan dipindah ke rumah susun. Berdasarkan data saat ini pemerintah kota Surabaya sudah memiliki 27 rusun yang tersebar di berbagai wilayah di Surabaya. Didalam rusun tersebut sudah dihuni oleh penduduk sejumlah 13.811 jiwa, angka ini tentu masih belum cukup untuk mengatasi persoalan pemukiman kumuh di Surabaya. Bahkan pada masa Bu Risma sebagai walikota, beliau berencana akan menambah 9 rusun karena banyaknya warga Surabaya yang tidak memiliki tempat tinggal permanen belum dipindahkan ke rusun. Tercatat ada 3000 lebih pemohon ber KTP Surabaya yang meminta untuk dipindah ke rusun karena kondisi tempat tinggal mereka yang tidak layak.

Hal ini belum lagi ditambah dengan warga luar kota Surabaya yang secara administrasi tidak mendapat prioritas hak menempati rumah susun. Namun pemerintah kota tidak bisa tinggal diam karena menyadari bahwa warga luar kota Surabaya akan terus bertambah maka diberikan opsi berupa menyewa rumah susun, berbeda dengan warga Surabaya yang mendapatkan prioritas hak tinggal di rumah susun tanpa harus menyewa dengan syarat memiliki KTP Surabaya dan dokumen sah lainnya. Keputusan untuk beralih ke rusun ini berada pada masing-masing warga apakah mau menggunakan fasilitas yang disediakan atau memilih berada pada pemukiman kumuh dan beresiko digusur oleh pemerintah.

Kesimpulan yang bisa penulis berikan adalah, pemukiman kumuh ini adalah salah satu persoalan yang harus diperhatikan pemerintah karena apabila dibiarkan akan sangat menganggu dan merusak perencanaan kota. Pemukiman kumuh muncul karena kurangnya lahan strategis untuk dijadikan tempat tinggal serta meningkatnya kepadatan warga di suatu wilayah. Selain itu, sistem urbanisasi warga juga harus dibenahi untuk bisa melihat mana warga urban dan lokal sehingga memudahkan pemerintah dalam pengecekannya. Warga lokal maupun pendatang harus memiliki kesadaran akan lingkungan sekitar dengan tidak mendirikan bangunan liar karena akan berdampak buruk kedepannya bagi mereka dan merusak tata kelola kota. Dalam hal ini warga harus bersinergi dengan pemerintah untuk bersama meminimalisir adanya pemukiman kumuh di lingkungan mereka.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun