Mohon tunggu...
Muara Alatas Marbun
Muara Alatas Marbun Mohon Tunggu... Guru - Alumni U Pe' I

Seorang lulusan yang sudah memperoleh pekerjaan dengan cara yang layak, bukan dengan "orang dalem", apalagi dengan "daleman orang"

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Di Dewan, Aku Membela Kertas - 2

22 April 2019   07:35 Diperbarui: 22 April 2019   07:38 46
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
http://www.donisetyawan.com (edited)

12.30 diperlihatkan jam saku.

            Aku masih menikmati kopi yang ada di emperan warung yang persis berseberangan dengan gedung megah tempat aku melihat antara Belanda dengan non-Belanda yang bersitenggang. Pribumi lusuh itu adalah seorang pria tua yang bekerja sebagai kuli angkut. Dia memperlihatkan wajahnya yang keriput dengan keringat yang masih menempel, dan ia coba untuk membasuhnya sebelum ... ia menyapaku.

            "Tuan ?" Ucap dia.

            Aku hanya mengangguk.

            "Boleh saya duduk disini ?"

            "Apa pelayan warung ini melarangmu ?, jangan tanya padaku dan anggap kita sama sebagai penikmat penganan warung ini"

            Pria tua itu sedikit tersenyum kemudian duduk disebelahku dan segera memesan minuman dan makanan yang sama persis dengan yang diriku pesan.

            "Tampaknya gedung disana sudah selesai melakukan pertemuan ya ?, tampak seluruhnya keluar" kata pria tua.

            "Rapat diskors, ada pemberontak di dalam"

            "Memangnya kau bukan ?"

            Aku sedikit kaget mendengar hal tersebut seolah ia berada di dalam ruang rapat volksraad itu. Gedung itu bahkan memasang penjagaan dua kali lipat karena kedatangan meneer van Limburg. Ruangan itu hanya bisa dimasuki oleh yang berhak berada disana dan pelayan resmi pun harus diinterogasi dulu sebelum memasuki ruangan. Tapi, bagaimana kuli panggul ini tahu ?

            Dia membuka koran yang ia selipkan di antara karet celananya, membaca halaman depan yang masih saja membahas kasus di Leles dengan bahasa yang lebih diperhalus dari "pembantaian" menjadi "insiden" agar lolos dari pembredelan. Tak lama ia membacanya, pria tua ini menutup koran, meminum kopinya lalu berkata "Koran ini menenangkan Pribumi".

            "Itu membahas kasus di Leles yang bisa saja memojokan pemerintah" ucapku sambil menatap koran

            "Bukan, bukan. Saya berpikir pribumi tenang karena bahasanya dilibatkan di negerinya sendiri"

            "Itu tidak merubah apa yang disajikan"

            "Itu mengubah pandangan kita, karena kita berpikir bahwa lahir sebagai pribumi artinya kita harus berbahasa pribumi. Tapi bagaimana bila dipaksa berbahasa Belanda, mana ada yang mengerti termasuk saya yang seorang kacung tanpa tuan ini."

            Itu menyadarkanku. Negara ini pola penjajahannya mulai berubah, menjadi lebih manusiawi. Dimana politik etis membantu kita tampil, bahasa kita difasilitasi. Bayangkan saja jika satu kelas sosial tidak dilibatkan dalam pengambilan keputusan untuk dipatuhi kedepannya ? yang terjadi adalah kesenjangan yang jika tidak dipahami akan berubah menjadi konflik.

            Konflik berubah menjadi pemberontakan

            Jika kekuatan tak imbang, akan berubah menjadi...

            Pembantaian.

            Tapi aku harus cari akal berbicara disini, pintar-pintar olah kata agar bisa di dengar, termasuk oleh van Limburg. Untungnya mereka itu bodoh. Bodoh dalam artian tidak mengerti posisinya karena sebagai penasehat mereka layak untuk di dengar selama itu tidak mencela van Limburg. Itu saja.

            Kuhabiskan kopiku karena waktu skor sudah hampir berakhir, kereta kuda mulai masuk ke dalam area volksraad. Aku meminta kepada pria kuli panggul itu untuk menyebutkan nama, pekerjaan dan pendapatnya agar bisa dibawa dalam percakapan penting tak penting nanti. Namun dia menolak, karena dia berpikir selama Belanda tidak semena-mena ia tidak akan melawan. Dia mengatakan bahwa dirinya hanyalah pesuruh yang berharap hidup seperti biasa dan mengerti akan kebiasaan hidupnya.

            Untuk seorang pesuruh, dia bijak dan cerdas. Aku bahkan sampai lupa menanyakan : Kepada siapa dan apa yang membuat ia begitu bijak dan cerdas. Akh... sial !

           

            "ah dari mana saja kamu ? tak kelihatannya selama istirahat tadi." Ucap seorang anggota volksraad yang sempat memelototiku.

            "aku baru dari sebuah warung, dan tenang saja karena aku tidak kabur"

            Rapat dibuka kembali, chairman membacakan kemajuan dari rapat yang telah dijalankan sebelumnya. Tetap saja, pembredelan terhadap surat kabar yang seluruhnya pribumi itu adalah pemberangusan terhadap budaya kami. Lebih tepatnya memberangus lidah kami agar harapannya lidah kami bisa belajar sendiri untuk lebih panjang dan pucat seperti orang Eropa.

            Rapat mulai memasuki cek-cok antara orang eropa, non-eropa tak pribumi dan pribumi itu sendiri. Secara kebetulan van Limburg baru datang entah dari mana. Disitulah aku mulai bicara.

            "Tuan-tuan sekalian !" Lantangnya daku sembari melihat sedikit sang Gubernur Jendral meletakan dirinya pada singgasana.

            "Pembredelan itu penting bagi Hindia Belanda !, jadi saya sokong."

            "Apa hal anda berbicara seperti itu !?" Seorang dibelakangku mulai membentak ditengah keheningan serta diikuti dengan yang lainnya.

            "TENAAANG !" Teriak panjang van Limburg. "Saya datang kesini untuk mendengar nasehat kalian, bukan percakapan tak berujung. Berikan saja nasehat kalian !"

            Aku mulai melanjutkan, namun sebelumnya kulihat jam sakuku menunjukkan pukul 3 sore.

            "Tuan-tuan sekalian, yang saya hormati. Seperti yang saya katakan sebelumnya dan tak akan saya tarik...Pembredelan penting bagi Hindia Belanda karena dapat mengontrol keabsahan kabar bagi rakyatnya. Namun apa jadinya jika mengerti itu tak dapat dimengerti oleh siapa-siapa termasuk oleh pribumi yang sekian banyak ?."

            Menghela napas sejenak.

            "Politik etis dari Yang Mulia Ratu seharusnya bisa menjadi kunci bagi tuan van Limburg untuk membuat tegak martabat Kerajaan Belanda sebagai bangsa yang beradab terhadap jajahannya. Jika tidak, maka yang terjadi hanya dua tuan-tuan sekalian !. Satu adalah Kerajaan Belanda akan dikenal sebagai bangsa yang munafik oleh koran-koran Eropa yang dimana menggaungkan 'tidak ikut perang' pada Great War, tapi menindas rakyatnya disini. Itu 'makanan nikmat' koran-koran itu. Kedua adalah memicu pemberontakan. Soviet sekarang adalah hasil ketidaksepahaman rakyat miskin dengan rajanya yang kaya, segitu besar itu negeri bisa jungkir balik karena hanya beda pemahaman. Tapi Inggris masih bisa tenang di negerinya karena tidak memberangus hal yang bisa dipahami oleh rakyat pribumi disana, yaitu bahasa."

            Semua masih memperhatikan, dan van Limburg kulihat sedang memegang dagunya sembari menyaksikan diriku berbicara.

            "Memang saya hanyalah seorang yang diangkat ke volksraad ini karena dibilang cakap. Tidak lebih daripada itu. Tapi saya paham tuan-tuan sekalian jika tidak memahami sesuatu, maka akan ada usaha untuk bisa mengerti sesuatu, kalau bisa dengan cara yang radikal ! . Singkatnya, meneer, bagi yang memojokkan anda tanpa bukti kuat, Bredel itu. Bagi yang tidak, jangan diapakan. Karena bahaya ada pada beda paham, apalagi tak dipahami oleh pribumi-pribumi yang gabung organisasi sehingga mereka lebih percaya gosip yang dekat dengan mereka ketimbang surat kabar Belanda yang jauh dari mereka."

            Hening. Diriku kembali duduk.

            Tidak ada tepuk tangan bagi pribumi, karena memang seperti itulah volksraad. Van Limburg masih bicara dengan chairman. Tatapan dan sedikit curi pandang masih aku lihat di sekitarku, ada yang marah, ada yang senang, ada yang mencoba memahami maksudku. Akh aku tak peduli, selama kertas yang dibaca oleh kuli panggul itu bisa ku bela, setidaknya aku bisa hafal kegunaanku duduk di kursi yang nyaman ini.

            Rapat selesai. Hasilnya adalah beberapa surat kabar berbahasa melayu dan seluruh surat kabar berbahasa belanda yang tertera dalam surat edaran selamat dari pembredelan.

            Rasa lega diriku melihat hasil itu. Van Limburg pun tidak menyadari satu hal dari ucapan panjangku tadi, bahwa pandangan akan kehormatannya sedang aku lempar kesana kemari. Bagai bola sepak yang tak tentu arah jika tidak disepak oleh pemainnya, bergerak ke arah yang dimaunya.

            Beberapa orang menyalamiku seakan aku adalah pahlawan hari ini, termasuk dua tiga orang Belanda. Seorang dengan peci bertanya padaku saat bersalaman :

            "Kenapa tuan dapat lihai bercakap seperti itu ?"

            "Semua karena dua hal, bahasa dan akal. Bahasa membantumu menyampaikan akal, dan akal membantu dalam menyusun bahasamu. Keduanya harus dimengerti sebagai senjata dalam berbicara."

            "Tuan mengilhami saya dengan penampilan dan kecerdikan yang baru tuan ceritakan. Akan saya gunakan sebagai ilmu bagi saya."

            Pembicaraan singkat itu diakhiri dengan kekhilafan dia menyebutkan namanya sebagai adab yang terbangun di antara orang-orang berpendidikan. Kuingat dia bernama ... Thamrin. Muhammad Husni Thamrin.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun