Kuhabiskan kopiku karena waktu skor sudah hampir berakhir, kereta kuda mulai masuk ke dalam area volksraad. Aku meminta kepada pria kuli panggul itu untuk menyebutkan nama, pekerjaan dan pendapatnya agar bisa dibawa dalam percakapan penting tak penting nanti. Namun dia menolak, karena dia berpikir selama Belanda tidak semena-mena ia tidak akan melawan. Dia mengatakan bahwa dirinya hanyalah pesuruh yang berharap hidup seperti biasa dan mengerti akan kebiasaan hidupnya.
      Untuk seorang pesuruh, dia bijak dan cerdas. Aku bahkan sampai lupa menanyakan : Kepada siapa dan apa yang membuat ia begitu bijak dan cerdas. Akh... sial !
     Â
      "ah dari mana saja kamu ? tak kelihatannya selama istirahat tadi." Ucap seorang anggota volksraad yang sempat memelototiku.
      "aku baru dari sebuah warung, dan tenang saja karena aku tidak kabur"
      Rapat dibuka kembali, chairman membacakan kemajuan dari rapat yang telah dijalankan sebelumnya. Tetap saja, pembredelan terhadap surat kabar yang seluruhnya pribumi itu adalah pemberangusan terhadap budaya kami. Lebih tepatnya memberangus lidah kami agar harapannya lidah kami bisa belajar sendiri untuk lebih panjang dan pucat seperti orang Eropa.
      Rapat mulai memasuki cek-cok antara orang eropa, non-eropa tak pribumi dan pribumi itu sendiri. Secara kebetulan van Limburg baru datang entah dari mana. Disitulah aku mulai bicara.
      "Tuan-tuan sekalian !" Lantangnya daku sembari melihat sedikit sang Gubernur Jendral meletakan dirinya pada singgasana.
      "Pembredelan itu penting bagi Hindia Belanda !, jadi saya sokong."
      "Apa hal anda berbicara seperti itu !?" Seorang dibelakangku mulai membentak ditengah keheningan serta diikuti dengan yang lainnya.
      "TENAAANG !" Teriak panjang van Limburg. "Saya datang kesini untuk mendengar nasehat kalian, bukan percakapan tak berujung. Berikan saja nasehat kalian !"