Aku sedikit kaget mendengar hal tersebut seolah ia berada di dalam ruang rapat volksraad itu. Gedung itu bahkan memasang penjagaan dua kali lipat karena kedatangan meneer van Limburg. Ruangan itu hanya bisa dimasuki oleh yang berhak berada disana dan pelayan resmi pun harus diinterogasi dulu sebelum memasuki ruangan. Tapi, bagaimana kuli panggul ini tahu ?
      Dia membuka koran yang ia selipkan di antara karet celananya, membaca halaman depan yang masih saja membahas kasus di Leles dengan bahasa yang lebih diperhalus dari "pembantaian" menjadi "insiden" agar lolos dari pembredelan. Tak lama ia membacanya, pria tua ini menutup koran, meminum kopinya lalu berkata "Koran ini menenangkan Pribumi".
      "Itu membahas kasus di Leles yang bisa saja memojokan pemerintah" ucapku sambil menatap koran
      "Bukan, bukan. Saya berpikir pribumi tenang karena bahasanya dilibatkan di negerinya sendiri"
      "Itu tidak merubah apa yang disajikan"
      "Itu mengubah pandangan kita, karena kita berpikir bahwa lahir sebagai pribumi artinya kita harus berbahasa pribumi. Tapi bagaimana bila dipaksa berbahasa Belanda, mana ada yang mengerti termasuk saya yang seorang kacung tanpa tuan ini."
      Itu menyadarkanku. Negara ini pola penjajahannya mulai berubah, menjadi lebih manusiawi. Dimana politik etis membantu kita tampil, bahasa kita difasilitasi. Bayangkan saja jika satu kelas sosial tidak dilibatkan dalam pengambilan keputusan untuk dipatuhi kedepannya ? yang terjadi adalah kesenjangan yang jika tidak dipahami akan berubah menjadi konflik.
      Konflik berubah menjadi pemberontakan
      Jika kekuatan tak imbang, akan berubah menjadi...
      Pembantaian.
      Tapi aku harus cari akal berbicara disini, pintar-pintar olah kata agar bisa di dengar, termasuk oleh van Limburg. Untungnya mereka itu bodoh. Bodoh dalam artian tidak mengerti posisinya karena sebagai penasehat mereka layak untuk di dengar selama itu tidak mencela van Limburg. Itu saja.