"Ya ?"
      "Proteslah, aku tak masalah dengan surat kabar"
      Ekspresi marahnya banting setir, dari arah kertas edaran menjadi kearahku.
Petugas keamanan rapat masuk ke area tempat duduk untuk menenangkan beberapa anggota yang berdiri dan menggoyangkan kertas yang mereka pegang ke arah pimpinan rapat, dan tentunya Limburg. Protes itu memaksa rapat diskor dan beberapa anggota pribumi digiring ke luar rapat. Dan mereka nantinya belum kembali seharian itu.
Memang ada desas-desus dalam Volksraad jika ada anggota yang protes keras maka mereka akan diproses posisinya. Baik itu diskors dari rapat, pembekuan keanggotaan hingga mutasi ke luar jawa. Tapi banyak anggota pribumi disana menyebutnya pengasingan, saking menakutkannya pandangan mereka terhadap perlakuan pemerintah kepada mereka.
Aku aman karena saat itu aku duduk manis saja sambil menatap orang-orang yang marah itu. Tersisa 8 orang Indonesia, seorang tionghoa, dua orang arab --salah satunya campur dengan darah eropa- , bersama 22 orang Belanda, total 33 orang dari 45 orang yang hadir pada saat itu. Skors masih berlanjut dan aku mengasingkan diri dengan minum kopi di luar gedung Volksraad itu.
Emperan warung dengan bangku panjang, dan aku memesan kopi dan penganan lokal disana. Dua orang disana terdapat disana duduk dengan alasan yang sama: bersantai dan bergosip. Hingga akhirnya ada seorang pribumi lusuh mendekat ke sampingku. Dari dialah aku mulai berubah....
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H