Prosesi ini menggunakan adat yang kental dimana alunan gondang bertabuh sangat cepat dan padu dengan gerakan para pengurus selama prosesi. Menurut saya, prosesi ini merupakan hal sakral dan bermakna bahwa kepengurusan harus suci dalam adat istiadat.
Prosesi selanjutnya adalah kegiatan manortor pada masing-masing cabang daerah pomparan. Di sini para bapak-bapak dan ibu-ibu saling berdansa dan berbalas umpasa (pantun) untuk menghidupkan suasana dan mengentalkan kebersamaan selama manortor.Â
Ulos berkibar, musik kontemporer mengalun harmonis bersama musik tradisional Batak, dan gerakan penuh antusias mereka adalah pandangan yang menyenangkan hati karena mereka menikmatinya dengan bahagia.
Sebagai keluarga, mereka memberi banyak kesempatan untuk senang dan bangga, termasuk anak-anak yang mereka bawa. Bentuk pemberian beasiswa serta doorprize menjadi bentuk fisik dari pemberian kebahagiaan tersebut yang juga bertujuan memberikan motivasi bagi anak-anak untuk berjuang bagi keluarga dengan mempersembahkan prestasi. Kebetulan, saya juga mendapatkan beasiswa tersebut sebesar Rp 500.000,- karena meraih IPK yang menurut mereka layak untuk diberi.
Inti dari pesta ini jelas, memperkuat tali silaturahmi dalam kehidupan perantau orang Batak yang bernaung dalam pomparan. Globalisasi memang "menjauh"-kan tatap muka dan perbincangan secara langsung, meski hal ini efektif dalam komunikasi yang rutin namun tidak mampu membangkitkan rasa sehati dalam bercakap-cakap karena yang berbicara adalah aplikasi tak berhati.Â
Paguyuban ini adalah hal baik bagi suku etnik manapun agar mereka tetap menyadari bahwa sesukses apapun hidup mereka, pada akhirnya pulang kepada keluarga merupakan kebahagiaan tiada tara.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H