Mohon tunggu...
Kahar Muamalsyah
Kahar Muamalsyah Mohon Tunggu... lainnya -

fight for freedom, fight for our right.oi!

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Paulo Freire Pendidikan untuk Pembebasan

23 Februari 2012   07:10 Diperbarui: 4 April 2017   17:47 12989
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik


  1. Latar Belakang

Riwayat Hidup Paulo Freire

Paulo Freire lahir di Recife, sebuah kota pantai timur laut Brasil pada tahun 1921. Dibesarkan oleh ibunya yang seorang Katolik yang taat dan ayahnya yang seorang pengusaha kelas menengah.

Walaupun lahir dan besar dari kalangan kelas menengah Brasil, tetapi Freire mengalami langsung kemiskinan dan kelaparan pada masa Depresi Besar 1929, suatu pengalaman yang membentuk keprihatinannya terhadap kaum miskin dan ikut membangun dunia pendidikannya yang khas. Seperti simbol kelas menengah yang lain, keluarga Freire juga selalu mengenakan dasi dan memiliki piano buatan Jerman di rumah mereka, menunjukkan warisan keluarga kelas menengah mereka tapi berdiri berbeda dengan kondisi sebenarnya mereka yang sebenarnya berada dalam kemiskinan. Merefleksikan situasi mereka, Freire mencatat, “Kami berbagi rasa lapar tapi tidak kelas”. Setelah menyelesaikan sekolah menengah dan dengan perbaikan bertahap pada situasi keuangan keluarganya, ia mampu masuk Universitas Recife.

Freire mulai belajar di Universitas Recife pada 1943, sebagai seorang mahasiswa hukum, tetapi ia juga belajar filsafat dan psiklogi bahasa. Meskipun ia lulus sebagai ahli hukum, ia tidak pernah benar-benar berpraktik dalam bidang tersebut. Sebaliknya ia bekerja sebagai guru di sekolah-sekolah menengah, mengajar bahasa Portugis. Pada 1944 ia menikah dengan Elza Maia Costa de Oliveira, seorang rekan gurunya. Mereka berdua bekerja selama hidupnya sementara istrinya juga membesarkan kelima anak mereka. Selain karir mereka bersama dalam mengajar, mereka bekerja sama dengan teman kelas menengah dalam Gerakan Aksi Katolik. Kerja ini menjadi meresahkan, karena mereka berjuang dengan kontradiksi antara iman Kristen dan gaya hidup teman-teman mereka. Secara khusus mereka menghadapi perlawanan yang kuat ketika memberi kesan bahwa pegawai harus ditangani sebagai manusia. Kemudian mereka memutuskan untuk bekerja semata-mata dengan “orang-orang” populasi besar masyarakat miskin Brasil.

Pada 1946, Freire diangkat menjadi Direktur Departemen Pendidikan dan Kebudayaan dari Dinas Sosial di Negara bagian Pernambuco (yang ibu kotanya adalah Recife). Selama bekerja itu, terutama ketika bekerja di antara orang-orang miskin yang buta huruf, Freire mulai merangkul bentuk pengajaran yang non-ortodoks yang belakangan dianggap sebagai Teologi Pembebasan. (Dalam kasus Freire, ini merupakan campuran Marxisme dengan agama Kristen). Perlu dicatat bahwa di Brasil pada saat itu, melek huruf merupakan syarat untuk ikut memilih dalam pemilu.

Sebuah pengalaman kedua yang memberi fokus untuk kehidupan Freire selanjutnya dating ketika ia bekerja sebagai pengacara buruh untuk orang-orang miskin dan terlibat diskusi dengan para buruh mengenai teori Jan Piaget, seorang psikolog terkemuka. Komentar-komentar Freire dalam diskusi ini jelas-jelas tidak dimengerti oleh para buruh miskin itu. Salah satu buruh mencatat, “Kau bicara berdasar latar belakang makanan, kenyamanan dan istirahat yang cukup. Kenyataannya adalah kami hanya memiliki satu kamar, tanpa makanan dan harus bercinta di depan anak-anak”. Berdasarkan pengalaman tersebut serta studi lanjutan, Freire mulai menyadari bahwa masyarakat miskin memiliki rasa yang berbeda dari realitas dan bahwa untuk berkomunikasi dengan mereka ia harus menggunakan bahasa. Istilah dan simbol yang mereka mengerti. Pengakuan ini menjadi dasar untuk desertasi doktoralnya pada tahun 1959 di Universitas Recife, di mana ia menjadi profesor sejarah dan filsafat pendidikan.

Pada 1961, Freire diangkat ,sebagai direktur dari Departemen Perluasan Budaya dari Universitas Recife, dan pada tahun 1962 ia diangkat oleh walikota Recife sebagai kepala program keaksaraan dewasa untuk kota. Pada saat itulah Freire mendapatkan kesempatan untuk menerapkan secara luas teori-teorinya, ketika 300 orang buruh kebun tebu diajar untuk membaca dan menulis hanya dalam 45 hari. Sebagai tanggapan atas eksperimen ini, pemerintah Brasil menyetujui dibentuknya lingkaran budaya di seluruh negeri. Karena kesuksesan program ini, pada tahun berikutnya, Presiden Brasil menunjuk Freire untuk memimpin Program Keaksaraan Nasional. Sebuah surat kabar konservatif berpengaruh mengklaim bahwa program melek huruf yang dilakukan Freire ada bertujuan untuk menghasut dan mempengaruhi massa rakyat miskin untuk melakukan subversi.

Pada 1964, kudeta militer mengakhiri usaha itu, dan menyebabkan Freire dipenjarakan selama 70 hari atas tuduhan menjadi pengkhianat. Setelah itu, Freire diasingkan di Bolivia dan Chile selama 5 tahun. Selama di Chile, Freire bekerja untuk Gerakan Pembaruan Agraria Demokratis Kristen. Pada 1967, Freire menerbitkan bukunya yang pertama, Pendidikan sebagai Praktik Pembebasan.

Buku ini disambut dengan baik dan Freire ditawari jabatan sebagai professor tamu di Harvard pada 1969. Tahun sebelumnya ia menulis bukunya yang paling terkenal, Pendidikan Kaum Tertindas (Pedagogy of Oppressed), yang diterbitkan dalam bahasa Spanyol dan Inggris pada 1970. Buku itu baru diterbitkan di Brasil tahun 1974 (karena perseteruan antara junta militer yang otoriter dengan Freire yang Sosialis Kristen ketika Jenderal Ernesto Geisel mengambil alih kekuasaan di Brasil dan memulai proses liberalisasi).

Setelah setahun di Cambridge, Freire pindah ke Jenewa, Swiss untuk bekerja sebagai penasehat pendidikan khusus di Dewan Gereja-gereja se-Dunia. Pada masa itu, Freire bertindak sebagai penasehat untuk pembaruan pendidikan di bekas koloni-koloni Portugis di Afrika, khususnya Guinea Bissau dan Mozambik.

Pada 1979, status pengasingan Freire dicabut dan ia kembali ke Brasil pada tahun 1980. Freire bergabung dengan Partai Buruh Brasil di kota Sao Paolo, dan bertindak sebagai penyelia untuk proyek melek huruf dewasa 1980 hingga 1986. Ketika Partai Buruh menang dalam pemilu-pemilu municipal, Freire diangkat menjadi Sekretaris Pendidikan untuk Sao Paolo.

Pada 1986, istrinya Elza meninggal dunia, dan Freire menikahi Maria Araujo Freire, yang melanjutkan dengan pekerjaan pendidikannya sendiri yang radikal.

Pada 1991 didirikanlah Institut Paulo Freire di Sao Paulo untuk memperluas dan menguraikan teori-teorinya tentang pendidikan rakyat. Dan di Institut inilah disimpan semua arsip-arsip Freire.

Paulo Freire meninggal dunia karena serangan jantung pada 2 Mei 1997.


  1. Penyadaran Sebagai Inti Proses Pendidikan Untuk Pembebasan

Manusia dan Dunia Menjadi Pusat Masalah

Filsafat Freire bertolak dari kehidupan nyata, bahwa di dunia ini sebagian besar manusia menderita sedemikian rupa, sementara sebagian lainnya menikmati jerih payah orang lain dengan cara-cara yang tidak adil, dan kelompok yang menikmati ini justru bagian minoritasumat manusia. Dilihat dari segi jumlah saja menunjukkan bahwa keadaan tersebut memperlihatkan kondisi yang tidak berimbang, tidak adil. Persoalan itu yang disebut Freirensebagai “situasi penindasan”.

Bagi Freire, penindasan, apapun nama dan alasannya, adalah tidak manusiawi, sesuatu yang menafikkan harkat kemanusiaan (dehumanisasi).

Dehumanisasi, yang menandai bukan saja mereka yang telah dirampas kemanusiaannya, tetapi juga (biarpun dalam cara yang berbeda) mereka yang telah merampasnya, adalahs ebuah penyimpangan fitrah untuk menjadi manusia sejati. Penyimpangan ini terjadi sepanjang sejarah, namun bukan suatu fitrah sejarah. Mayoritas kaum tertindas menjadi tidak manusiawi karena hak-hak asasi mereka dinistakan, karena mereka dibuat tidak berdaya dan dibenamkan dalam “kebudayaan bisu” (submerged in the culture of silence). Adapun minoritas kaum penindas menjadi tidak manusiawi karena telah mendustai hakekat keberadan dan hati nurani sendiri dengan memaksakan penindasan bagi sesamanya.

Maka dari itu, ikhtiar memanusiakan kembali manusia (humanisasi) merupakan pilihan mutlak. Humanisasi satu-satunya pilihan bagi kemanusiaan, karena walaupun dehumanisasi adalah kenyataan yang terjadi sepanjang sejarah peradaban manusia dan tetap merupakan suatu kemungkinan ontologis di masa mendatang, ia bukanlah suatu keharusan sejarah. Secara dialektis, suatu kenyataan tidak mesti menjadi suatu keharusan. Jika kenyataan menyimpang dari keharusan, maka menjadi tugas manusia untuk merubahnya agar sesuai dengan apa yang seharusnya (the man’s ontological vocation).

Bagi Freire, kodrat manusia adalah menjadi pelaku atau subyek, bukan penderita atau obyek. Panggilan manusia sejati adalah menjadi pelaku yang sadar, yang bertindak mengatasi dunia serta realitas yang menindas atau mungkin menindasnya. Dunia dan realitas atau realitas dunia ini bukan “sesuatu yang ada dengan sendirinya”, dan karena itu “harus diterima menurut apa adanya” sebagai suatu takdir atau semacam nasib yang tak terelakkan, semacam mitos. Manusia harus menggeluti dunia dan realitas dengan penuh sikap kritis dan daya-cipta, dan hal itu berarti mengandaikan perlunya sikap orientatif yang merupakan pengembangan bahasa pikiran (thought of language), yakni bahwa pada hakekatnya manusia mampu memahami keberadaan dirinya dan lingkungan dunianya yang dengan bekal pikiran dan tindakan “praxis”nya ia merubah dunia dan realitas. Maka dari itu manusia berbeda dengan binatang yang hanya digerakkan oleh naluri. Manusia juga memiliki naluri, namun juga memiliki kesadaran (consciousness). Manusia memliki kepribadian, eksistensi. Hal ini tidak berarti bahwa manusia tidak memiliki keterbatasan, tetapi dengan fitrah kemanusiaannya seseorang harus mampu mengatasi situasi-situasi batas (limit situations) yang mengekangnya. Jika seseorang pasrah, menyerah pada situasi batas tersebut, apalagi tanpa ikhtiar dan kesadaran sama sekali, ia sedang tidak manusiawi. Seseorang yang manusiawi harus menjadi pencipta (the creator) sejarahnya sendiri. Karena seseorang hidup di dunia dengan orang-orang lain sebagai umat manusia, maka kenyataan “ada bersama” (being together) itu harus dijalani dalam proses menjadi (becoming) yang tak pernah selesai. Ini bukan sekedar adaptasi, namun integrasi untuk menjadi manusia seutuh-utuhnya.

Manusia adalah penguasa atas dirinya, dan karena itu fitrah manusia adalah menjadi merdeka, menjadi bebas. Ini merupakan tujuan akhir dari upaya humanisasinya Freire. Humanisasi, karenanya juga berarti pemerdekaan atau pembebasan manusia dari situasi-situasi batas yang menindas di luar kehendaknya. Kaum tertindas harus memerdekakan dan membebaskan diri mereka sendiri dari penindasan yang tidak menusiawi sekaligus membebaskan kaum penindas dari penjara hati nurani yang tidak jujur melakukan penindasan. Jika masih ada perkecualian, kemerdekaan dan kebebasan sejati tidak akan pernah tercapai secara penuh dan bermakna.

Pembebasan Menjadi Hakekat Tujuan

Bertolak dari pandangan filsafat tentang manusia dan dunia tersebut, Freire kemudian merumuskan gagasan-gagasannya tentang hakekat pendidikan dalam suatu dimensi yang sifatnya sama sekali baru dan pembaharu.

Bagi Freire, pendidikan haruslah berorientasi kepada pengenalan realitas diri manusia dan dirinya sendiri. Pengenalan itu tidak cukup hanya bersifat obyektif atau subyektif, tapi harus kedua-duanya. Kebutuhan obyektif untuk merubah keadaan yang tidak manusiawi selalu memerlukan kemampuan subyektif (kesadaran subyektif) untuk mengenali terlebih dahulu keadaan yang tidak manusiawi, yang terjadi senyatanya, yang obyektif. Obyektivitas dan subyektivitas dalam pengertian ini menjadi dua hal yang tidak saling bertentangan, bukan suatu dikotomi dalam pengertian psikologis. Kesadaran subyektif dan kemampuan obyektif adalah suatu fungsi dialektis yang ajeg (constant) dalam diri manusia dalam hubungannya dengan kenyataan yang saling bertentangan yang harus dipahaminya. Memandang kedua fungsi ini tanpa dialektika semacam itu bisa menjebak kita ke dalam kerancuan berfikir. Obyektivitas pada pengertian si penindas bisa saja berarti subyektivitas pada pengertian si tertindas, dan sebaliknya. Jadi hubungan dialektis tersebut tidak berarti persoalan mana yang lebih benar atau yang lebih salah. Oleh karena itu, pendidikan harus melibatkan tiga unsur sekaligus dalam hubungan dialektisnya yang ajeg, yakni:

·Pengajar

·Pelajar atau anak didik

·Realitas dunia.

Yang pertama dan kedua adalah subyek yang sadar (cognitive), sementara yang ketiga adalah obyek yang tersadari atau disadari (cognizable). Hubungan dialektis semacam inilah yang tidak terdapat pada sistem pendidikan mapan selama ini.

Sistem pendidikan yang pernah ada dan mapan selama ini dapat diandaikan sebagai sebuah “bank” (banking concept of education) di mana pelajar diberi ilmu pengetahuan agar ia kelak dapat mendatangkan hasil dengan lipat ganda. Jadi, anak didik adalah obyek investasi dan sumber deposito petensial. Mereka tidak berbeda dengan komoditi ekonomis lainnya yang lazim dikenal. Depositor atau investornya adalah para guru yang mewakili lembaga-lembaga kemasyarakatan mapan dan berkuasa, sementara depositonya adalah berupa ilmu pengetahuan yang diajarkan kepada anak didik. Freire percaya bahwa tugas utama pendidikan sistematis adalah reproduksi ideologi kelas dominan, reproduksi kondisi-kondisi untuk memelihara kekuasaan mereka, namun tepatnya karena hubungan antara pendidikan sistematis, sebagai suatu subsistem dengan sistem sosial, merupakan hubungan pertentangan dan kontradiksi timbal balik. Anak didik pun lantas diperlakukan sebagai”bejana kosong” yang akan diisi, sebagai sarana tabungan atau penanaman “modal ilmu pengetahuan” yang akan dipetik hasilnya kelak. Jadi guru adalah subyek aktif, sedang anak didik adalah obyek pasif yang penurut, dan diperlakukan tidak berbeda atau menjadi bagian dari realitas dunia yang diajarkan kepada mereka, sebagai obyek ilmu pengetahuan teoritis yang tidak berkesadaran. Pendidikan akhirnya bersifat negatif di mana guru memberi informasi yang harus ditelan murid, yang wajib diingat dan dihafalkan. Secara sederhana, Freire menyusun daftar antagonisme pendidikan “gaya bank” itu sebagai berikut:

1.Guru mengajar, murid belajar

2.Guru tahu segalanya, murid tidak tahu apa-apa

3.Guru berpikir, murid dipikirkan

4.Guru bicara, murid mendengarkan

5.Guru mengatur, murid diatur

6.Guru memilih dan memaksakan pilihannya, murid menuruti

7.Guru bertindak, murid membayangkan bagaimana bertindak sesuai dengan tindakan gurunya

8.Guru memilih apa yang diajarkan, murid menyesuaikan diri

9.Guru mengacaukan wewenang ilmu pengetahuan dengan wewenang profesionlismenya, dan mempertentangkannya dengan kebebasan murid-murid

10.Guru adalah subyek proses belajar, murid obyeknya.

Oleh karena guru yang menjadi pusat segalanya, maka merupakan hal yang lumrah saja jika murid-murid kemudian mengidentifikasikan diri seperti gurunya sebagai prototip manusia ideal yang harus ditiru dan digugu, harus diteladani dalam semua hal. Freire menyebut pendidikan semacam itu menciptakan “nekrofili” dan bukannya melahirkan “biofili”. Implikasinya lebih jauh adalah bahwa pada saatnya nanti murid-murid akan benar-benar menjadikan diri mereka sebagai duplikasi guru mereka dulu, dan pada saat itulah akan lahir lagi generasi baru manusia-manusia penindas. Jika di antara mereka ada yang menjadi guru atau pendidik, daur penindasan segera dimulai dalam dunia pendidikan, dan demikian terjadi seterusnya. Sistem pendidikan, karena itu, menjadi sarana terbaik untuk memelihara keberlangsungan status-quo sepanjang masa, bukan menjadi kekuatan penggugah (subversive force) ke arah perubahan dan pembaruan. Bagi Freire, sistem pendidikan justru harus menjadi kekuatan penyadar dan pembebas umat manusia. Sistem pendidikan mapan selama ini telah menjadikan anak didik sebagai manusia-manusia yang terasing dan tercerabut (disinherited masses) dari realitas dirinya sendiri dan realitas dunia sekitarnya, karena ia telah mendidik mereka menjadi ada dalam artian menjadi seperti orang lain, bukan menjadi dirinya sendiri.

Pola pendidikan seperti itu paling jauh hanya akan mampu merubah “penafsiran” seseorang terhadap situasi yang dihadapinya, namun tidak akan mampu merubah “realitas” dirinya sendiri. Manusia menjadi penonton dan peniru, bukan pencipta, sehingga mudah dipahami mengapa suatu revolusi yang paling revolusioner sekalipun pada awal mulanya, tetapi digerakkan oleh orang-orang yang dihasilkan oleh sistem pendidikan mapan seperti itu, pada akhirnya hanyalah menggantikan simbol-simbol dan mitos-mitos lama dengan simbol-simbol dan mitos-mitos baru yang sebenarnya setali tiga uang alias sama saja, bahkan terkadang jauh lebih buruk.

Akhirnya Freire sampai pada formulasi filsafat pendidikannya sendiri, yang dinamakannya sebagai “pendidikan kaum tertindas”, sebuah sistem pendidikan yang ditempa dan dibangun kembali bersama dengan, dan bukan diperuntukkan bagi, kaum tertindas. Sistem pendidikan pembaharu ini, kata Freire, adalah pendidikan untuk pembebasan – bukan untuk penguasaaan (dominasi). Pendidikan harus menjadi proses pemerdekaan, bukan penjinakan sosial-budaya (social and cultural domestication). Pendidikan bertujuan menggarap realitas manusia dan, karena itu secara metodologis bertumpu di atas prinsip-prinsip aksi dan refleksi total, yakni prinsip bertindak untuk merubah kenyataan yang menindas dan pada sisi simultan lainnya secara terus-menerus menumbuhkan kesadaran akan realitas dan hasrat untuk merubah kenyataan yang menindas. Inilah makna dan hakekat praxis itu.

Dengan kata lain, “praxis” adalah “manunggal karsa, kata dan karya”, karena manusia pada dasarnya adalah kesatuan dari fungsi berpikir, berbicara dan berbuat.

Pada saat bertindak dan berpikir itulah, seseorang menyatakan hasil tindakan dan buah pikirannya melalui kata-kata. Dengan daur belajar seperti ini, setiap anak didik secara langsung dilibatkan dalam permasalahan-permasalahan realitas dunia dan keberadaan diri mereka di dalamnya. Karena itu, Freire juga menyebut model pendidikannya sebagai “pendidikan hadap masalah” (problem posing education). Anak didik menjadi subyek yang belajar, subyek yang bertindak dan berpikir, dan pada saat bersamaan berbicara menyatakan hasil tindakan dan buah pikirannya. Begitu juga sang guru.

Jadi, keduanya (murid dan guru) saling belajar satu sama lain, saling memanusiakan. Dalam proses ini, guru mengajukan bahan untuk dipertimbangkan oleh muriddan pertimbangan sang guru sendiri diuji kembali setelah dipertemukan dengan pertimbangan murid-murid, dan sebaliknya. Hubungan keduanya pun menjadi subyek-subyek, bukan subyek-obyek. Obyek mereka adalah realita. Maka terciptalah suasana dialogis yang bersifat inter subyek untuk memahami suatu obyek bersama.

Penyadaran Merupakan Inti Proses

Freire menggolongkan kesadaran manusia menjadi kesadaran magis (magical consciousness), kesadaran naïf (naival consciousness), dan kesadaran kritis (critical consciousness).

·Kesadaran magis yakni suatu kesadaran masyarakat yang tidak mampu melihat kaitan antara satu faktor dengan faktor lainnya. Misalnya masyarakat miskin yang tidak mampu melihat kaitan antara kemiskinan mereka dengan sistem politik dan kebudayaan. Kesadaran magis lebih melihat faktor di luar manusia (natural maupun supranatural) sebagai penyebab dan ketidakberdayaan.

·Kesadaran naïf, keadaan yang dikatagorikan dalam kesadaran ini adalah lebih melihat aspek manusia menjadi akar penyebab masalah masyarakat.

·Kesadaran kritis, kesadaran ini lebih melihat aspek sistem dan struktur sebagai sumber masalah. Pendekatan struktural menghindari “blaming the victims” dan lebih menganalisis. Untuk secara kritis menyadari struktur dan sistem sosial, politik, ekonomi budaya dan akibatnya pada keadaan masyarakat.

Dengan aktif bertindak dan berpikir sebagai pelaku, dengan terlibat langsung dalam permasalahan yang nyata, dan dalam suasana dialogis, maka kaum tertindasnya Freire dengan segera menumbuhkan kesadaran yang menjauhkan seseorang dari “rasa takut akan kemerdekaan” (fear of freedom). Dengan cara menolak penguasaan, penjinakan dan penindasan, maka pendidikan kaum tertindasnya Freire secara langsung dan gamblang tiba pada pengakuan akan pentingnya peran proses penyadaran (konsientisasi). Pembebasan dan pemanusiaan manusia hanya bisa dilakukan dalam artian yang sesungguhnya jika seseorang memang benar-benar telah menyadari realitas dirinya sendiri dan dunia sekitarnya, tidak pernah mampu mengenali apa yang sesungguhnya ia ingin lakukan, tidak akan pernah dapat memahami apa yang sesungguhnya ingin ia capai. Jadi, sangatlah mustahil memahamkan seseorang bahwa ia harus mampu, dan pada hakekatnya memang mampu, memahami realitas dirinya dan dunia sekitarnya sebelum ia sendiri benar-benar sadar bahwa kemampuan itu adalah fitrah kemanusiaan dan bahwa pemahaman itu sendiri adalah penting dan memang mungkin baginya.

Dengan kata lain, langkah awal yang paling menentukan dalam upaya pendidikan pembebasannya Freire yakni suatu proses yang terus-menerus, suatu “commencement”, yang selalu “mulai dan mulai lagi”, maka proses penyadaran akan selalu ada dan merupakan proses yang inheren dalam keseluruhan proses pendidikan itu sendiri. Maka, proses penyadaran merupakan proses inti atau hakikat dari proses pendidikan itu sendiri. Dunia kesadaran seseorang memang tidak boleh berhenti, mandeg, ia senantiasa harus selalu berproses, berkembang dan meluas, dari satu tahap ke tahap berikutnya, dari tingkat “kesadaran naïf” sampai ke tingkat “kesadaran kritis”, sampai akhirnya mencapai tingkat kesadaran tertinggi dan terdalam, yakni “kesadaran kesadaran” (the consice of the consciousness).

Jika seseorang sudah mampu mencapai tingkat kesadaran kritis terhadap realitas, orang itu pun mulai ke dalam proses pengertian dan bukan proses menghafal semata-mata. Orang yang mengerti bukanlah orang yang menghafal, karena ia menyatakan diri atau sesuatu berdasarkan suatu “sistem kesadaran”, sedangkan orang yang menghafal hanya menyatakan diri atau sesuatu secara mekanis tanpa (perlu) sadar apa yang dikatakannya, dari mana ia telah menerima hafalan yang dinyatakannya itu, dan untuk apa ia menyatakannya kembali pada saat tersebut.

Di situlah letak berikut arti penting dari kata-kata, karena kata-kata yang dinyatakan seseorang sekaligus mewakili dunia kesadarannya, fungsi interaksi antara tindakan dan pikirannya. Menyatakan kata-kata yang benar, dengan cara benar, adalah menyatakan kata-kata yang memang disadari atau disadari maknanya, di situlah arti memahami realitas, berarti telah melakukan “praxis”, dari situlah ia telah berperan, andil merubah dunia. Tetapi kata-kata yang dniyatakan sebagai bentuk pengucapan dari dunia kesadaran yang kritis bukanlah kata-kata yang diinternalisasikan dari luar tanpa refleksi, bukan slogan-slogan, namun berasal dari perbendaharaan kata-kata orang itu sendiri untuk menamakan dunia yang dihayatinya sehari-hari, betapapun sederhananya.

Maka, pendidikan harus memberi keleluasaan bagi setiap orang untuk mengatakan kata-katanya sendiri, bukan kata-kata orang lain. Murid harus diberi kesempatan untuk mengatakan dengan kata-katanya sendiri, bukan kata-kata sang guru. Atas dasar itulah, Freire menyatakan bahwa proses pengaksaraan dan keterbacaan (alfabetisasi dan literasi) pada tingkat yang paling awal sekali dari semua proses pendidikan haruslah benar-benar merupakan suatu proses yang fungsional, bukan sekedar suatu kegiatan teknis mengajarkan huruf-huruf dan angka-angka serta merangkaikan menjadi kata-kata dalam kalimat-kalimat yang telah tersusun secara mekanis. Berdasarkan pengalaman dan dialognya dengan kaum petani miskin dan buta huruf (terutama di Brasil dan Chile), Freire kemudian menyusun suatu konsep pendidikan melek huruf fungsional menggunakan perbendaharaan kata-kata yang digali dari berbagai “tema pokok” (generative theme) pembicaraan sehari-hari masyarakat petani itu sendiri. Dalam pelaksanaannya, konsep pendidikan melek huruf fungsional Freire ini terdiri dari tiga tahapan utama:

1.Tahap Kodifikasi dan Dekodifikasi: merupakan tahap pendidikan melek huruf elementer dalam “konteks konkret” dan “konteks teoritis” (melalui gambar-gambar, cerita rakyat, dan sebagainya).

2.Tahap Diskusi Kultural: merupakan tahap lanjutan dalam satuan kelompok-kelompok kerja kecil yang sifatnya problematis dengan menggunakan “kata-kata kunci” (generative words).

3.Tahap Aksi Kultural: merupakan tahap “praxis” yang sesungguhnya di mana setiap orang atau kelompok menjadi bagian langsung dari realitas.


  1. Manfaat Teori

1.Memberikan solusi alternatif atas kebuntuan yang melanda praktik pendidikan di seantero dunia. Freire mengambil ide pembebasan dan mengkombinasikan dengan apa yang disebut “bahasa kritis” dan “bahasa alternatif” (the language of possibility). Dengan bahasa kritik, Freire menciptakan teori pendidikan yang benar-benar mengkaitkan antara teori kritis-radikal dengan tuntutan perjuangan yang juga radikal. Karena perjuangannya melawan suatu dominasi, menurut Freire logika dominasi menunjukkan adanya kombinasi rekayasa “ideologis” dan “material” pada masa lalu dan sekarang.

2.Teori pendidikan pembebasan Freire berhasil membongkar praktik-praktik pendidikan mapan yang selama ini dianut oleh sebagian besar Negara-nagara di dunia (termasuk Indonesia), di mana praktik pendidikan tersebut hanyalah melanggengkan dominasi kekuasaan dari kelas yang berkuasa.

3.Teori pendidikan Freire telah menjadi rujukan dan diadopsi oleh banyak lembaga pendidikan di beberapa Negara “kiri” atau paling tidak berpaham sosialis (seperti Brasil, Venezule, Chile, Bolivia, dll) juga beberapa lembaga pendidikan di Indonesia yang menganut metode pendidikan partisipatoris.


  1. Komentar

Dampak riil dari gagasan Freire ini adalah upayanya yang ingin memperhadapkan pendidikan dengan realitas yang tengah bergumul di sekitarnya. Kenyataan yang nampak hingga hari ini justru proses dan reproduksi pendidikan sangat jauh dari keinginan untuk mampu menbaca realitas secara kritis dan cerdas.

“Pendidikan kritis” (sebuah gagasan yang memang banyak dipengaruhi oleh Freire) merupakan suatu bentuk “kritisisme sosial”. Semua pengetahuan pada dasarnya dimediasi oleh linguistik yang tidak bisa dihindari secara sosial dan historis; individu-individu secara syechochical berhubungan dengan masyarakat yang lebih luas melalui tradisi mediasi (yaitu bagaimana lingkup keluarga, teman, agama, sekolah formal, budaya pop, dan sebagainya). Pendidikan mempunyai hubungan dialogis dengan konteks sosial yang melingkupinya. Sehingga, pendidikan harus kritis terhadap berbagai fenomena yang ada dengan menggunakan pola pembahasaan yang bernuansa sosio-historis.

Lebih lanjut, dimaknai bahwa pendidikan kritis yang disertai adanya kedudukan wilayah-wilayah pedagogis dalam bentuk universitas, sekolah negeri, museum, galeri seni, atau tempat-tempat lain, maka ia harus memiliki visi dengan tidak hanya berisi individu-individu yang adaptif terhadap dunia hubungan sosial yang menindas, tapi juga didedikasikan untuk mentransformasikan kondisi semacam itu. Artinya, pendidikan tidak berhenti pada bagaimana produk yang akan dihasilkannya untuk mencetak individu-individu yang hanya diam manakala mereka harus berhubungan dengan sistem sosial yang menindas. Harus ada kesadaran untuk melakukan pembebasan. Pendidikan adalah momen kesadaran kritis kita terhadap berbagai problem sosial yang ada dalam masyarakat.

Upaya menggerakkan kesadaran ini bisa menggeser dinamika dari pendidikan kritis menuju pendidikan yang revolusioner. Keduanya berasal dari rahim pemikiran Freire juga. Menurutnya, pendidikan revolusioner adalah sistem kesadaran untuk melawan sistem borjuis karena tugas utama pendidikan (selama ini) adalah mereproduksi ideologi borjuis. Artinya, pendidikan telah menjadi kekuatan kaum borjuis untuk menjadi saluran kepentingannya. Maka, revolusi yang nanti berkuasa akan membalikkan tugas pendidikan yang pada awalnya telah dikuasai oleh kaum borjuis kini menjadi jalan untuk menciptakan ideologi baru dengan terlebih dahulu membentuk “masyarakat baru”. Masyarakat baru adalah tatanan struktur sosial yang tak berkelas dengan memberikan ruang kebebasan penuh atas masyarakat keseluruhan.

Pendidikan pembebasan akan dicapai dengan menumbangkan realitas penindasan, yaitu dengan mengisi konsep pedagogis yang memberikan kekuatan pembebasan yang baru. Di sinilah kita perlu memperbincangkan soal kurikulum pendidikan yang membebaskan. Tapi, terlebih dahulu kita perlu mengkritik konsep pengetahuan selama ini. Dan sebenarnya pengetahuan yang ingin didorong oleh Freire adalah pengetahuan melalui transformasi dan subversi terhadap pengetahuan itu sendiri, yaitu pengetahuan yang “didepositokan” dalam buku-buku teks sehingga apa yang dihasilkan dari pola pendidikan dan pengetahuan ini akan terpisah dengan realitas kontekstual.

Kebebasan tentu ada batasnya. Kebebasan memiliki batasan-batasan tersendiri, tergantung persoalan yang dihadapi oleh “kaum tertindas” tersebut. Karena jika kebebasan tidak diiringi dengan batasan-batasan tertentu, justru akan berbenturan dengan hak-hak orang lain, yang pada ahirnya akan menimbulkan anarkhisme.

Oleh sebab itu, kesadaran kritis menjadi titik tolak pemikiran pembebasan Freire. Tanpa kesadaran kritis rakyat bahwa mereka sedang ditindas oleh kekuasaan, tak mungkin pembebasan itu dapat dilakukan. Karena itu, konsep pendidikan Freire ditujukan untuk membuka kesadaran kritis rakyat itu melalui pemberantasan buta huruf dan pendampingan langsung dikalangan rakyat tertindas. Upaya membuka kesadaran kritis rakyat itu, dimata kekuasaan rupanya lebih dipandang sebagai suatu "gerakan politik" ketimbang suatu gerakan yang mencerdaskan rakyat. Karena itu, pada tahun 1964 Freire diusir oleh pemerintah untuk meninggalkan Brazil. Pendidikan pembebasan, menurut Freire adalah pendidikan yang membawa masyarakat dari kondisi "masyarakat kerucut" (submerged society) kepada masyarakat terbuka (open society).

Walaupun teori yang dikembangkan oleh Freire ini (tampak) ideal, penulis melihat ada kelemahan (jika bisa disebut sebagai kelemahan). Dalam beberapa kondisi politik, ekonomi, social dan budaya, masyarakat (juga Negara) sering tidak bisa terlepas dari kondisi-kondisi mereka harus melindungi masyarakat dari hegemoni yang menjadi musuh ideologis dari Negara. Dalam teori Gramsci mengenai hegemoni, hegemoni hanya bisa dilawan jika kita menciptakan kontra hegemoni, sehingga idelogi masyarakat (juga Negara) bisa dilindungi, sedangkan teori Freire menentang segala macam hegemoni dari suatu ideologi tertentu padahal dalam suatu kondisi krisis atau revolusioner kondisi seperti ini sering diidentikkan dengan kondisi perang sehingga diperlukan langkah yang cepat dan terpusat untuk mengatasinya.


  1. Kesimpulan

Tujuan Pendidikan menurut Freire adalah membebaskan manusia dari kondisi-kondisi penindasan yang telah membawa kehidupan manusia pada sikap “tidak manusiawi”, baik itu korban penindasan maupun pelaku penindasan. Freire menganggap bahwa situasi penindasan bukanlah keharusan sejarah, tetapi lebih karena diciptakan, maka pendidikan berfungsi untuk merubah itu semua.

Dalam melawan segala situasi penindasan ini, terlebih dahulu manusia haruslah memiliki kesadaran bahwa telah terjadi penindasan dan memiliki perasaan bahwa ia mampu untuk merubah itu semua.

Freire menggolongkan kesadaran manusia menjadi kesadaran magis (magical consciousness), kesadaran naïf (naival consciousness), dan kesadaran kritis (critical consciousness)

·Kesadaran magis yakni suatu kesadaran masyarakat yang tidak mampu melihat kaitan antara satu faktor dengan faktor lainnya. Misalnya masyarakat miskin yang tidak mampu melihat kaitan antara kemiskinan mereka dengan sistem politik dan kebudayaan. Kesadaran magis lebih melihat faktor di luar manusia (natural maupun supranatural) sebagai penyebab dan ketidakberdayaan.

·Kesadaran naïf, keadaan yang dikatagorikan dalam kesadaran ini adalah lebih melihat aspek manusia menjadi akar penyebab masalah masyarakat.

·Kesadaran kritis, kesadaran ini lebih melihat aspek sistem dan struktur sebagai sumber masalah. Pendekatan struktural menghindari “blaming the victims” dan lebih menganalisis. Untuk secara kritis menyadari struktur dan sistem sosial, politik, ekonomi budaya dan akibatnya pada keadaan masyarakat.

Untuk membangun kesadaran ini, metode pendidikan tidak bisa dilakukan secara searah, harus dilakukan secara dua arah, di mana guru dan murid harus berada dalam kondisi sejajar agar murid tidak berperan sebagai obyek yang hanya berperan sebagai wadah yang harus diisi oleh ilmu pengetahuan yang hanya berasal dari sang guru (pendidikan gaya bank”, tetapi guru dan murid harus bisa berperan ganda (guru bisa menjadi murid, murid pun bisa menjadi guru), karena dalam menghadapi permasalahan sehari-hari pengalaman setiap orang berbeda-beda dan berbeda pula cara mengatasi permasalahan yang dihadapi sehingga tidak ada orang yang lebih pandai dari orang lain begitu juga sebaliknya.

Kahar Muamalsyah

Penulis adalah Ketua Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia (PBHI) Wilayah Jawa Tengah.

Ensiklopedia Tokoh Dunia, Paulo Freire.

Paulo Freire, Pendidikan Kaum Tertindas, LP3ES, Jakarta, April 2000, Halaman 11.

Kebudayaan bisu, menurut Freire adalah “kondisi kultural sekelompok masyarakat yang ciri utamanya adalah ketidakberdayaan dan ketakutan umum untuk mengungkapkan pikiran dan perasaan sendiri”, sehingga “diam” nyaris dianggap sesuatu yang sakral, sikap yang sopan, dan harus ditaati.

PRAXIS (Yunani) = PRACTIVE (Inggris) = Kegiatan (Indonesia) (lihat Wiratmo Sukito, dalam Prisma, Nomor 3/VIII/Maret 1979). PRAXIS adalah pemahaman tentang dunia dan kehidupan serta hasrat untuk merubahnya (lihat Brian McCall, “Peralihan ke Arah Berdikari”, dalam Masyarakat Studi Pembangunan, Nomor 2/III/LSP/1981), PRAXIS adalah konsep filsafat tentang aktifitas manusia (lihat Adolfo Sanches Vasques, The Philosophy of Praxis, Merlin Books, London, 1978).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun