Mohon tunggu...
Mual P Situmeang
Mual P Situmeang Mohon Tunggu... Relawan - Pekerja Sosial

Spesialis Pelibatan Masyarakat

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Realita Kematian: Luka Jiwa Paling Mendalam

7 Juni 2022   08:00 Diperbarui: 7 Juni 2022   13:38 308
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sekalipun kematian adalah realita yang biasa kita dengar, lihat, dan alami dalam kehidupan manusia, peristiwa duka tersebut amat melukai jiwa seseorang secara mendalam.

Semakin lekat dan kuat relasi seseorang dengan pribadi yang meninggal maka kesedihan yang dialaminya akan sangat berat. Misalnya saat kehilangan anggota keluarga karena ikatannya melekat erat, disamping kedekatan lainnya seperti para sahabat dan kerabat keluarga lainnya.

Orang lainpun bisa juga memiliki relasi lebih akrab dari keluarga sendiri. 

(Foto ptun-bandung.go.id)
(Foto ptun-bandung.go.id)
Menghadapi peristiwa kematian seseorang yang sangat dekat apalagi ada ikatan darah sangatlah berat dan menyedihkan. Seolah ada bagian jiwa yang terlepas dari dirinya. Sebuah perpisahan yang mengguncangkan jiwa dan menghentakkan kehidupannya. 

Adanya kehilangan besar membuat jiwa perih dan sakit secara psikis. Pada awalnya ia bak sebuah mimpi bukan suatu kenyataan. Pikiran menjadi stress berat dan tidak bisa menerima bahwa itu telah terjadi.

(Foto dreamstime.com)
(Foto dreamstime.com)
Menurut siklus kepedihan (model Kubler-Ross) ada 5 tahapan menuju proses adaptasi: 1. Penolakkan, 2. Kemarahan, 3. Penawaran, 4. Depresi, 5. Penerimaan pada realita.

Tahapannya dimulai dari rasa tak percaya bahwa kejadian itu nyata. Kemudian ada semacam rasa ketidakadilan hidup seperti bentuk kemarahan yang mempertanyakan situasi mengapa harus begini atau mengapa harus saya/kami. Lalu masuk pada fase negosiasi...oh seandainya saya hadir, seandainya aku saja yang mati agar dia bisa berbahagia dst. Dan masuk kepada rasa kehilangan harapan seperti tidak ada gunanya hidup dan patah semangat. Akhirnya muncul kerelaan menerima kehilangan atau kematian sebagai kenyataan hidup atau takdir yang diatur oleh Tuhan Yang Maha Kuasa.

(Foto shambhala.com)
(Foto shambhala.com)
Masing-masing individu memiliki kelenturan diri melewati siklus ini hingga mencapai tahap penerimaan. Lalu beradaptasi pada kenyataan baru.  Ada individu yang membutuhkan waktu panjang dan ada yang relatif pendek masa pemulihannya.

Peristiwa kehilangan anak seorang pejabat pemerintah baru-baru ini mengundang simpati para keluarga. Sebuah pengalaman pilu yang segera menyentuh kemanusiaan siapapun juga. Kesedihan ibu atau bapa serta keluarganya amat mudah dipahami oleh semua manusia baik yang mengenal maupun yang tidak mengenalnya. 

Tidak ada metode atau obat yang segera mengatasi kepedihan seseorang selain melewati tahapan tersebut dan beradaptasi.  

Bagi mereka yang memiliki pandangan hidup bahwa ada Tuhan Pemilik Kehidupan maka mereka akan berpegang pada ajaran yang diyakininya. Mereka berproses dengan pengharapan bahwa Tuhan menuntun dan menguatkannya. Sedangkan mereka yang tidak memiliki keyakinan akan Tuhan mereka juga berproses dengan prisip hidupnya.

(Foto bbc.com)
(Foto bbc.com)
Menangis, sedih, dan pilu adalah ekspresi wajar dan sehat bagi hati yang terluka akibat perpisahan atau kehilangan seseorang yang sangat dicintainya. Namun pengharapan oleh karena iman kepada Tuhan Yang Maha Kuasa menjadi tempat pengaduan dan kekuatan yang nyaman bagi masyarakat Indonesia yang beragama.

Kami ikut bersimpati kepada Kang Emil dan Atalia sekeluarga. Kiranya pengharapan kepada Tuhan Sang Pemilik Hidup semakin melimpah.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun