Sejak saya melibatkan diri ke dunia maya dan bertahap bergabung ke beberapa platform media sosial seperti Friendster, Facebook, Twitter, Linked, WA, Blog, You Tube, dan Instagram ternyata banyak pembelajarannya. Â Saya tidak bergabung dengan Pinterest, Snapchat, Â TikTok dan yang lainnya terlalu repot walaupun sekedar ingin tahu dan belajar. Â Ada yang bermanfaat dan ada pula yang tidak bermanfaat bahkan bisa mempengaruhi sikap dan pikiran diri sendiri.
Pengalaman panjang saya bermedia sosial mungkin sudah lebih dari 14 tahun karena saya tidak ingat persis kapan memulainya, tetapi dari data blogger sejak tahun 2008. Â Kala itu sebagai pemula saya membuat blog pribadi untuk menyimpan album kenangan. Dokumentasi tugas perjalanan dinas melanglang buana ke berbagai benua dan juga kisah-kisah keluarga. Sedangkan awal beraktifitas dan terkoneksi internet sudah lebih dari 33 tahun. Karena tugas administrasi dan komunikasi antar negara saat bekerja di lembaga internasional mulai tahun 1987. Â
Sebelum bergabung dengan Facebook saya pernah ikut Friendster hanya tidak aktif. Facebook menjadi media yang lebih menarik saat itu. Media ini lebih sederhana mengupdate info dan juga membagikan cerita beserta fotonya ke teman-teman akibatnya blog pribadi terbengkalai.
Dari perjalanan bermedsos seringkali pencobaannya datang dari 2 arah. Â Pencobaan pertama berasal dalam diri sendiri. Adanya kelemahan manusiawi masing-masing pribadi yang berbeda. Â
Bagi saya kelemahannya adalah kecenderungan hati mendapat perhatian dan pengakuan dari teman atau orang yang tergabung dalam group.  Akibatnya ekpresi dan konten yang ditampilkan bias lebih memamerkan pernyataan implisit saya keren, hebat, bisa, unggul dlsb. disertai foto-foto yang mendukungnya.  Bijak menurut gayaku atau jalan keluarnya adalah berhenti sejenak lalu mengamati dan mereview muatannya terlebih dahulu sebelum mengirimnya a.l :
1. Apakah tampilan dan pesan ini lebih menonjolkan diri atau keluarga?
2. Apakah ada pihak yang terpinggirkan atau terasingkan oleh pesan dan penyampaian ini?
3. Apakah bermanfaat untuk diri dan juga orang lain?
4. Apakah nilainya sesuai dengan normatif kebanyakan orang?
Namun sekalipun sudah ada screening sebelum mempostingnya tetap saja ada tersisa bias pencitraan atau narsistik level tertentu begitu diposting. Inilah salah satu pencobaan dalam bermedsos. Â Sadar atau tidak sadar emosi hati kita terpengaruh ingin mendapat recognition semacam pengakuan atau perhatian orang agar memberi like atau comment pada konten kita. Â Berbeda dengan blog kompasiana yang memang tujuannya jelas. Â Antara lain mendapat view sebanyak-banyaknya sepanjang konten sesuai peraturan.
Pencobaan kedua adalah stimulus dari luar.  Penyajian sensasional dan bombastis media yang langsung menyentuh indera penggiat media sosial menimbulkan dorongan penasaran curiositiy dan juga rasa senang, marah, sakit, kesal dihati.  Membuat mereka dibawah sadar terperangkap dalam cara berpikir dan pandangan pengirim konten. Hal ini sebenarnya bagian dari sikap diri sendiri terhadap kehadiran sebuah pernyataan atau info di media.Â
Tetapi ini sering menjadi sumber keramaian reaksi di media. Timbul pernyataan saling berargumentasi dan tidak sedikit yang menyampaikan reaksi negatif dan kasar bahkan hujatan. Â Bagi remaja atau pemuda termasuk juga sebagian kecil kelompok dewasa emosinya sangat mudah tersulut dan segera reaktif bukan proaktif. Â Pencobaan ini memang tidak mudah diatasi hanya dengan pertimbangan rasional bijak bermedia a.l:
1. Apakah info sesuai dengan kebutuhan dan tujuan keperluan saya/penerima info? (menentukan info yang penting dan relevan)
2. Apakah sumber info dan konten berasal dari sumber terpercaya? (dari institusi/lembaga resmi, sumber yang kompeten dan berotoritas)
3. Apakah info berupa sebuah opini atau fakta? Â (mengandung penilaian, atau netral mendeskripsikan aktual data dan fakta, konsisten dengan sumber resmi lainnya)
4. Apakah info bermanfaat bagi diri sendiri dan sesama? Â (ada nilai moral kemanusiaan menghargai dan menghormati)
Screening bijak inipun bukan menjamin dapat mengatasi pencobaan medsos. Â Minimal dapat mengingatkan saya tidak ikut kelompok yang reaktif tetapi secara proaktif bisa melihat medsos hanyalah media atau alat netral saja. Â Ia seperti pisau dapat melukai orang tetapi juga alat yang bisa mengoperasi usus buntu menyembuhkan ditangan ahli bedah. Â Jadi kitalah sebagai subyek yang menentukan dan mengendalikan obyek medsos. Â Mari bermedsos dengan bijak.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H