Judul Buku: Menjadi Manusia Belajar dari Aristoteles
Penulis:Â Franz Magnis-Suseno
Penerbit: Kanisius
Kota Terbit: Yogyakarta
Tahun Terbit: 2009
Tebal: 81 Halaman
Menjadi manusia secara fisik sudah secara sadar dan real dapat kita lihat tubuh kita, mulai dari organ-organ yang Allah susun dengan sempurna, sedemikian rupa.
Namun, hal tersebut tidak menjadi penilaian yang final dalam mengukur seorang manusia, apakah dia sudah menjadi manusia atau tidak?
Menurut Aristoteles, seseorang sudah dikatakan menjadi manusia seutuhnya ketika sifat-sifat kebinatangan yang terdapat dalam dirinya dapat dihindari atau bahkan dapat  dia hilangkan.
Sebab, seseorang yang dikuasai oleh sifat-sifat tersebut pada dasarnya adalah orang yang paling hina diantara orang-orang yang bisa menahan nafsu kebinatangannya dan memilih untuk menjadi orang yang berjalan di garis lurus.
Aristoteles menyebutkan dalam buku ini bahwa sifat kebinatangan dapat menjadi hijab atau penghalang bagi seseorang untuk sampai pada derajat yang mulia karena tujuan akhir daripada kehidupan ini adalah mencapai kebahagiaan yang paripurna.
Apakah kebahagiaan itu ketika kita memiliki banyak uang? Tas branded? Mobil mewah? Emas yang menggunung?
Ternyata tidak! Menurut Ariestoteles semua itu adalah sarana saja bukan tujuan akhir dari kebahagiaan karena jika sesuatu tersebut menjadi sarana maka ia hanya berperan sebagai jembatan, penghubung untuk kebahagiaan yang lebih hakiki.
Maka dari itu, untuk mendapat kebagiaan menurut Aristoteles caranya mudah saja, kejar kenikmatan dan hindari penderitaan, mungkin sampai di sini kamu bingung.
Loh bagaimana bisa? Bukannya untuk mendapatkan kesuksesan kita harus diterpa penderitaan dengan berjuang mati-matian?
Hal itu tentu benar, tetapi yang dimakud Aristoteles adalah lakukan sesuatu yang mungkin menurut kita tidak enak dengan senang hati dan bersabar karena ujung dari semua itu adalah kebagiaan seperti puasa bikin kita lapar maka lakukan puasa tersebut karena banyak manfaat yang akan kita dapatkan diakhir menahan dari haus, lapar dan hawa nafsu buruk lainnya.
Lalu, hindari penderitaan dengan cara melekatkan mindset negative pada suatu kesenangan yang semu karena ujung pangkal dari perbuatan tersebut adalah kesengsaraan seperti berlama ria dengan men-scroll gadget tanpa tujuan. Hal ini memang meningkatkan kesenangan tetapi hanya sesaat sebab waktu menjadi terbuang sia-sia.
Seandainya kita gunakan untuk hal-hal yang bermanfaat maka akan banyak hal yang kita dapatkan untuk kebaikan diri kita bahkan orang lain.
Maka alangkah lebih jika manusia memanfaatkan potensi yang mereka miliki yang terdapat pada dimensi ruh atau rasional serta dimensi sosial.
Menurut Aristoteles, dua dimensi ini dapat menjadi faktor kebahagiaan dalam hidup manusia dan menjadikan kita manusia yang seutuhnya sebab dari keduanya kita dapat membangun hubungan kita dengan diri kita pribadi, Tuhan, dan sosial.
Dimensi ruh atau rasional adalah bagian yang berhubungan dengan Ilahi, dan intelektual manusia. Dalam konteks ini manusia diajak untuk berpikir tentang dirinya, untuk apa ia hidup, siapa dirinya, dan lain-lain maka dari sini manusia akan mengalami perkembangan ke arah yang lebih baik.
Manusia yang selalu tumbuh dan berkembang secara intelektual dan juga secara psikologi dengan memaksimalkan potensi dirinya maka ia akan menemukan kebahagiaan karena rasa bosan yang menghampiri manusia disebabkan oleh kemandegan atau diam di tempat.
Selain itu, dimensi ini berkaitan dengan hubungan manusia dengan Tuhan-nya, kata Aristoteles, untuk menemukan kebahagiaan yang sejati ,manusia harus memperbaiki hubungan manusia dengan Tuhan-nya karena hakikat kemanusiaan yang abadi ada pada kedekatan manusia dengan-Nya.
Terakhir, dimensi sosial. Hal ini berhubungan dengan peran manusia untuk lingkungannya, orang-orang sekitarnya, baik seagama atau tidak, satu ras, etnis, bahasa, suku, atau tidak. Maka, sikap empati untuk berkontribusi harus ada dalam diri manusia.
Manusia harus berpikir bagaimana ia harus dapat memberikan manfaat kepada yang lain karena menurut Aristoteles, zoon politicon artinya manusia itu makhluk sosial, dia tidak bisa hidup tanpa yang lain.
Oleh karena itu, untuk menemukan kebahagiaan dan menjadi orang yang bahagia, hendaknya manusia mengasah terus kemampuan bersosial serta miliki rasa empati kepada sesama manusia dan makhluk lain.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H