Mohon tunggu...
Muadzin Jihad
Muadzin Jihad Mohon Tunggu... wiraswasta -

Entrepreneur | Founder & CEO Ranah Kopi | Founder Semerbak Coffee | Father of 3 | Coffee-Book-Movie-Photography-Graphic Design Freak | Blogger | Author "Follow Your Passion" | www.muadzin.com | Instagram & Twitter @muadzin

Selanjutnya

Tutup

Money

Bercengkerama dengan Debt Collector

20 September 2011   00:41 Diperbarui: 26 Juni 2015   01:48 521
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ekonomi. Sumber ilustrasi: PEXELS/Caruizp

Ketika bulan lalu Semerbak Coffee, perusahaan kami, mengadakan outing team building dan family gathering di Puncak, kebetulan bertepatan dengan ulang tahun pertama anak ketiga kami, Axantara.

Kenangan saya langsung melambung ke masa-masa saat istri saya mengandungnya. Karena masa-masa itu bisa dibilang masa-masa yang sangat menantang bagi kami selama kami membina rumahtangga.

Ceritanya dimulai pada Februari 2009. Setelah ikut kelas sebuah pelatihan bisnis, keinginan untuk memiliki usaha makin menggebu. Ada dua franchise yang sudah terbukti bagus track record-nya yang saya incar. Hanya modal yang belum ada. Cari-cari informasi pinjaman usaha kecil ke bank-bank, ternyata persyaratannya sama. Punya agunan aset tak bergerak dan usaha sudah berjalan minimal 2 tahun. Rumah yang kami tempati masih dalam cicilan KPR, jelas tidak bisa dijadikan agunan. Tanah tidak punya. Belum lagi syarat kedua. Yang sudah pasti kami tidak memenuhi, orang ini baru mau mulai usaha kok  :) Jadi jelas tidak mungkin dapat pinjaman usaha dari bank.

Pantas saja wirausaha di negeri ini jumlahnya sedikit, mau pinjam ke bank untuk modal usaha susah sekali.

Pilihan kedua, cari investor atau pemodal. Tidak ada yang minat, baru mulai mau buka usaha soalnya.

Nah di saat seperti itu saya dapat tawaran telpon dari salah satu bank asing yang menawarkan kredit tanpa agunan (KTA). Wah pucuk dicinta ulam tiba nih, saya pikir saat itu. Memang bunganya tinggi sekali, bisa sampai 20-30% per tahun saat itu. Cuma karena persyaratan yang mudah dan proses yang cepat, jadilah KTA ini pilihan saya untuk memodali usaha saya. Perhitungan di atas kertas, profit dari usaha yang akan saya jalankan, bisa menutup cicilan pinjaman KTA tersebut.

Jadilah saya mengambil KTA dari tawaran kartu kredit bank asing tersebut. Karena satu KTA tidak mencukupi untuk pemodalannya, saya apply ke beberapa bank asing penyelenggara KTA. Dan ternyata prosesnya di semua bank tersebut memang cepat. Bahkan tanpa konfirmasi, tiba-tiba uang pinjaman sudah ditransfer ke rekening kita. Tanpa kita bisa menolaknya!

Singkat kata, dengan modal pinjaman KTA tersebut, akhirnya saya berhasil membuka dua usaha franchise. Satu bidang kuliner, satu lagi laundry. Istri saya buka salon dua cabang. Cerita lengkapnya bisa dibaca di sini

Ternyata kadang rencana di atas kertas beda sekali dengan keadaan di lapangan. Karena satu dan lain hal, semua bisnis kami terpaksa ditutup karena merugi. Hanya tersisa bisnis laundry dan Semerbak Coffee. Yang terakhir ini, yang awalnya hanya iseng dan kecil-kecilan ternyata berkembang di luar dugaan (cerita lengkapnya ada di sini).

Tentunya ini berdampak besar ke pembayaran cicilan KTA yang saya ambil. O iya, untuk informasi, KTA yang kami ambil total berasal dari lima bank asing, dengan jumlah total sekitar 300 juta rupiah. Jumlah itu untuk sebagian orang mungkin termasuk kecil untuk sebuah modal usaha. Tapi bagi kami yang baru terjun pertama kali dalam dunia bisnis, itu jumlah yang sangat besar.

Enam bulan pertama kami masih bisa bayar cicilan dari uang cadangan sisa KTA tersebut. Bulan-bulan berikutnya pembayarannya menjadi sangat berat. Menghabiskan sebagian gaji dan seluruh THR saya saat itu. Terpaksa dengan berat hati saya menjual beberapa alat fotografi kesayangan saya untuk menutupi pembayaran cicilan tersebut. Kepanikan mulai melanda. Kebuntuan di depan mata.

Saat kita tidak bisa menjawab tantangan, saat itu lah kita mengharap Tuhan akan turun tangan. Kami berdoa dengan keras minta dibukakan jalan menghadapi kendala kredit macet ini.

Secercah ide muncul dari sebuah postingan di Facebook tentang bisnis pengurusan kredit macet untuk kartu kredit dan KTA. Cari-cari info, dapat saran teman untuk coba jasa tersebut. Setelah kontak dan janjian ketemu, saya meluncur ke kantor jasa tersebut di bilangan Gunung Sahari. Ternyata kantornya sederhana sekali. Hanya satu kios kecil dan satu karyawan. Dia menjelaskan prosedur dan persyaratannya. Biayanya 10% dari total hutang kredit macet. Berarti 30 juta! Tapi katanya bisa dicicil selama 6 bulan. Mereka akan bantu negosiasi dengan pihak bank untuk me-reschedule atau mendiskon pokok hutang KTA saya.

Setelah berunding dengan istri, sepertinya tidak ada solusi lain yang memungkinkan, akhirnya kami mengambil jasa tersebut. Dengan membayar cicilan pertama dari biaya mereka, resmi lah kami bekerjasama dengan perusahaan tersebut.

Ga pernah nyangka.. perusahaan jasa yang kadang selintas terbaca di iklan baris Kompas atau Poskota, yang dulunya saya bingung, apa kerjanya perusahaan ini, ternyata sekarang saya bekerjasama dengan salah satu dari mereka :)

Sementara itu telpon-telpon penagihan dari pegawai bank-bank yang bersangkutan mulai sering masuk. Tidak hanya ke HP saya, juga istri saya. Karena ada dua dari KTA tersebut yang atas nama istri saya. Tidak hanya ke HP tapi juga ke rumah dan ke kantor kami. Ingat lho.. dari lima bank, bukan satu bukan dua. Dan teror itu pun dimulai! Ya, teror.

Semakin lama telpon-telpon semakin sering berdering. Ke HP, ke rumah, ke kantor. Bulan pertama telat bayar, kata-kata dan intonasi yang disampaikan masih dalam batas wajar. Tapi bulan berikutnya, sudah semakin keras dan kasar bahasa yang mereka gunakan. Bahkan berupa makian dan kata-kata kotor. Telpon rumah sampai terpaksa kami cabut untuk mengurangi tekanan meraka, dan takut kalau-kalau anak-anak balita kami yang mengangkat telpon.

Dan yang paling kurang ajar, mereka tidak hanya menelpon kami, tapi juga menelpon orang tua kami. Orang tua kami yang sudah lanjut usia, dimaki-maki karena urusan hutang anaknya yang mereka sama sekali tidak tahu menahu.

Saran dari perusahaan jasa tersebut, sebisa mungkin hindari telpon-telpon tersebut. Dan jangan terpancing. Mereka memang dilatih untuk menteror. Jadi kata-kata yang keluar dari mulut mereka memang di luar batas kesopanan dan kesusilaan.

Tidak berhasil lewat telpon, mereka mulai mengutus orang untuk datang ke rumah atau ke kantor. Itu lah pengalaman pertama kami bertemu muka dengan yang namanya debt-collector. Di teras rumah kami, mulai sering terjadi dialog (ngotot-ngototan tepatnya) antara kami dengan para debt-collector tersebut. Dialog pengunduran pembayaran hutang dan sejenisnya. Karena memang tidak ada lagi uang untuk membayar cicilan-cicilan tersebut. Saya paling tidak kuat saat istri saya menangis setelah menerima telpon atau kedatangan debt-collector tersebut. Saat itu saya cuma bisa berdoa untuk dikuatkan agar bisa melewati semua tantangan yang ada.

Kejadian yang paling tidak bisa saya lupakan adalah pada saat tanggal 31 Desember 2009. Saat banyak orang sudah berlibur dan mempersiapkan pesta tahun baru, hari itu saya didatangi dua orang collector di kantor saya. Dan saya harus membayar hari itu juga cicilan bulan berjalan sebagai syarat untuk proses reschedule. Terpaksa Saya ambil uang ke ATM. Uang yang tadinya untuk pos belanja yang lain. Kebetulan ATM-nya berjarak dua gedung dari kantor saya. Saya berjalan ke gedung tersebut dengan dikawal dari belakang dan ditunggui saat di ATM. Persis seperti tersangka yang takut sewaktu-waktu kabur.

Satu lagi, saat kedatangan lima orang collector di kantor saya. Sofa-sofa di ruang reception kantor saya langsung penuh oleh orang-orang berwajah garang dan berbadan besar.

Kami jadi parno (paranoid) jika ada suara motor berhenti di depan rumah kami. Atau jika pulang ke rumah, mendapati ada motor di parkir di depan rumah, langsung hati seperti tersentak.. “waduh collector lagi nih…” Bayangkan, seminggu bisa 2-3 orang collector datang ke rumah.

Pernah suatu hari saya sedang di jalan, istri saya telpon dari rumah sambil menangis terisak-isak menceritakan bahwa baru saja dia minta tolong satpam kompleks untuk mengusir collector yang ngamuk di rumah kami.

Malu dengan tetangga? Wah.. saya sudah tidak sempat mikir malu. Kami bukan ngemplang atau lari dari tanggungjawab. Kami sedang berjuang untuk menuntaskan masalah kredit macet kami.

Saya ingat satu KTA terakhir yang kami proses diskon dan pelunasannya itu persis bertepatan dengan hari lahir anak kami Axan tadi. Saya pagi berangkat kantor dan sudah ada janji ke bank dimaksud jam 9. Saat saya masih di kereta ekspres Depok-Sudirman, tiba-tiba istri saya telpon sudah mules dan kontraksi. Tapi istri saya bilang, selesaikan dulu saja urusan KTA, baru pulang. Karena sudah tidak tahan, ternyata istri saya berangkat naik taksi ke rumah sakit beberapa saat kemudian dan mendaftar administrasi persalinan sendirian. Sementara saya di kantor bank tersebut menunggu antrian yang lama sekali, karena para staf seperti terlihat menyepelekan. Data kredit yang saya terima via telpon, ternyata berbeda dengan yang ada di database mereka. Karena sudah terlalu lama dan perasaan khawatir terhadap keadaan istri saya, saya tinggalkan bank tersebut dengan menumpang ojek. Langsung dari daerah Gatot Subroto ke Depok. Alhamdulillah anak kami lahir selamat dan saya masih sempat menemani di rumah sakit saat kelahirannya.

Lantas bagaimana dengan bank yang paginya saya mau proses pelunasannya? Seharian itu debt collector mereka menelpon ke HP saya. Cuma karena saya sedang bahagia-bahagianya dengan kelahiran anak kami, saya sengaja bermain-main dengan collector tersebut. Saya katakan “tadi pagi saya datang mau melunasi, malah sistem database Anda ngaco. Bukan salah saya kalau saya tinggalkan untuk menemani istri yang mau melahirkan.” Lantas dia marah-marah, maki-maki dan mengancam-ancam, memang cuma itu sih kerjaan mereka :) Lantas saya tutup dan silent kan HP. Saya tidur siang sambil temani istri di rumah sakit. Sore saya lihat ada puluhan miss-called dan sms dari orang itu hehe.. Emang enak? :)

Itu lah masa-masa terberat yang kami alami. Tidak ada pegangan lain selain menyerahkan pasrah semua kepadaNya. Semakin menyatukan diri denganNya itu jalan satu-satunya.

Susah buat saya untuk menggambarkan suasana perasaan kami di masa-masa itu. Keadaan seperti itu berlangsung hampir satu tahun. Karena tiap bank berbeda-beda masa tenggang re-schedule nya. Beruntung beda-beda, jadi kami masih sempat bernapas. Jika semua bank berbarengan prosesnya, tidak tahu apa yang bakal terjadi.

Bayangkan, kami yang tadinya tidak pernah punya bisnis, lalu pinjam kredit usaha ke bank, tiba-tiba punya kredit macet, berurusan dengan para debt collector yang tidak manusiawi, dan negosisasi dengan bank memproses re-schedule. Semua hanya dalam hitungan bulan.

Saat beberapa waktu lalu mencuat berita tentang tewasnya seorang nasabah bank asing yang dicurigai dilakukan oleh oknum debt collector di ruang negosiasi bank tersebut, percaya tidak, saya pernah ada di gedung yang sama, di bank yang sama, dan di ruangan yang sama, dalam proses negosiasi yang sama seperti yang dialami bapak almarhum tersebut *sigh…

Alhamdulillah, akhirnya dari rejeki yang kami peroleh, kami bisa melunasi dua dari lima KTA tersebut. Dan tiga sisanya di-reschedule dan didiskon pokok hutangnya. Insyaallah masih bisa kami bayar dengan keuntungan usaha kami hingga saat ini.

Mengenai perusahaan jasa perantara pengurusan kredit macet tadi, ternyata mereka hanya memberi kiat-kiat dan informasi mengenai proses diskon dan reschedule kredit. Karena pada akhirnya harus kita sendiri yang menghadapi pihak bank untuk bernegosiasi. Tidak bisa diwakilkan. Jadi setelah saya mengetahui hal ini, saya langsung putus kerjasama dengan mereka. Untung baru bayar satu kali dari rencana enam kali cicilan fee mereka.

Banyak yang bilang ke saya, bahwa saya terlalu gegabah dan nekat dengan meminjam modal usaha dari KTA. Ya mungkin ada benarnya. Cuma kalau mereka tahu bagaimana kuatnya keinginan saya untuk segera punya usaha, berhasil, dan resign dari kantor saya, mungkin mereka akan mengerti. Tapi di balik semua pengalaman menantang tersebut, banyak hikmah yang bisa diambil. Salah satunya adalah, jika saya tidak mengambil pinjaman KTA tersebut, saya mungkin tidak akan buka usaha secepat kemarin, dan mungkin saya idak akan bertemu Iwan Agustian, rekan SMP saya yang mengajak bergabung di TDA Depok, dan tentunya tidak akan lahir Semerbak Coffee, usaha partneran dengan Iwan, yang sekarang saya jalani full-time setelah saya berhasil resign dari kantor tempat saya bekerja bulan lalu.

Beberapa waktu lalu, saya pernah berkunjung ke rumah guru spritual kami yang juga seorang pengusaha sukses di bidang perminyakan. Setelah saya ceritakan semuanya, beliau bilang, “See.. dari setiap kejadian, selalu ada rahmat yang besar di baliknya, jika kita bisa mengambil pelajaran dari kejadian tersebut. Seburuk apa pun kejadian itu”.

Innama’al usri yusra. Fa innama’al usri yusra.. (Quran An Nashr: 5)

Setelah kesulitan itu ada kemudahan. Sesungguhnya setelah kesulitan itu ada kemudahan.

.

Depok 29 Juli 2011

Muadzin F Jihad

Twitter @muadzin

Owner Semerbak Coffee

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun