Mohon tunggu...
Muadzin Jihad
Muadzin Jihad Mohon Tunggu... wiraswasta -

Entrepreneur | Founder & CEO Ranah Kopi | Founder Semerbak Coffee | Father of 3 | Coffee-Book-Movie-Photography-Graphic Design Freak | Blogger | Author "Follow Your Passion" | www.muadzin.com | Instagram & Twitter @muadzin

Selanjutnya

Tutup

Money

Bercengkerama dengan Debt Collector

20 September 2011   00:41 Diperbarui: 26 Juni 2015   01:48 521
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ekonomi. Sumber ilustrasi: PEXELS/Caruizp

Saat kita tidak bisa menjawab tantangan, saat itu lah kita mengharap Tuhan akan turun tangan. Kami berdoa dengan keras minta dibukakan jalan menghadapi kendala kredit macet ini.

Secercah ide muncul dari sebuah postingan di Facebook tentang bisnis pengurusan kredit macet untuk kartu kredit dan KTA. Cari-cari info, dapat saran teman untuk coba jasa tersebut. Setelah kontak dan janjian ketemu, saya meluncur ke kantor jasa tersebut di bilangan Gunung Sahari. Ternyata kantornya sederhana sekali. Hanya satu kios kecil dan satu karyawan. Dia menjelaskan prosedur dan persyaratannya. Biayanya 10% dari total hutang kredit macet. Berarti 30 juta! Tapi katanya bisa dicicil selama 6 bulan. Mereka akan bantu negosiasi dengan pihak bank untuk me-reschedule atau mendiskon pokok hutang KTA saya.

Setelah berunding dengan istri, sepertinya tidak ada solusi lain yang memungkinkan, akhirnya kami mengambil jasa tersebut. Dengan membayar cicilan pertama dari biaya mereka, resmi lah kami bekerjasama dengan perusahaan tersebut.

Ga pernah nyangka.. perusahaan jasa yang kadang selintas terbaca di iklan baris Kompas atau Poskota, yang dulunya saya bingung, apa kerjanya perusahaan ini, ternyata sekarang saya bekerjasama dengan salah satu dari mereka :)

Sementara itu telpon-telpon penagihan dari pegawai bank-bank yang bersangkutan mulai sering masuk. Tidak hanya ke HP saya, juga istri saya. Karena ada dua dari KTA tersebut yang atas nama istri saya. Tidak hanya ke HP tapi juga ke rumah dan ke kantor kami. Ingat lho.. dari lima bank, bukan satu bukan dua. Dan teror itu pun dimulai! Ya, teror.

Semakin lama telpon-telpon semakin sering berdering. Ke HP, ke rumah, ke kantor. Bulan pertama telat bayar, kata-kata dan intonasi yang disampaikan masih dalam batas wajar. Tapi bulan berikutnya, sudah semakin keras dan kasar bahasa yang mereka gunakan. Bahkan berupa makian dan kata-kata kotor. Telpon rumah sampai terpaksa kami cabut untuk mengurangi tekanan meraka, dan takut kalau-kalau anak-anak balita kami yang mengangkat telpon.

Dan yang paling kurang ajar, mereka tidak hanya menelpon kami, tapi juga menelpon orang tua kami. Orang tua kami yang sudah lanjut usia, dimaki-maki karena urusan hutang anaknya yang mereka sama sekali tidak tahu menahu.

Saran dari perusahaan jasa tersebut, sebisa mungkin hindari telpon-telpon tersebut. Dan jangan terpancing. Mereka memang dilatih untuk menteror. Jadi kata-kata yang keluar dari mulut mereka memang di luar batas kesopanan dan kesusilaan.

Tidak berhasil lewat telpon, mereka mulai mengutus orang untuk datang ke rumah atau ke kantor. Itu lah pengalaman pertama kami bertemu muka dengan yang namanya debt-collector. Di teras rumah kami, mulai sering terjadi dialog (ngotot-ngototan tepatnya) antara kami dengan para debt-collector tersebut. Dialog pengunduran pembayaran hutang dan sejenisnya. Karena memang tidak ada lagi uang untuk membayar cicilan-cicilan tersebut. Saya paling tidak kuat saat istri saya menangis setelah menerima telpon atau kedatangan debt-collector tersebut. Saat itu saya cuma bisa berdoa untuk dikuatkan agar bisa melewati semua tantangan yang ada.

Kejadian yang paling tidak bisa saya lupakan adalah pada saat tanggal 31 Desember 2009. Saat banyak orang sudah berlibur dan mempersiapkan pesta tahun baru, hari itu saya didatangi dua orang collector di kantor saya. Dan saya harus membayar hari itu juga cicilan bulan berjalan sebagai syarat untuk proses reschedule. Terpaksa Saya ambil uang ke ATM. Uang yang tadinya untuk pos belanja yang lain. Kebetulan ATM-nya berjarak dua gedung dari kantor saya. Saya berjalan ke gedung tersebut dengan dikawal dari belakang dan ditunggui saat di ATM. Persis seperti tersangka yang takut sewaktu-waktu kabur.

Satu lagi, saat kedatangan lima orang collector di kantor saya. Sofa-sofa di ruang reception kantor saya langsung penuh oleh orang-orang berwajah garang dan berbadan besar.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun