Reklamasi  bukanlah perihal asing yang dilakukan pada masa modern seperti saat ini. Di Indonesia sendiri, walau memiliki kawasan darat yang sungguh luas, akan tetapi nyatanya senantiasa terselip pula aktivitas reklamasi daratan yang berlangsung di negara ini, seperti wacana reklamasi di Bali dan Jakarta.Â
Reklamasi ini sejatinya memiliki penafsiran sendiri yaitu suatu usaha ekspansi darat dengan metode membuka kawasan daratan baru di area tepi laut dengan teknik menumpuk dasar laut dengan material yang bersifat seperti tanah, pasir, bebatuan serta sejenisnya. Dengan kata lain, aktivitas reklamasi adalah mengganti area perairan menjadi area daratan.
Rencana aktivitas reklamasi di Teluk Benoa telah menjadi kunci bahwasannya ada perihal yang direncanakan untuk mengupayakan ekspansi perairan di daerah Benoa untuk menjadikannya sebagai area pariwisata baru di kawasan darat.Â
Pulau Bali yang merupakan salah satu destinasi wisata populer internasional mengundang para kapitalis untuk turut berinvestasi dan pengupayakan seluruh hal supaya rencana reklamasi kemudian dapat diterima oleh pemerintah.Â
Pada tahun 2012, rencana ini kemudian membuahkan hasil karena Gubernur Bali kala itu yakni I Made Mangku Pastika menyetujui tentang perihal reklamasi di Teluk Benoa, Kabupaten Badung, Provinsi Bali tersebut.Â
Hal ini disetujui karena Teluk Benoa dianggap telah mengalami sedimentasi alam, dan perihal reklamasi ini juga sejalan dengan apa yang dibutuhkan pemerintah kala itu yakni kebutuhannya akan lahan pertanahan untuk lebih meningkatkan sektor pariwisata dan perekonomian yang bertujuan sebagai pemekaran kota di kawasantersebut.
Penolakan atas rencana reklamasi di Teluk Benoa kemudian bermunculan karena kebijakan Gubernur Bali atas persetujuannya terhadap reklamasi dianggap telah menyimpang dari apa yang tercantum dalam Perpres Nomor 45 Tahun 2011 yang mana didalamnya menyatakan bahwasannya kawasan area Teluk Benoa merupakan area pelestarian/konservasi alam yang sudah seharusnya dirawat dan dijaga.Â
Oleh karena statusnya sebagai kawasan konservasi dan pelestarian, maka dilarang atas diberlakukannya reklamasi di area tersebut karena dianggap dapat menimbulkan dampak negatif yang bervariatif atas kerusakan lingkungan seperti terganggunya keseimbangan ekosistem, potensi dalam meningkatkan bahaya abrasi dan sebagainya.
Dalam problematika reklamasi ini tentunya melahirkan gejolak sosial yang dimana banyak masyarakat Bali kemudian berhimpun untuk menolak rencana tersebut dengan menciptakan wadah sosial berupa komunitas gerakan perlawanan yang biasa dikenal sebagai ForBALI yang memiliki tujuan untuk mengkampanyekan penolakan atas wacana reklamasi Teluk Benoa yang telah dianggap sebagai suatu keputusan yang menyedihkan.
Pembuatan pulau-pulau baru dipesisir diyakini bukan solusi yang tepat untuk meningkatkan sektor pariwisata dan perekonomian lokal. Karena apabila reklamasi ini terjadi maka dapat mengancam aspek sosial, adat budaya dan kelestarian lingkungan. Maka masyarakat lokal kemudian menuntut kebijakan yang jelas untuk dibatalkannya upaya reklamasi yang dilakukan di Teluk Benoa.
Adanya gejolak sosial yang melahirkan gerakan dan komunitas sosial dapat dipastikan bahwasannya ini merupakan karakteristik aksi sosial yang dimana didalamnya terdapat hubungan konfliktualitas yang nyata.Â