Mohon tunggu...
May Triranto Maharini
May Triranto Maharini Mohon Tunggu... Guru - pembelajar dan tenaga pengajar

Seorang tenaga pendidik. Tertarik dengan keunikan panorama, budaya, dan kuliner. Suka mengungkapkan pikiran melalui tulisan.

Selanjutnya

Tutup

Trip Pilihan

Walking Tour Kota Tua: Pengalaman Unik Bareng Kotekasiana

28 Agustus 2022   11:11 Diperbarui: 28 Agustus 2022   12:10 332
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dokumen Ira Lathief

Sebagai warga Tangerang yang tinggal di perbatasan antara Tangerang dan Jakarta Selatan, saya lebih sering berjalan-jalan ke Jakarta daripada ke Tangerang. 

Bagaimana tidak? Begitu banyak yang ditawarkan oleh kota Jakarta untuk hang out. Ada mall, taman-taman, system kendaraan umum yang rapih, kafe-kafe, dan juga tempat hiburan keluarga seperti Dunia Fantasi, Ancol, dan lain sebagainya. 

Tapi ada juga yang unik, sebuah tempat yang dikenal dengan Kota Tua. Kota Tua ini merupakan sebuah lokasi dengan bangunan-bangunan lama pada masa kolonial yang dilestarikan. Pada abad ke 16, sebenarnya lokasi ini merupakan pusat perdagangan di asia karena pada jaman itu lokasinya sangat strategis sebagai Pelabuhan.

Meskipun sudah beberapa kali ke Kota Tua ini, pada tanggal 16 Agustus 2022 lalu, terima kasih kepada grup komunitas traveler kompasiana, saya berkesempatan untuk mengeksplor Kota Tua dipandu oleh Mbak Ira Lathief dari Wisata Kreatif Jakarta bersama dengan anggota Kotekasiana lainnya. 

Kami berkumpul di lapangan Museum Sejarah Jakarta, tepatnya di depan Kafe Batavia. Oh ya, hadir juga Mbak Gana Stegman yang selama ini saya hanya bisa kenal melalui jejaring sosial. 

Saya senang akhirnya bertemu langsung dengan beliau yang sedang berlibur ke Indonesia jauh-jauh dari Jerman. Mbak Gana ini adalah Kompasianer of the year tahun 2020. Saya perlu berkaca dari beliau karena semangatnya dalam berkarya tidak pernah layu.

Walking tour pun dimulai. Mbak Ira Lathief ingin kami mencoba kuliner di sekitar Kota Tua, termasuk Es Selendang Mayang. Tapi sebelumnya, sambil melewati sisi luar dari Museum Sejarah Jakarta, kami diperlihatkan tempat yang sejarahnya memiliki peran sebagai penjara bawah tanah untuk para tahanan di Gedung tersebut. Maklum, karena museum ini dulunya adalah Balai Kota Batavia. 

Dulu, para tahanan dipenjara di sini, juga hukuman mati pun dilaksanakan masih disekitaran tempat tersebut. Mungkin karena di bawah penguasaan Belanda yang notabene adalah salah satu negara benua Eropa, sistem hukuman mati, diceritakan oleh Mbak Ira Lathief, sama seperti kebanyakan negara di Eropa lainnya pada jaman itu. Yaitu, hukuman mati dilaksanakan di depan umum. 

Setelah melewati situs tersebut, akhirnya kami sampai ke tempat sang pedagang Es Selendang Mayang. Di situ kami melihat bagaimana sang pedagang meracik es. 

Es Selendang Mayang dibuat dari tepung beras yang dibuat menjadi seperti pudding berwarna warni seperti lalu di beri gula aren dan santan beserta es batu. Rasanya manis, gurih dan segar. Pas sekali diminum Ketika haus.

Selanjutnya kami diajak ke sebuah kafe bernama Kafe Jamu Acaraki. Di situ kami diperlihatkan bagaimana membuat jamu dengan cara yang ,enarik, yaitu seperti cara mengolah biji kopi menjadi kopi. 

Nah, bedanya, kalau jamu yang diolah adalah bahan-bahan  untuk membuat jamu seperti kunyit asem dan beras kencur. Unik ya? Mereka bilang alasan untuk membuat kafe seperti ini adalah untuk menarik minat golongan muda yang sekarang lebih mengenal gaya hidup 'ngopi' untuk lebih mengenal jamu dengan gaya racik seperti kopi sehingga anak-anak muda pun mau akrab dengan jamu yang adalah minuman tradisi masyarakat Indonesia. Saya pun turut mencoba rasanya, tidak kalah enak kok dengan nikmatnya kopi, bahkan lebih berkhasiat untuk Kesehatan.

Setelah itu kami duduk-duduk sebentar di pinggiran Kali Besar Kota Tua sambil beristirahat. Di tempat itu Mbak Ira bercerita mengenai gedung bercat merah yang ada di seberang kali besar. Gedung itu dikenal dengan sebutan Toko Merah yang konon dimiliki oleh seorang berdarah tionghoa. Namun sekarang gedung itu jarang digunakan. 

Dulu, pada masa kolonial Belanda, Toko Merah menjadi saksi tempat pembantaian etnis Tionghoa oleh pemerintah Belanda. Mbak Ira bercerita bahwa penyebab pembantaian etnis Tionghoa tersebut karena para orang Tionghoa hendak mengadakan protes atas naiknya pajak yang diberlakukan pemerintah belanda saat itu.

Destinasi selanjutnya adalah mengunjungi Aldi Wayang. Di situ Pak Aldi pemilik toko wayang bercerita mengenai wayang-wayangnya, dan bagaimana iya memenuhi pesanan wisatawan terutama wisatawan asing yang ingin dibuatkan wayang. Beliau bahkan bisa membuat wayang dengan rupa kita loh. 

Hebatnya lagi, beliau juga bisa  memainkan wayang dengan menggunakan Bahasa Inggris. Kami pun dihibur dengan pertunjukkan wayang beliau. Salut pada Pak Aldi ini, terutama karena beliau tetap mempertahankan bisnis membuat wayang walaupun beliau bilang generasi muda termasuk anak-anaknya tampak tak tertarik untuk meneruskannya. Kami tetap doakan yang terbaik untuk Pak Aldi.

Yang menarik, setelahnya, kami mengunjungi Kafe Sunyi. Kafe Sunyi ini seperti kafe-kafe lainnya, menyediakan racikan kopi kesukaan para penikmat kopi. Tetapi ada satu yang membuatnya berbeda, yaitu para baristanya. Para barista dari Kafe Sunyi ini tidak dapat mendengar atau tuli. Tapi di meja pemesanan kita disediakan panduan untuk memesan menggunakan bahasa isyarat. Tapi mereka juga bisa membaca bibir kita loh. Jadi jangan khawatir mengenai cara memesan kopi di sini. 

Oh ya, Kafe ini pemiliknya Fernaldo Gracia yang usianya juga masih muda. Awalnya beliau ditentang dan diremehkan atas idenya untu memperkerjakan barista penyandang disabilitas, namun karena kegigihannya, sekarang Kafe Sunyi sudah memiliki beberapa cabang dan beliau berhasil membuktikan bahwa penyandang disabilitas pun mampu bekerja sebaik orang normal pada umumnya. Kami pun di situ juga diajarkan oleh para barista ini sedikit bahasa isyarat seperti bagaimana mengekspresikan 'I love you'.

Seharusnya perjalanan masih berlanjut ke Kafe Batavia, namun sayangnya saya tidak bisa ikut. Jadi, walking tour saya berakhir di Kafe Sunyi ini. Namun begitu, saya puas dengan pengalaman walking tour Kota Tua ini. Bagi saya, mengetahui hal yang sebelumnya saya tidak tahu, apalagi mengenai sejarah yang ada di Kota Tua, sangatlah berarti. Bahwa yang ada sekarang ini adalah hasil dari apa yang terjadi di masa lalu dan hal itu tidak boleh dilupakan, hasilnya pun perlu dilestarikan dan dikembangkan. Terima kasih Kompasiana dan Kotekasiana yang sudah memberikan pengalaman  baru yang unik bagi saya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Trip Selengkapnya
Lihat Trip Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun