صُومُوا لِرُؤْيَتِهِ
“Berpuasalah karena melihatnya (hilal).” (Muttafaq ‘Alaih) maka siapa yang melihat hilal dengan mata kepalanya sendiri maka ia wajib berpuasa.
2. Adanya orang yang bersaksi telah melihat hilal atau adanya kabar berita terlihat hilal. Puasa Ramadhan bisa dimulai dengan kesaksian seorang mukallaf yang adil. Kabar yang dia sampaikan tentang terlihatnya hilal sudah mencukupi untuk dijadikan landasan dimulainya puasa. Hal ini berdasarkan perkataan Ibnu Umar Rodhiyallahu 'Anhuma,
تَرَاءَى اَلنَّاسُ اَلْهِلَالَ, فَأَخْبَرْتُ رَسُولَ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم أَنِّي رَأَيْتُهُ, فَصَامَ, وَأَمَرَ اَلنَّاسَ بِصِيَامِهِ
“Orang-orang berusaha melihat hilal (bulan sabit), lalu aku beritahukan kepada Rasulullah Shollallahu 'Alaihi Wasallam bahwa aku benar-benar telah melihatnya. Lalu beliau shaum dan menyuruh orang-orang agar shaum.” (HR. Abu Dawud. Hadits shahih menurut Hakim dan Ibnu Hibban).
Diriwayatkan dari Ibnu Abbas Rodhiyallahu 'Anhuma, “Ada seorang badui datang kepada Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam lalu berkata: Sungguh aku telah melihat hilal.”
Kemudian Nabi Shollallahu 'Alaihi Wasallam bertanya, “Apakah engkau bersaksi bahwa tiada Tuhan (berhak diibadahi) kecuali Allah?”
Ia menjawab, “ Ya.”
Beliau bertanya, “Apakah engkau bersaksi bahwa Muhammad itu utusan Allah.”
Ia menjawab, “ Ya.”
Beliau bersabda, “Umumkanlah pada orang-orang wahai Bilal, agar besok mereka shaum.” (HR. Ahmad dan Ashabus Sunan. Dishahihkan Ibnu Huzaiman dan Ibnu Hibban).
Hadist-hadist tersebut memberikan kita gambaran bagaimana kewajiban puasa bagi yang melihat hilal . Dan pada hadist yang lainnya bagaimana menyikapi kesaksian seseorang atas pengakuannya melihat hilal. Kita bisa membandingkan dengan perlakuan kesaksian seseorang pada zaman sekarang ini. Apakah mengucap syahadat sama dengan mengangkat sumpah seperti kebanyakan pengamat hilal yang diterjunkan dewasa ini?
Kesaksian seseorang dianggap dusta atau keliru, kebanyakan dinilai dengan menggunakan ilmu astronomi. Pada proses ini hisab sebenarnya sedang digunakan untuk mengetahui posisi hilal bisa dilihat dengan mata sendiri atau tidak, sehingga dengan gampangnya langsung menjudge kesaksian seseorang atas penglihatan terhadap hilal adalah salah, keliru bahkan dusta. Sementara kalau kita kembalikan pada zaman Rasulullah SAW kondisinya sama sekali tidak menggunakan ilmu hisab (seperti kebanyakan orang yang membid'ah kan ilmu hisab tersebut). Artinya tidak ada perhitungan yang dipakai dalam mengetahui posisi hilal. Sehingga timbul kesan kuat spontanitas mendominasi rukyatul hilal pada zaman Rasulullah SAW. Dan itu pun tidak dengan membentuk tim khusus pengamat hilal seperti layaknya tim pemburu.
Dengan perkembangan ilmu pengetahuan, pengertian rukyatul hilal mengalami pergeseran. Ada yang memaknainya tetap dalam pengertian semula yaitu rukyat bil fi'li dan ada juga yang memaknainya sebagai rukyat bil'ilmi yaitu melihat hilal dengan mata ilmu pengetahuan atau hisab.
Kembali pada Fatwa MUI tersebut maka pengakuan dua metode penentuan awal bulan baru dengan kondisi masing-masing yang memiliki kelebihan dan kekurangannya, maka tentu akan terjadi silang pendapat yang akan sangat sulit ditemukan jalan tengahnya atau persamaannya. Yang lebih utama yang harus dilakukan pemerintah bersama MUI adalah berikhtiar untuk melakukan, dan melakukan terus upaya mewujudkan rekomendasi Keputusan Fatwa tersebut untuk dapat menemukan kriteria penentuan awal bulan secara konsisten. Bila tidak ditemukan kriteria dan cara yang konsisten dalam penentuan awal bulan baru, maka sampai kapan pun akan terjadi perbedaan penentuan kapan awal bulan ramadhan, syawal. Sementara untuk wukuf di bulan dzulhijjah sejauh ini tidak ditemukan perbedaan yang berarti.
Kondisi sekarang tidak bisa berpatokan pada ungkapan, "metode hisab sebagai alat bantu untuk merukyat hilal." Karena ungkapan inilah yang menjadikan keadaan penentuan awal bulan baru tidak konsisten. Apalagi bila cara itu digunakan hanya untuk menentukan dua bulan hijriah saja.
Adanya kemungkinan terjadi perbedaan pendapat dalam penentuan awal bulan ramadhan dan syawal dieleminir dengan melakukan sidang istbat oleh kementerian agama dalam rangka mendapatkan masukan-masukan , data dan pendapat dari berbagai ormas dan pengamat hilal yang sudah di sumpah. Apakah cara seperti ini dikenal pada zaman Rasulullah? dan mengapa saat ada saksi yang di sumpah lalu menyatakan telah melihat bulan tetapi kesaksiannya tidak diterima?? Bukankah hukumnya batal puasa bila ada yang bersaksi telah melihat bulan? dan tentu pula dimulai puasa bila ada yang bersaksi telah melihat bulan. Keraguan terhadap kebenaran kesaksian seseorang, termasuk kejujuran atas orang yang bersaksi dan kesulitan melihat hilal adalah bentuk-bentuk kelemahan penggunaan metode rukyat. Apakah hal-hal seperti ini dapat disamakan dengan kondisi dan keadaan umat Islam di zaman Rasulullah SAW?
Islam tidaklah memberatkan umatnya dalam pelaksanaan semua kewajiban yang harus diemban manusia. Apalagi sampai menimbulkan polemik yang berkepanjangan hingga akhirnya malah tidak melaksanakan kewajibannya sebagai hamba Allah di muka bumi ini.
عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: إِنَّ الدِّيْنَ يُسْرٌ وَلَنْ يُشَادَّ الدِّيْنَ أَحَدٌ إِلاَّ غَلَبَهُ، فَسَدِّدُوا وَقَارِبُوا وَأَبْشِرُوا وَاسْتَعِيْنُوا بِالْغَدْوَةِ وَالرَّوْحَةِ وَشَيْءٍ مِنَ الدُّلْجَةِ