Aku melangkah meninggalkan peron dengan kesadaran baru di dalam kepala. Ternyata, pertama, menjadi warga metropolitan Jakarta selama 30 tahun tak membuatku menjadi "kota" secara kultur. Aku tetaplah seorang "kampung(an)". Seseorang yang gamang ketika tercemplung ke kapsul kecepatan, modernitas terdigitalisasi bernama Whoosh itu.
Kedua, realitas Whoosh itu tidak mengajak serta warga sepanjang koridornya bergerak cepat maju, menyongsong dan menjalani modernitas terdigitalisasi. Warga desa dan kampung di kiri dan kanan rel tetap tertinggal di belakang atau termehek-mehek kalau ada yang mencoba mengejar.
Sebelum keluar dari gedung stasiun ke parkiran, aku mampir dulu di toilet. Sekali lagi nilainya 100.
Saat mengamati air seniku berderai di basin toilet, tiba-tiba timbul sesal di hatiku. "Kenapa pula aku tak kencing di toilet Whoosh tadi? Itu kan bisa melengkapi pengalamanku kencing bermartabat."
Di ujung rel itu aku melirik iri pada iparku. Dia baru saja mendapatkan pengalaman terbaik, boker bermartabat di toilet Whoosh.
"Masa sih aku harus bayar dua ratus lima puluh ribu rupiah lagi hanya untuk pengalaman kencing bermartabat  di toilet Whoosh?" Aku bersungut-sungut dalam hati saat mobil jemputan bergerak meninggalkan parkiran stasiun. [eFTe]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H