Eh busyet. Ternyata ada mesin X-ray bagasi dan pintu pemindai seperti di bandara. Ransel dan tas kami lewatkan di lorong berjalan mesin X-ray. Lalu kami melewati pintu pemindai.Â
Tiiit, alarm menjerit saat tubuhku melewati pintu. Langsung kurentangkan tanganku. Petugas menyapukan tongkat pemindai di sisi kiri dan kanan tubuhku. Aman, jalan terus.
Lha, kok tadi bunyi tit, ya. Embuh, mungkin gara-gara kepala ikat pinggangku.Â
Di pintu elektronik masuk peron, aku yang sok familiar mendadak gamang. Barcode tiket fisik kudekatkan pada pemindai. Bah, mati aku, gak ada reaksi, dua helai pintu tak membuka.Â
"Maaf, Pak. Tiketnya diselipkan ke celah ini," seorang petugas tanggap menolong sambil menunjukkan celah inlet kartu tiket di sisi depan blok pintu. "Nanti keluar di atas situ, pintu akan terbuka. Cabut kartu tiketnya lalu masuk," lanjutnya sopan.Â
Maka jadilah persis seperti itu. "Terimakasih, Mas." Ucapan wajib untuk Mas Petugas yang telah mengatasi gamangku. Aneh juga, selansia ini aku kok gak hapal letak lubang celah.Â
Lewat dari pintu elektronik, aku belok kanan, hendak naik ke Peron 6. Sebab di layar elektronik pengumuman tadi kulihat tertera Whoosh tujuan Tegalluar tersedia di peron itu.
"Maaf, Pak, kereta di Peron Empat," seorang Mbak Petugas menghadang sopan dan mengarahkanku ke eskalator sebelah kiri.Â
Lha, gamang lagi. "Apakah aku salah baca pengumuman tadi?" Aku membatin, sedikit bingung.Â
"Foto dulu! Kenang-kenangan!" Iparku berteriak, menangguhkan langkahku naik ke gerbong Whoosh.
Jadilah kami berpose, foto-fotoan dulu di samping moncong Whoosh. Bergaya seolah-olah kereta cepat itu milik mbah kami. Tampak kampungan? Ya, betul, tapi kami senang.Â