lansia, minoritas Baby Boomers (BB). Ini wilayah kekuasaan mayoritas YZ-ers.
Ya ya ya, aku tahu. Kompasiana ini bukan tempat main paraAku sendiri adalah seorang lansia. Boleh dong aku berbagi gagasan dengan sesamaku, para BB-ers yang (mungkin) masih ingin tampak tegar dan segar itu.Â
Wahai YZ-ers, tolong jangan tertawa. Sebab kelak engkau akan menjadi lansia juga. Dan bila tiba waktumu, kupastikan engkau akan menyesal telah melewatkan tulisan ini.
Mungkin ayah-ibumu atau kakek-nenek kini sudah lansia juga. Jangan malu, akui saja. Bacakan artikel ini untuk mereka. Maka besarlah pahalamu di surga.Â
Lewat tulisan ini, aku hendak berbagi gagasan aksi bikin sketsa (sketching). Itu baik untuk kesehatan para lansia.Â
Tapi tentu saja ini ceritaku, ya. Seturut pengalaman subyektifku.
Boleh aku, lansia ini, mulai berceloteh?
Motorik Halus dan Sketsa
Bagi seorang lansia, kegiatan bikin sketsa itu sehat. Setidaknya bisa menjaga kemampuan motorik halusnya.
Sekadar mengingatkan, motorik halus itu keterampilan penggunaan otot-otot kecil. Semisal otot jemari tangan, pergelangan tangan, dan mata.
Sedangkan sketsa adalah gambar dasar. Bukan karya akhir, hanya semacam rencana atau konsep.Â
Lazimnya sketsa dibikin dengan goresan pensil, konte, tinta, atau cat air di atas kertas.Â
Gambar-gambar ilustrasi dalam tulisan ini adalah contohnya. Simpel, kan?
Sebuah sketsa pada mulanya ada dalam pikiran, berupa gagasan abstrak. Otak kemudian mengkoordinir otot mata, pergelangan, dan jemari tangan untuk menuangkan gagasan itu ke dalam bentuk komposisi garis-garis kongkrit di atas kertas.Â
Jadi selain merawat motorik halus, kegiatan bikin sketsa itu juga melatih otak untuk tetap aktif dan sehat. Setidaknya bantu-bantu mencegah demensia.
Kan gak asyik banget sudah lansia demensia pula. Eh, tahu demensia, kan? Pikun!
Ceritaku Bikin Sketsa
Sebenarnya untuk merawat motorik halus dan otak selama ini aku menulis artikel. Hasilnya ku bagikan terutama lewat blog Kompasiana.
Tapi akhir-akhir ini kadang jenuh juga. Banyak ide tapi rada males nulis. Walau kopi sudah diseduh.
Nah, itu alamat cilaka untuk otak dan motorik halus. Mesti ada solusinya.
Tapi apa, ya.
Ya, itulah, terpikir bikin sketsa. Menuangkan gagasan di kepala menjadi gambar orat-oret di atas kertas. Pakai pinsil atau pulpen.
Obyek sketsaku bisa apa saja tapi aku sedang suka momen-momen indah Paus Fransiskus. Maka jadilah sketsa Paus mencium tangan Imam Besar di Masjid Istiqlal; Paus berpelukan dengan anak kecil; Paus merengkuh ke dadanya seorang difabel; Paus dengan seekor burung beo.
Sketsa-sketsa Paus itu kubuat berdasar foto-foto di media massa daring. Tiga sketsa pertama adalah momen-momen kasih saat kunjungan Paus Fransiskus ke Jakarta (3-6 September 2024) -- di halaman Masjid Istiqlal, rumah Kedutaan Vatikan dan gedung KWI.Â
Sketsa keempat adalah momen Paus melepas burung merpati di piazza Basilika Santo Petrus, Vatikan. Tapi burung merpati kuganti dengan beo. Terinspirasi dari nasihat Paus agar berdoa dari hati, bukan mengulang-ulang di bibir macam beo.
Selain melatih otak dan motorik halus, momen-momen bikin sketsa itu bagiku menjadi laku meditasi juga. Detik demi detik proses bikin sketsa itu membuat jiwaku menjadi terasa tenang, damai.
Apalagi saat bikin sketsa tentang Paus Fransiskus. Ah, rasaku seperti sedang berdoa saja. Apakah Tuhan juga merasa begitu, ya, jangan tanya saya, dong.
Ayo Rekan Lansia, Bikin Sketsamu
Jadi, tunggu apa lagi, rekan-rekan lansia. Ayo, langsung beraksi. Ambil selembar kertas, pegang pensil atau pulpenmu, langsung coretkan gagasanmu menjadi sketsa. Nikmati sketsamu, rasakan manfaatnya.Â
"Tapi aku tak bisa menggambar." Halah, aku tak mau dengar alasan klise macam itu. Jadi lansia jangan malas dan cengenglah.
Begini, ya. Setiap orang pasti bisa menggambar. Bahwa hasilnya aneh, mbingungin, kocak, atau bagaimana, gak usah dipikir.Â
Pokoknya menggambar saja. Macam manapun hasilnya, ya, itulah signaturmu. Kalaupun ditertawakan orang, ya, malah jadi pahala untukmu, kan.
Di sini tak ada tuntutan menjadi penggambar atau pelukis. Aku cuma menganjurkan bikin sketsa sebagai bentuk terapi otak dan motorik halus.Â
Aku sendiri bukan seorang penggambar atau pelukis. Dulu waktu SMP dan SMA tahun 1970-an aku memang pernah bisa melukis. Tapi kemudian, entah kenapa -- jangan ditanya -- berhenti begitu saja.Â
Nah, sekarang saat pergelangan dan jemari tanganku mulai kaku, dan daya ingatku mulai menurun, aku bikin sketsa sebagai terapi.
Hasilnya, ya, begitulah. Garis-garisnya tak sespontan dan selentur dulu. Maklum jemari kadang kaku. Maka garisnya putus-putus, bergelombang, atau zig-zag gak karuan.
Tapi apa peduliku. Ini jemariku, pergelanganku, mataku, dan otakku. Suka-suka akulah, asalkan gak saru dan "sara".
Yang penting akucgembira, motorik halusku tambah lentur, dan daya ingatku tambah baik. Itu tujuan utamaku.
Jadi, sekali lagi, para lansia jangan ragu. Ayo, mulailah bikin sketsa, tentang apa saja. [eFTe]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H