Mohon tunggu...
Felix Tani
Felix Tani Mohon Tunggu... Ilmuwan - Sosiolog dan Penutur Kaldera Toba

Memahami peristiwa dan fenomena sosial dari sudut pandang Sosiologi. Berkisah tentang ekologi manusia Kaldera Toba.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Balige, Kota Betlehem di Tanah Batak

25 Desember 2024   13:05 Diperbarui: 25 Desember 2024   17:41 2814
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gereja Katolik Santo Yosef Balige, Toba sekarang ini (Foto: Albertus Gregory/archdioceseofmedan.or.id)

Pernah mendengar anekdot Batak tentang tempat kelahiran Yesus Kristus? Ceritanya berikut ini.

Pada suatu Perayaan Misa Malam Natal di sebuah gereja Katolik di Tanah Batak, pastor melontarkan pertanyaan retoris dalam kotbahnya. "Dimanakah Yesus Kristus dilahirkan?"

"Di Balige, Pastornami!" Seorang lelaki paruh baya tiba-tiba berteriak menjawab dari bangku paling belakang. Mulutnya meruapkan bau tuak. 

Gereja Katolik Santo Yosef Balige, Toba sekarang ini (Foto: Albertus Gregory/archdioceseofmedan.or.id)
Gereja Katolik Santo Yosef Balige, Toba sekarang ini (Foto: Albertus Gregory/archdioceseofmedan.or.id)

Sebenarnya pastor hendak menceritakan kelahiran Yesus di kandang ternak. Sebagai simbolisasi "Yang Suci" datang ke tengah "yang kotor" untuk membersihkannya.

Tapi jawaban lelaki tadi, entah itu spontan atau karena diprovokasi temannya, juga tak sepenuhnya salah. Di lingkungan Gereja Katolik Tanah Batak, kota Balige memang dijuluki "Betlehem Tanah Batak".

Itu ada ceritanya sendiri.

Pastor Sybrandus van Rossum, OFM Cap, misionaris Katolik pertama di Tanah Batak (Foto: Domain Publik/via wikipedia.org)
Pastor Sybrandus van Rossum, OFM Cap, misionaris Katolik pertama di Tanah Batak (Foto: Domain Publik/via wikipedia.org)

Tempat Lahir Gereja Katolik Tanah Batak

Gereja Katolik datang ke Tanah Batak tahun 1934. Itu 70 tahun di belakang Gereja Protestan.

Gereja Protestan sendiri dibawa Pendeta I.L. Nommensen, "Apostel Batak" asal Jerman, ke Tanah Batak tahun 1864. Nommensen menandainya dengan pendirian gereja HKBP pertama pada tahunn itu di Saitnihuta, Silindung. Tempat gereja itu berdiri dinamainya Huta Dame, Kota Damai atau Jerusalem. Gereja HKBP Hutadame dengan demikian adalah tetenger "Jerusalem Tanah Batak".

Gereja Katolik telat datang ke Tanah Batak karena kendala aturan Pemerintah Kolonial. Dilarang Zending Protestan dan Misi Katolik berkarya di daerah yang sama. 

Tapi, atas kegigihan Mgr Mathias Brans OFM Cap (Vikaris Apostolik Padang 1932-1941), serta oleh desakan sejumlah tokoh Batak sendiri, Pemerintah Kolonial akhirnya mengizinkan Misi Katolik masuk ke Tanah Batak tahun 1933.

Mgr. Mathias Brans langsung menindak-lanjuti izin tersebut. Kota Balige dipilih sebagai titik pusat karya Misi Katolik di Tanah Batak. Lalu pada 5 Desember 1934, Pastor Sybrandus van Rossum OFM Cap diutus dan tiba di Balige sebagai missionaris Katolik pertama.

Pilihan atas kota Balige itu sangat strategis. Terletak di tepi pantai selatan Danau Toba, kota itu terbuka ke empat penjuru. Ke utara (Medan) dan selatan (Sibolga) lewat jalan raya Trans-Sumatera. Ke barat ( Samosir) lewat danau dan ke timur (Parsoburan) lewat jalan darat.

Keterbukaan dan ketersediaan transportasi yang berpusat di Balige membuat kota itu strategis untuk karya Misi Katolik. Onan Balige waktu itu adalah pasar besar, tempat pedagang dan pembeli dari delapan penjuru Tanah Batak bertemu. Pasar itu adalah lokus terbaik untuk persebaran kabar terbaru, termasuk kehadiran dan kiprah Misi Katolik di Tanah Batak.

Berumah di tepi pantai, Pastor Sybrandus memulai karyanya dengan suatu kebingungan. Pesan Mgr. Mathias, berbicaralah di setiap waktu dan tempat dengan orang Batak lalu pertobatkan mereka. 

Tapi bagaimana caranya? Secara religi, orang Batak waktu itu terbagi tiga: Protestan (HKBP), Parugamo Malim (Parmalim), dan Penganut Animisme/Dinamisme. Tiga kelompok itu, terutama yang pertama dan kedua, bukan entitas yang mudah "dipertobatkan".

Tapi Roh Kudus selalu bekerja dengan cara tak terduga, serendipitas. Pada suatu malam Pastor Sybrandus berdiri di tepi pantai. "Horas be ma hita." Dia menyapa dua orang nelayan yang lewat naik perahu di bibir pantai. Dua nelayan itu kaget, ketakutan, lalu kabur.

"Ah, kontak pertama gagal," keluh Pastor Sybrandus dalam hati. 

Tapi dia keliru. Menjelang tengah malam, kedua nelayan tadi datang ke rumah Pastor Sybrandus. Itu persis seperti Nikodemus, seorang imam Yahudi, malam-malam datang menemui Yesus. 

Kedua orang itu, satunya HKBP dan lainnya Parmalim, menanyakan berbagai hal kepada Pastor Sybrandus. Siapakah Sybrandus? Apakah ajaran Katolik itu menyembah berhala? Apakah Katolik akan membangun sekolah bagus seperti di Medan?

Pertemuan pertama itu segera disusul dengan pertemuan-pertemuan berikutnya. Dari tadinya hanya dua orang menjadi banyak orang. Dari tadinya sembunyi-sembunyi malam hari menjadi terbuka di siang hari.

Demikianlah, berkat keramahan dan keterbukaannya dalam betkomunikasi, Pastor Sybrandus berhasil "menjala manusia" di Tanah Batak. Pada pertengahan 1935, tercatat 600 orang telah dibaptis (mayoritas anak kecil), dan 3,200 orang menjadi katekumen (belajar agama Katolik). 

Tak hanya dari Balige dan sekitarnya. Permintaan untuk kunjungan dan pengajaran agama Katolik datang juga dari daerah Samosir dan Uluan di barat daya/utara, Silindung di selatan, Humbang/Hasundutan di barat, dari Habinsaran di timur. 

Tuaian melimpah tapi penuai terlalu sedikit. Mgr. Mathias Brans kemudian mengutus bala bantuan, sejumlah pastor dan bruder Belanda ke Balige untuk menjalankan karya Misi di Tanah Batak. 

Pada tahun 1936, di atas sebidang tanah bekas bioskop dan gudang beras di tepi jalan raya, berdirilah Gereja Katolik Santo Yosef, Paroki Balige. Di belakang gereja dibangun juga sebuah sekolah Katolik. Pasangan gereja dan sekolah ini menjadi pola baku pembangunan komplek gereja Katolik di Tanah Batak.

Dari Paroki Balige inilah agama Katolik kemudian menyebar ke delapan penjuru Tanah Batak. Huria pagaran, atau stasi, segera tumbuh cepat di Uluan, Samosir, Humbang Hasundutan, Silindung, dan Habinsaran (Parsoburan). Selanjutnya pemekaran Paroki Balige yang melahirkan paroki-paroki Sibuntuon (kelak gabung lagi ke Balige), Lintongnihuta, Doloksanggul, Tarutung, Parsoburan, dan Pangururan.

Tuturan di atas adalah kisah kelahiran dan persebaran Gereja Katolik di Tanah Batak. Posisi kota Balige menjadi sentral. Di situlah Gereja Katolik pertama lahir, dan dari situlah dia menyebar ke seluruh penjuru Tanah Batak. Karena itulah Balige dijuluki sebagai "Betlehem Tanah Batak".

Salah satu sudut indah Bona Pasogit Balige (Sumber: via beritawisata.com)
Salah satu sudut indah Bona Pasogit Balige (Sumber: via beritawisata.com)

Ke Balige, ke Betlehem, ke Bona Pasogit, ke Kasih

Balige itu adalah suatu model Betlehem. Betlehem dalam ajaran Katolik dimaknai sebagai lokus kelahiran Sang Kasih, Sabda Yang Hidup Menjadi Daging, Yesus Kristus sendiri. Tempat lahir Hukum Utama: "Kasihilah Tuhan Allahmu dan sesamamu seperti engkau mengasihi dirimu sendiri."

Karena itu kembali ke Betlehem pada hakekarnya adalah kembali ke akar, kembali kepada Hukum Kasih. Sekaligus kembali kepada Damai, karena Kasih adalah rahim Damai. Bukan kesiapan perang yang menjadi sumber damai -- civis pacem parabellum.

Kembali ke Balige sebagai "Betlehem", dalam konteks budaya Batak Toba, dapat dimaknai pula sebagai kembali ke Bona Pasogit, ke tanah kampung kelahiran. Itu berarti pulang ke dalam lingkungan komunitas Dalihan Natolu, struktur tigaan hula-hula (pemberi istri), dongan tubu (kerabat segaris darah), dan boru (penerima istri).

Bagi orang Batak, kembali ke Bona Pasogit sejatinya juga kembali ke akar. Kembali ke tiga nilai utama orang Batak: somba (sebah hormat) marhula-hula, manat (sabar) mardongan tubu, elek (sayang) marboru. 

Tiga nilai itu, bila diperas menjadi satu, pada intinya adalah "kasih". Somba kepada hula-hula adalah cermin kasih kepada Tuhan, karena hula-hula adalah Debata Natarida, Tuhan yang tampak mata. Manat (sabar) kepada dongan tubu dan elek kepada boru adalah cermin kasih kepada sesama.

Jika pada masa Natal (dan Tahun Baru) orang-orang Batak rantau berbondong-bondong mudik ke Bona Pasogit di Tanah Batak, maka pada dasarnya mereka sedang kembali kepada Kasih. Kasih kepada Tuhan dan sesama.

Begitulah, bagi setiap orang Batak, pulang ke Bona Pasogit pada hari Natal adalah pulang ke Betlehem, kembali kepada Kasih.

Selamat Hari Natal, hari kembali kepada Kasih. [eFTe]

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun