Pengakuan kita sebagai "satu dalam empat simbol itu" adanya pernyataan kesadaran bahwa kita "satu bangsa, bangsa Indonesia." Kesadaran itu mengantar tiap warga pada suatu imajinasi tentang sebuah ikatan kebangsaan.
Benedict Anderson (1983), karena itu, menyebut bangsa sebagai "komunitas imajiner". Â Dia adalah bangunan sosial yang berdiri di atas imajinasi sekumpulan sangat besar orang yang menganggap diri satu kesatuan karena faktor kesamaan identitas. Dalam kasus bangsa Indonesia berarti kesamaan identitas berupa empat simbol tadi.
Jelas para warga komunitas imajiner itu bukan dipersatukan interaksi primer antar mereka. Mayoritas dari mereka tidak saling saling kenal, bahkan tidak saling tahu. Satu-satunya yang menyatukan mereka adalah adanya gambaran, imajinasi yang sama tentang persekutuan mereka. Itu menjadi alasan bagi setiap orang untuk menganggap diri sebagai bagian dari suatu komunitas imajiner.Â
Konsep komunitas imajiner di atas dapat dikenakan pada  suporter sepakbola suatu negara.  Sebuah tim nasional sepakbola dalam hal ini dianggap sebagai simbol pemersatu yang hidup dari sebuah bangsa/negara. Di situ berlaku prinsip ini: kita punya satu tim sepakbola nasional, maka kita adalah warga sebangsa.Â
Demikianlah dalam konteks Indonesia, sebagai suatu irisan besar bangsa, Â suporter sepakbola nasional adalah suatu komunitas imajiner dengan timnas simbol pemersatu kelima. Jargonnya menjadi "satu Bahasa Indonesia, satu Bendera Merah Putih, satu Lambang Garuda Pancasila, satu Lagu Indonesia Raya, satu kesebelasan Timnas Indonesia."Â
Bahkan lebih dari itu suporter Timnas Indonesia kini punya "lagu kebangsaan" sendiri, lagu "Tanah Airku" gubahan Saridjah Niung, dikenal sebagai Bu Soed. Tiap kali Timnas Indonesia berlaga di Stadion Utama Gelora Bung Karno Senayan, jika menang atau imbang serasa menang, suporter satu stadion selalu menyanyikan lagu itu sebagai ungkapan rasa bangga, gembira, dan terimakasih.
Bagi suporter nasional, Timnas Indonesia itu secara khusus adalah simbol perjuangan penegakan martabat Indonesia sebagai sebuah bangsa di antara bangsa-bangsa lain. Jika timnas menang maka martabat bangsa terasa diangkat. Sebaliknya jika kalah maka martabat bangsa terasa dibanting.Â
Secara khusus pada kasus kekalahan Timnas Indonesia,  atau kemenangan yang batal, terindikasi sebagai hasil kecurangan maka martabat bangsa akan terasa diinjak-injak. Akibatnya  ragam ekpresi kemarahan suporter kemudian diluapkan sebagai bentuk bela martabat bangsa.
Suporter Indonesia, Kerumunan Hiperreaktif
Paparan di atas sifatnya konseptual atau teoritis. Tujuannya untuk menjelaskan konsep komunitas imajiner sebagai acuan analisis tindakan sosial suporter Timnas Indonesia. Kasus yang dianalisis adalah laga Timnas Indonesia versus Timnas Bahrain yang sarat kontroversi itu.Â
Suporter sepakbola nasional, sekalipun dipahami sebagai komunitas imajiner, tak pernah terorganisir secara konstitusional seperti sebuah bangsa. Hakekat supporter tetaplah kerumunan sosial ekspresif yang tak terorganisir. Sebuah bangsa punya organisasi pemerintah tapi tidak dengan suporter nasional sepakbola. Â Sebuah bangsa adalah kelompok sosial terpimpin sedangkan suporter sepakbola adalah kerumunan sosial ekspresif yang bebas spontan.Â
Karena sifatnya spontan dan tak terorganisir, sebenarnya mungkin lebih pas menyebut kerumunan suporter sepakbola sebagai kuasi-komunitas imajiner. Ciri kesadaran individu suporter sebagai bagian dari sebuah komunitas sudah ada. Akan tetapi ciri keterpimpinan konstitusional tidak ada. Karena itu tindakan suporter tidak bisa dikendalikan lewat jalur birokrasi yang punya wewenang kursif (coercive).