Kompasianer Budi Susilo, biasa kusapa Kang Budi, itu kupersepsikan ikon penyintas stroke. Dia survivor sejati. Tapi tak banyak orang yang tahu itu.
Sekarang kukasih tahu soal itu. Bukan untuk meraih simpati. Bukan, jauh dari itu. Semata untuk berbagi gagasan saja. Â Bahwa stroke bukan akhir segalanya melainkan, sebaliknya, awal segalanya tentang hidup produktif.
Kang Budi adalah bukti hidup tentang itu. Tulisan-tulisannya di Kompasiana sangat terang berkisah tentang itu. Dalam kalimat-kalimat sederhana tapi runtun.Â
Kang Budi dan aku dekat. Tapi belum pernah bersua. Kedekatan itu karena kami serumah di Kompasiana dan di WAG Secangkir Kopi Bersama. Kami kerap saling sapa di WAG dan saling-kunjung di Kompasiana.
Mungkin ini yang disebut jauh di mata dekat di hati. Tapi jelas kami bukanlah dua sejoli. Emangnye kite laki apaan?
***
Kang Budi itu tipe lelaki tangguh. Ini bicara tentang ajang hidup, ya, bukan soal ranjang. Jenis bisnis yang digelutinya dulu mengisyaratkan itu: pemborong dan manajer resto.Â
Dua jenis bisnis itu mempersyaratkan kegigihan. Dilarang cengeng di situ. Orang cengeng main TikTok saja. Kalau dibully netizen, langsung mengadu berurai air mata yuyu ke khalayak sejagad. Strawberry banget!
Kang Budi tidak seperti itu. Tak sekalipun pernah mengisahkan strokenya dengan bahasa sengsara berat.  Kejadian stroke, telat penanganan, lalu lumpuh tubuh sebelah, diceritakannya ringan saja. Seakan sedang makan kacang  di pos kamling sambil ngobrolin orang nebeng jet pribadi.Â
Ketelatan penanganan dan dampak lumpuh itu juga tak disesalinya berkepanjangan. Dia menganggapnya semacam peristiwa seorang ibu muda beli bra kebesaran untuk anak gadisnya. "Ya udah, ntar juga pas kalau dadamu sudah tumbuh," jawabnya enteng menanggapi protes anak gadisnya itu. Cuek banget.