Empat belas hari setelah pemberkatan simbolis oleh Paus Fransiskus, tepatnya pada Kamis 19 September 2024, sebuah Perayaan Misa Syukur Pemberkatan Patung Yesus Sibea-bea diadakan secara konselebarasi di Bukit Sibea-bea, Samosir. Misa dipimpin Uskup KAM Mgr. Kornelius Sipayung, OFM Cap., didampingi Uskup Bandung/Ketua KWI Mgr. Antonius Subianto Bunjamin OSC, l Uskup Palembang Mgr. Yohanes Harun Yuwono, dan Uskup Sibolga Mgr. Fransiskus Tuaman Sinaga.
Misa juga dihadiri oleh Bupati Samosir Vandiko Gultom, Sudung Situmorang selaku penggagas, Praeses HKBP Pdt Rein Justin Gultom, Ketua Yayasan Jadilah Terang Danau Toba (JTDT) Sontaha Pasaribu, para rohaniwan, serta delegasi umat Katolik dan HKBP se-Samosir.
Dengan pemberkatan Patung Yesus Sibea-bea tak berarti patung itu otomatis menjadi sesuatu yang terberkati dan, karena itu, selayaknya disembah dan dipuja agar ketularan berkat juga. Itu penyembahan berhala namanya.
Demikian juga, dengan segala ritual pemberkatan itu, tak berarti patung tersebut menjadi semacam oase rohani semata, tempat orang yang letih dan lesu mereguk air penyegar jiwa. Sebab bila begitu saja, berarti patung itu hanya menjadi suatu pulau yang terisolir dari lingkungan sekitarnya.
Berkat paus dan uskup itu sejatinya adalah sebentuk pengharapan pada Patung Yesus Sibea-bea akan menjadi sentrum pancaran berkah bagi bumi, "rumah yang telah dipercayakan kepada kita" (Bdk. Butir 224 Ensiklik Laudato Si'). Mengingat adanya fakta cekaman krisis ekologi terhadap bumi kita, maka pengharapan itu selayaknya diartikulasikan dalam laku tobat ekologis.
Tobat ekologis itu pada prinsipnya pembalikan perilaku manusia dari pola eksploitatif ke pola konservatif dalam interaksinya dengan tanah, air, serta flora dan fauna.
Dasarnya adalah "kesadaran penuh kasih bahwa kita tidak terpisahkan dari makhluk lainnya, tapi dengan seluruh jagat raya tergabung dalam suatu persekutuan universal yang indah" (Butir 220 Ensiklik Laudato Si').
"Persekutuan universal yang indah" dalam konteks Kaldera Toba, menunjuk pada relasi dan interaksi triangular antara unsur-unsur geologis (batuan/tanah dan air), biologis (hayati, flora dan fauna), dan sosiologis (budaya).
Implikasinya, tindakan manusia terhadap alam (kekayaan geografis dan hayati), disamping demi keberlanjutan sosio-budaya di sari sisi, juga harus mengindahkan resiliensi dan kelestarian sumberdaya geologis dan hayati di sisi lain.
Krisis ekologi Kaldera Toba kini untuk sebagian berpangkal pada gejala tragedi kepemilikan bersama (tragedy of the commons, Garret Hardin). Terlalu banyak pihak yang merasa paling berhak mengeksploitasi dan mendapat manfaat terbesar dari kekayaan geologi dan biologi Kaldera Toba. Tapi terlalu sedikit pihak yang menjalankan kewajiban untuk memelihara kelestariannya.
Tidak seharusnya satu pihak menunjuk hidung pihak lainnya sebagai yang paling bertanggungjawab atas pelestarian ekologi manusia Kaldera Toba. Paus Fransiskus telah menegaskan, "Kita semua dapat bekerja sama sebagai sarana Allah untuk melindungi keutuhan ciptaan, masing-masing sesuai dengan budayanya, pengalamannya, prakarsanya, dan bakatnya sendiri" (Butir 14 Ensiklik Laudato Si').