Masalahnya kemudian, seiring intervensi ekonomi kolonialisme dan selanjutnya kapitalisme, pola adaptasi ekologi yang bersifat konservatif itu secara perlahan tapi pasti bergeser ke pola eksploitatif.
Kekayaan sumberdaya geologis dan hayati dieksploitasi tanpa mengindahkan kaidah-kaidah kelestarian dan keberlanjutan, sehingga Kaldera Toba kini didera krisis ekologi.
Sedikitnya terdapat tiga gejala degradasi lingkungan , indikasi krisis ekologi manusia Kaldera Toba, sebagaimana dipaparkan Badan Pengelola Geopark Kaldera Toba (BPGKT) dalam naskah Master Plan Kaldera Toba 2018-2030.Â
Pertama, peningkatan dan perluasan erosi permukaan tanah. Sekitar 42 persen kawasan Kaldera Toba adalah lereng perbukitan. Kemiringannya di atas 15 persen, curam dan terjal dan, karena itu, rawan erosi. Ditambah fakta 97 persen tanah kaldera tergolong jenis tanah rawan atau rentan erosi (litosol, regosol, podsolik coklat, tanah hutan coklat).Â
Tingkat erosi tinggi itu berdampak ganda. Di satu sisi ia mengupas lapisan atas tanah (top soil), sehingga menambah luas areal lahan kritis (belukar, ilalang, dan gundul) di daerah tangkapan air (DTA) Kaldera Toba. Di lain sisi dia juga meningkatkan volume sedimen danau sehingga terjadi pendangkalan.
Kedua, peningkatan kerusakan lahan dan hutan. Penebangan liar dan konsesi hak pengusahaan hutan tak terkendali. Akibatnya luasan hutan di Kaldera Toba berkurang drastis. Tahun 2012 hanya sisa 58,000 ha (15% DTA), jauh di bawah luasan ideal 144,000 ha (51 % DTA). Kondisi ini mengurangi deposit air tanah sehingga banyak sungai yang mengalami penurunan debit air dan bahkan kekeringan.
Sekali hutan Kaldera Toba dibalak, maka kecepatan pemulihannya pasti kalah oleh kecepatan erosi. Soalnya, di musim kemarau, bekas tanah hutan yang menjadi belukar dan padang ilalang itu rentan terbakar lalu gundul tanpa vegetasi. Atau, di musim hujan, lahan kritis itu rawan longsor dan mengirim banjir bandang ke desa-desa pantai Danau Toba.Â
Ketiga, peningkatan pencemaran air. Polutan utamanya adalah limbah peternakan, pertanian, perikanan jaring apung, dan rumahtangga. Akibatnya air danau mengalami pengayaan kadar hara (eutrofikasi), ditandai oleh meluasnya tutupan eceng gondok di Danau Toba.
Pencemaran air danau itu sudah memukul balik. Dalam beberapa tahun terakhir, ratusan ton ikan telah mati di area budidaya karamba jaring apung. Arus bawah air mengangkat endapan limbah pakan ikan ke permukaan, sehingga ikan mati kekurangan oksigen.
Krisis ekologi manusia di Kaldera Toba itu memerlukan penanganan serius yang bersifat holistik. Jika tidak maka suatu saat kaldera itu akan berubah dari lembah kehidupan menjadi lembah kematian.