Masalah buang-buang makanan itu secara spesifik diingatkan Paus dalam Ensiklik Fratelli Tutti, Saudara Sekalian (3 Oktober 2020). Dalam butir 18 Ensiklik Persaudaraan dan Persahabatan Sosial itu secara jelas dituliskan "Kita tidak lagi peka terhadap segala jenis buangan, mulai dari buangan makanan, yang termasuk di antara yang paling patut dicela.”
Buang-buang makanan itu, dari sudut pandang ajaran iman Gereja Katolik, bukan saja mencerminkan kematian persaudaraan dan belarasa. Tapi juga cermin miskinnya penghargaan kepada bumi. Makanan yang terbuang itu bukan saja menjadi limbah yang mencemari tanah, air, dan udara. Tapi juga membawa konsekuensi eksploitasi berlebihan terhadap sumberdaya pangan alami, dengan dalih kecukupan dan ketahanan pangan.
Ekploitasi berlebih seperti itu akan memperparah masalah-masalah lingkungan fisik dan sosial. Mulai dari kerusakan tata-air, penurunan keanekaragaman hayati, 1pemanasan global, penurunan mutu hidup, dan kemerosotan sosial (bdk. Laudato Si).
***
Pilihan Paus Fransiskus pada menu nasi goreng yang sederhana itu adalah pernyataan iman, khususnya berkenaan dengan praktik persaudaraan tanpa batas, belarasa lintas suku, agama, ras, dan golongan (bdk. Fratelli Tutti).
Melalui pilihan nasi goreng, iman itu diamalkan Paus sekaligus pada aras mikro dan makro. Pada aras mikro, yaitu rekan sepenerbangan, Paus menunjukkan belarasa dengan memakan jenis makanan yang persis sama dengan seluruh penumpang lain dan kru pesawat. Padahal sebagai Paus, Kepala Negara Kota Vatikan, beliau bisa saja meminta menu kelas atas.
Lalu, pada aras makro, pilihan nasi goreng itu adalah pernyataan persaudaraan dan belarasa Paus Fransiskus kepada masyarakat bangsa Indonesia. Bapa Suci pastilah sudah diberi informasi bahwa nasi goreng adalah menu kerakyatan di Indonesia. Menu itu bisa ditemukan dengan mudah dan murah di pinggir jalan. Juga mudah dibikin dengan memanfaatkan nasi sisa kemarin.
Dengan memilih nasi goreng, Paus sedang menunjukkan belarasa kepada mayoritas rakyat Indonesia. Terutama kepada 25 juta orang (9%) penduduk miskin (2024) yang masih terpinggirkan. Termasuk di dalamnya 2 juta jiwa balita yang menderita stunting.
Terkesan sepele tapi Paus Fransiskus telah mengangkat citra nasi goreng dari sekadar menu kerakyatan menjadi makanan persaudaraan tanpa batas. Dengan memilih nasi goreng, Paus telah menempatkan dirinya sejajar sebagai sesama saudara bagi masyarakat Indonesia, tanpa pandang suku, agama, ras, dan golongan.
Dengan demikian, sambil mengunyah nasi goreng sederhana di pinggir jalan, seseorang siapapun dia kini boleh berkata, "Paus Fransiskus adalah kita." (eFTe)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H