"Kita tidak lagi peka terhadap segala jenis buangan, mulai dari buangan makanan, yang termasuk di antara yang paling patut dicela.” - Butir 18 Ensiklik Fratelli Tutti, 3 Oktober 2020
Dalam penerbangan dengan Garuda Indonesia dari Jakarta menuju Port Moresby, Papua Nugini pada Jumat 6 September 2024, Paus Fransiskus memilih hanya nasi goreng sebagai menu makan siang, berlaku sama untuk semua penumpang.
"Paus tidak mau ada sisa," kata Irfan Setiaputra, Dirut Garuda yang awalnya menawarkan tiga jenis menu.
Jalan pikiran Paus sangat sederhana, mudah dipahami warga dari semua lapisan. Jika pihak Garuda menyiapkan tiga jenis menu, maka makanan pasti akan tersisa, sebab setiap penumpang hanya akan memilih satu jenis menu. Tapi karena Bapa Suci sudah menetapkan satu jenis menu untuk semua, maka jumlah porsi makanan praktis mengikuti jumlah penumpang.
Pilihan Paus Fransiskus pada menu nasi goreng itu -- salah satu makanan terenak di dunia versi CNN (2023) -- jelas bukan semata soal selera. Pada saat yang sama pilihan itu juga dituntun oleh nilai persaudaraan dan belarasa.
Faktual di sudut-sudut berbagai negeri tak sedikit warga yang menderita kurang makan atau bahkan kelaparan . Karena itu tindakan membuang makanan sisa mencerminkan matinya persaudaran dan belarasa.
***
Makanan yang terbuang adalah salah satu masalah besar dunia masa kini. Data FAO (2023) memberi gambaran yang mengerikan. Dilaporkan 1.3 juta ton atau sepertiga dari total makanan di dunia ini menjadi limbah. Nilai ekonominya mencapai USD 1.0 triliun.
Jumlah spektakuler makanan yang terbuang itu bersumber pada semua jenis pangan. Mulai dari buah dan sayuran (45% terbuang), ikan dan makanan laut (35%), biji-bijian (30%), produk susu (20%), dan daging/unggas (20%).
Dalam pandangan Gereja Katolik, makanan terbuang itu terjadi sebagai akibat dari berkembangnya "budaya membuang" dalam masyarakat modern dewasa ini. Ikhwal "budaya membuang" ini secara khusus telah diingatkan Paus Fransiskus dalam butir 22 Ensiklik Laudato Si (24 Mei 2015).
Tuntunannya bisa juga dilihat dalam Injil. Ketika Yesus memberi makan 5,000 orang laki-laki (ditambah perempuan dan anak-anak) lewat mukjizat penggandaan lima potong roti dan dua ekor ikan, Dia menyuruh kumpulkan makanan yang tersisa. Banyaknya 12 bakul yang tak boleh terbuang.
Masalah buang-buang makanan itu secara spesifik diingatkan Paus dalam Ensiklik Fratelli Tutti, Saudara Sekalian (3 Oktober 2020). Dalam butir 18 Ensiklik Persaudaraan dan Persahabatan Sosial itu secara jelas dituliskan "Kita tidak lagi peka terhadap segala jenis buangan, mulai dari buangan makanan, yang termasuk di antara yang paling patut dicela.”
Buang-buang makanan itu, dari sudut pandang ajaran iman Gereja Katolik, bukan saja mencerminkan kematian persaudaraan dan belarasa. Tapi juga cermin miskinnya penghargaan kepada bumi. Makanan yang terbuang itu bukan saja menjadi limbah yang mencemari tanah, air, dan udara. Tapi juga membawa konsekuensi eksploitasi berlebihan terhadap sumberdaya pangan alami, dengan dalih kecukupan dan ketahanan pangan.
Ekploitasi berlebih seperti itu akan memperparah masalah-masalah lingkungan fisik dan sosial. Mulai dari kerusakan tata-air, penurunan keanekaragaman hayati, 1pemanasan global, penurunan mutu hidup, dan kemerosotan sosial (bdk. Laudato Si).
***
Pilihan Paus Fransiskus pada menu nasi goreng yang sederhana itu adalah pernyataan iman, khususnya berkenaan dengan praktik persaudaraan tanpa batas, belarasa lintas suku, agama, ras, dan golongan (bdk. Fratelli Tutti).
Melalui pilihan nasi goreng, iman itu diamalkan Paus sekaligus pada aras mikro dan makro. Pada aras mikro, yaitu rekan sepenerbangan, Paus menunjukkan belarasa dengan memakan jenis makanan yang persis sama dengan seluruh penumpang lain dan kru pesawat. Padahal sebagai Paus, Kepala Negara Kota Vatikan, beliau bisa saja meminta menu kelas atas.
Lalu, pada aras makro, pilihan nasi goreng itu adalah pernyataan persaudaraan dan belarasa Paus Fransiskus kepada masyarakat bangsa Indonesia. Bapa Suci pastilah sudah diberi informasi bahwa nasi goreng adalah menu kerakyatan di Indonesia. Menu itu bisa ditemukan dengan mudah dan murah di pinggir jalan. Juga mudah dibikin dengan memanfaatkan nasi sisa kemarin.
Dengan memilih nasi goreng, Paus sedang menunjukkan belarasa kepada mayoritas rakyat Indonesia. Terutama kepada 25 juta orang (9%) penduduk miskin (2024) yang masih terpinggirkan. Termasuk di dalamnya 2 juta jiwa balita yang menderita stunting.
Terkesan sepele tapi Paus Fransiskus telah mengangkat citra nasi goreng dari sekadar menu kerakyatan menjadi makanan persaudaraan tanpa batas. Dengan memilih nasi goreng, Paus telah menempatkan dirinya sejajar sebagai sesama saudara bagi masyarakat Indonesia, tanpa pandang suku, agama, ras, dan golongan.
Dengan demikian, sambil mengunyah nasi goreng sederhana di pinggir jalan, seseorang siapapun dia kini boleh berkata, "Paus Fransiskus adalah kita." (eFTe)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H