Mohon tunggu...
Felix Tani
Felix Tani Mohon Tunggu... Ilmuwan - Sosiolog dan Penutur Kaldera Toba

Memahami peristiwa dan fenomena sosial dari sudut pandang Sosiologi. Berkisah tentang ekologi manusia Kaldera Toba.

Selanjutnya

Tutup

Foodie Pilihan

Gudeg Semarang, Satu Tanya Rasa Usai Makan di Emper Toko

20 Agustus 2024   17:46 Diperbarui: 20 Agustus 2024   18:30 103
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tembalang, Semarang selepas isya, Selasa di awal Agustus  (7/8/2024).

"Aku mau makan malam sama ibu dan ayah," pinta anak gadis kami.

Adakah orangtua yang tega menolak permintaan anak gadisnya untuk makan malam bersama? Kalau pun ada, untuk saat ini, itu pasti bukan aku. Biarpun dana cekak, karena sayang anak, ya kuaada-adakanlah. Sekalipun itu seadanya.

"Mau makan apa?"

"Gudeg koyor Mbak Tum, khas Semarang."

"Gudeg Semarang? Bolehlah."

Aku mengiyakan, istriku juga.  Walau tubuh kami sejatinya sudah merengek minta rebahan. 

Ada rasa penasaran juga dalam hatiku. Ingin tahu bedanya gudeg Semarang dengan gudeg Yogya dan Solo. 

Sebenarnya dalam benakku masih asa sedikit sisa trauma gudeg Wijilan Yogya. Bertahun-tahun lalu, satu warung gudeg yang paling sohor di sana menolak kedatangan kami dengan satu kata, "Habis!" Padahal panci-panci masih cukup berisi gudeg, krecek, opor ayam, telur, sambal dan entah apa lagi.

Ternyata warung gudeg itu lebih mendahulukan pesanan orang di luar sana ketimbang konsumen yang datang langsung ke warung. Gak Yogya banget  Sama sekali tak menghargai tamu dari jauh. Kemana tuh sopan-santun Yogya?

Tapi sudahlah. Itu sudah lama berlalu. Lagi pula ini Semarang, bukan Yogya. 

Maka malam itu jadilah kami meluncur naik mobil "anjem" -- antar-jemput khusus antar mahasiswa --  dari Tembalang via Gombel ke Peterongan. Di situ warung gudeg koyor Mbak  Tum berada -- katanya sejak 1991. Buka tiap hari dari pukul 5 sore sampai pukul 3 dini hari.

Gudeg Gurih Pedas

Tentang gudeg Yogya dan Solo, aku sedikit banyak sudah tahulah rasa, tekstur, dan tampilannya.  Karena sudah sering menkmatinya, entah itu di Yogya, Solo, atau  di sekitar Jabodetabek. 

Gudeg Yogya itu kering.  Warnanya coklat pekat karena sarat bumbu gula jawa.  Sekaligus gula jawa itu memberi rasa manis yang kuat. Rasa manis itu dipertebal pula oleh rasa gulai ayam yang cenderung gurih-gurih manis.  Untuk keseimbangan rasa, harus ditambahkan krecek yang lembut tapi pedas.

Sementara gudeg Solo cenderung nyemek, agak basah.  Bumbu gula jawanya sedikit saja, sehingga rasanya cenderung gurih. Warnanya coklat muda, didapat dari getah daun jati yang direbus bersama nangka muda.

"Rasa, tekstur, dan tampilan gudeg Semarang, ya, mestinya antara Yogya dan Solo," pikirku saat mengantre gudeg koyor Mbak Tum di warungnya.

Jarum arlojiku menunjuk angka pukul 8 malam lewat 10 menit.  Semarang masih di ujung gairah malam.  Warung gudeg Mbak Tum masih cukup ramai.  Pelanggan silih berganti datang dan pergi. 

"Mangan opo, Pakde?" Mas Pelayan bertanya ramah sambil memegang piring di tangan kiri dan sendok besar di tangan kanan.

"Nasi, gudeg, krecek, opor ayam."

"Opor e paha atau dada?"

"Dada."  Aku dari dulu memang selalu pilih dada, besar dan empuk.   Istri dan anak gadisku lebih suka paha.  Katanya lebih juisi. Baiklah, satu keluarga lain-lain selera.  Begitulah demokrasi kuliner.

Kami bertiga duduk lesehan di emperan toko, di depan warung Mbak Tum.  Terpaksa begitu sebab kursi-meja di tenda penuh. Tak mudah sebenarnya bagiku duduk sila. Perut rasanya seperti ganjal roda truk.

"Hmm ... enak. Gurihnya pas, gak terlalu manis. Sambalnya enak, tapi pedas, mantap."  Istriku yang lebih dulu memberi penilaian. Aku setujulah pada penilaian istriku. Bukan karena takut pada istri atau apalah.  Tapi, setelah kucicipi, penilaian istriku memang pas.

Kebetulan istriku dan aku sedang mengurangi konsumsi makanan yang terlalu manis atau terlalu gurih.  Tubuh lansia kami suka protes pada makanan seperti itu.

Pembeda utama gudeg Semarang Mbak Tum dengan gudeg Yogya dan Solo adalah banjir kuah opor ayamnya yang kental. Kuah opor itu yang terutama memberi rasa gurih yang pas pada keseluruhan sajian. Warna kuning kuah itu menutup warna coklat muda gudeg dan krecek. 

Tekstur daging dada ayamnya, ayam kampung,  sangat lembut. Seperti lumat begitu saja di dalam rongga mulut.  Tanpa menyisakan slilit -- ini nilai plus untuk lansia yang geliginya sudah merenggang.  

Sepotong opor dada ayam besar ludes dari piringku. Tapi tidak begitu di piring istri dan anak gadisku.  Opor paha ayam masih bersisa dagingnya. Tak biasanya begitu.

"Dagingnya keras," jawab istriku ketika kutanya mengapa opornya tak dihabiskan.  Anak gadisku juga mengangguk, mengiyakan kata-kata istriku.

"Kok bisa?  Dadanya empuk, kok."  Istriku hanya mengangkat bahu. Tak bisa, atau tak ingin menjelaskan. 

Ya, sudahlah.  Aku juga tak tahu jawabannya.  Hanya bisa menganjurkan dalam hati, "Lain waktu kalau makan gudeg, jangan minta opor paha ayam, tapi dadanya. Pasti besar dan empuk."

Rasa yang Tak Terasakan

Aku tak perhatikan jarum arloji saat usai makan gudeg koyor Semarang Mbak Tum di emperan toko itu.  Mungkin sudah lewat pukul 9 malam.  Waktunya kembali ke Tembalang.

Di dalam "mobol" -- mobil ojek berbasis online -- menuju Tembalang.

"Reimburse, Ayah," anak gadisku menagih uang ganti.  Tadi dia yang membayar makanan.  Karena yakin ayahnya pasti akan menganti, reimburse.

"Berapa?"

"Seratus duapuluh ribu."

"Ya, nanti."

Sambil mengamati lampu-lampu jalan berlarian ke belakang di luar mobol, sebuah tanya mondar-mandir di dalam batok kepalaku. Tentang sesuatu rasa yang kurang dari gudeg koyor yang baru saja kunikmati. 

"Ada yang kurang tapi apa, ya," pikirku.

"Tadi kita makan gudeg koyor Semarang, kan? " Aku bertanya untuk penegasan kepada istriku.

"Iya. Koyor itu pembeda utama gudeg Semarang dengan Yogya dan Solo." 

 Koyor adalah urat-urat daging sapi yang dimasak lama sampai empuk benar. Itu ciri khas gudeg Semarang.

"Kok aku gak merasakan koyornya, ya?"

Serentak istri dan anak gadisku ngakak.  Aku tak mengerti, mengapa mereka justru menertawakan si tua yang sedang bingung ini. Ter-la-lu!

Faktual aku baru saja makan gudeg koyor khas Semarang. Tapi mengapa aku tak merasa makan gudeg koyor tadi, ya. (eFTe)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Foodie Selengkapnya
Lihat Foodie Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun