Ada juga lukisan keramik glazur dipasang pada dinding timur, selatan, dan barat, dengan obyek kereta api uap -- digambarkan berasap tebal. Warnanya coklat tua, semakin menguatkan kesan klasik pada ruang tunggu itu.
Kesan klasik itu disempurnakan oleh lampu dengan disain antik yang menggantung anggun pada langit-langit ruangan. Aku membayangkan, cahaya lampu-nampu itu di malam hari mengalirkan suasana romantis ke seluruh pojok ruangan.
Obyek Wisata yang Terabaikan
"Seberapa banyak penumpang kereta api yang pernah menikmati keindahan ruang tunggu ini? Lalu, dari mereka itu, berapa orang yang mengerti ikhwal keindahan tersebut?"
Dua pertanyaan itu tiba-tiba saja menyeruak di benakku. Aku mengitar pandangan ke sekeliling ruangan. Berharap ada semacam panel yang menyajikan informasi tentang sejarah dan arsitektur Stasiun Tawang Semarang.Â
Sayang sekali. Tak ada panel semacam itu. Barangkali para anggota Direksi KAI tidak menganggap penting hal itu. Sebab mereka mungkin tidak pernah berpikir bahwa stasiun-stasiun kereta warisan kolonial itu adalah obyek wisata sejarah dan arsitektur yang ikonik.
Atau mereka berpikir ruang tunggu itu hanya tempat henti sejenak, atau bahkan selewatan saja. Tak ada penumpang yang perduli pada nilai wisatanya. Para penumpang yang duduk di situ tidak akan melihat-lihat struktur, disain, dan ornamen ruangan. Tapi melihat ke arah peron, menanti kereta tiba atau tersedia.
Tapi mereka salah. Setidaknya kini ada seorang lelaki lansia yang berwisata sambil duduk menanti di ruang tunggu Stasiun Tawang itu.
"Kereta Argo Muria tujuan Stasiun Gambir Jakarta sudah tersedia di jalur tiga. Para penumpang dipersilahkan naik." Terdengar suara lembut perempuan, lewat pengeras suara, mengumumkan ketersediaan kereta menuju Jakarta.
Istriku dan aku segera bangkit dari duduk, sekali lagi menyeret koper beroda melewati pintu peron berpemindai wajah. PT KAI sudah kenal wajah kami berdua. Tak perlu lagi menunjukkan tiket fisik kepada petugas. Tinggal melenggang masuk saja.