Jadi kuibaratkan saja diriku sebagai Sisyphus, raja penipu nan licik, yang dihukum Dewa Zeus mengangkut sebongkah batu besar ke atas bukit. Tapi dia dan batunya selalu menggelinding ke bawah sebelum mencapai puncak. Sebuah lakon sia-sia.
Begitupun diriku. Buat apa sebenarnya susah payah membawa sebongkah perut buncit naik ke Gua Maria Kerep kalau toh dia nanti harus dibawa turun lagi. Itu persis seperti seekor ikan buntal yang mondar-mandir tanpa ide di dalam akuarium. Konyol sekali!
Tapi tentu saja itu sebuah pengingat bahwa, bagi seorang lelaki lansia, berperut buncit itu adalah suatu kesia-siaan. Sungguh tak ada yang bisa dibanggakan dengan perut buncit.Â
Perut semacam itu jelas bukan sebuah cita-cita sehingga layak dan sepantasnya dikempiskan lewat diet dan olahraga sebelum menjadi sumber dari segala kesukaran dan penyakit.
Tapi manalah aku berpikir seperti itu waktu terengah-engah mendaki ke Gua Maria Kerep. Sebaliknya aku merutuki Gen YZ Ambarawa yang menurutku tidak kreatif. Kenapa sih tak ada satu pun di antara mereka yang terpikir bikin start up penitipan perut buncit di pangkal jalan menuju Gua Maria Kerep? Kalaupun harus bayar pakai QRIS, aku lansia BB ini siaplah!
Yah, tabiat manusia. Selalu berupaya menemukan kebenarannya sendiri pada kesalahan orang lain. Aku banget, tuh.
Wasana Kata
Jika berpikir sesuatu yang layak dibagikan kepada khalayak mestilah cerita hebat, maka kita mungkin tidak akan pernah menganggit dan mengagihkan apapun tentang pengalaman kita kepada orang lain.Â
Sebabnya, di atas langit ada langit, sehingga kita mungkin akan terjebak dalam pikiran bahwa "pengalamanku biasa-biasa saja". Atau bila kita menuliskannya, mungkin akan ada teguran pula dari sanubari "Jangan sombong kamu!"
Solusinya menurutku adalah menulis dan membagikan pengalaman-pengalaman konyol kita. Manfaatnya ganda. Sebagai terapi psikis "penertawaan diri" untuk penyadaran demi perbaikan ke depan; sebagai kebajikan mengajak orang lain ikut tertawa demi kesehatan jiwa-raganya; sebagai pelajaran bagi sesama agar terhindar dari kekonyolan serupa.
Jadi jangan pernah mengutuki kekonyolan. Itu semacam karunia juga. Tulis dan bagikan saja dia ke khalayak sebagai kenangan, hiburan, dan pelajaran.
(eFTe)