Aku tak kuat menahan lagi. Ujung saluran sudah semutan tak terkira. Daripada kencing di celana macam Doyok ketanggor pocong, maka dengan gaya atlit jalan cepat, aku terbirit ke pojok barat-laut pasar.
QRIS, AC dan Pewangi
Astaga, apakah ini pintu peron stasiun kereta komuter atau mass rapid transportation (MRT)? Sejenak aku terhenti di depan pintu toilet umum Pasmod BSD. Itu jelas bukan kakus busuk yang kudatangi tempo dulu.Â
Di depanku berdiri siap tegak mesin tiket masuk toilet. Di sampingnya terdapat dua pintu tripod turnstile yang akan berputar membuka setelah barcode tiket ditempelkan pada mesin pemindainya.
"Ini toilet umum, ya, mbak?" Aku bertanya ragu, lugu, kepada nona penjaga. Dia menatapku sambil, tampaknya, menahan tawa geli. Sebegitu "rusa-masuk-kampus" agaknya rupaku di matanya.
"Bisa pakai qris, bisa juga pakai uang limaribuan, Pak," jawab nona penjaga itu ramah menjawab pertanyaanku tentang cara masuk toilet.
Aku pilih memasukkan selembar uang lima-ribuan ke mesin tiket. Dengan QRIS, aku punya sedikit trauma. Karena beberapa kali gagal bayar. Mungkin karena aku gagap teknologi. Di saat genting kebelet kencing, kemungkinan gagal bayar macam itu mesti dinolkan.
Betapapun, inovasi QRIS untuk pembayaran tiket masuk toilet, berikut pintu tripod turnstile itu, adalah inovasi keren. Setidaknya dari segi cara masuk, kini toilet umum sudah sekelas dengan stasiun kereta komuter dan MRT.
Setelah melewati pintu digital itu, aku berbelok ke sisi kiri toilet. Itu belahan yang diperuntukkan bagi laki-laki. Entah kenapa pula ruang laki di toilet umum lazim berada di sebelah kiri. Mungkin itu terbawa urutan simbol penandanya: M|W atau P|W.
Seketika terasa semburan hawa sejuk dari perangkat Air Conditioner (AC) yang menempel di dinding. Kontras benar dengan udara twrik dan berdebu di luar.Â