Aku sudah kencing di 22 provinsi Indonesia tapi barulah di Pasar Modern Bumi Serpong Damai untuk pertama kalinya aku mengalami kencing sebagai peristiwa yang bermartabat.
Pasar Modern Bumi Serpong Damai (Pasmod BSD), Tangerang Banten pada hari Minggu, 12 Mei 2024, lepas tengah hari yang masih terik.
Aku duduk gelisah mengatupkan dengkul di bangku sebuah kedai kebab, menunggu pesanan yang sedang disiapkan. Air kemih rasanya sudah tiba di ujung lubang saluran. Satu senggolan ringan di bokong cukuplah untuk membuatnya muncrat.
"Kebelet kencing," sahutku pendek menjawab istri yang mempertanyakan gaya dudukku yang tak lazim.
Aku menggeleng saat istriku menyarankan buang air seni di toilet umum pasar. Ingatanku masih tentang kakus umum di sudut barat laut Pasmod BSD itu suatu hari bertahun-tahun lalu.
Jorok, terlalu jorok bahkan untuk tempat pembuangan air kencing dan tinja. Bau pesing dan busuk menusuk tajam ke rongga hidung. Membuat air seni, yang waktu itu sudah berada di ujung saluran, naik kembali ke kantung kemih.
Andai ada pilihan lain waktu itu, sekalipun itu peluang kencing di balik bak sampah, maka itulah yang akan kupilih. Atau di balik pohon besar, juga di balik semak atau perdu. Itu pernah menjadi keahlianku di momen-momen darurat.
Bahkan ada yang lebih kreatif di situasi maha genting: di balik pintu mobil di bahu jalan tol. Caranya, berhenti di titik sepi, di ruas jalan yang koridornya nihil rumah dan jalan setapak. Buka pintu depan dan belakang pada sisi kiri mobil. Lalu kencinglah di antaranya mengarah ke alam terbuka. Aaah, leganya.
Hei, jangan ketawa. Itu lebih beradab ketimbang sopir truk yang mengencingi roda truknya. Itu mengingatkanku pada seekor Canis lupus familiaris yang rajin benar mengencingi roda mobilku saat parkir di depan rumah seorang kerabat. Bukan apa-apa, aku takut kalau air kencingnya mengandung asam sulfat.
"Ke toilet sana!" Istriku memotivasi, setengah geli separuh kasihan.