Ya Tuhan, untuk pertama kalinya aku merasa diriku semacam fosil dari era Kitab Perjanjian Lama yang terlempar ke tengah sekelompok Gen Z. Atau mungkin para seminaris itu melihatku seperti mummi yang meracau kacau sambil mondar-mandir di aula mereka.
Mendadak aku tersadar sedang berhadapan dengan suatu Generasi pembaca chats and threads, penonton YouTube dan TikTok. Generasi dengan pola pikir algoritmik, yang percaya bisa bikin apa saja, termasuk tulisan, dengan bantuan aplikasi"Akal Instan" alias Artificial Intelligence (AI).
Kehadiranku di tengah seminaris itu sejatinya memang untuk mengajak mereka menulis dari kedalaman hati. Dengan begitu mereka akan menghasilkan tulisan yang otentik, reflektif, dan bermakna (voice not noise).
Sebagai calon pastor, dalam pandanganku, mereka memerlukan itu bila kelak dipilih Tuhan menjadi imam. Mereka harus membagikan sesuatu yang asli, mendalam, dan sarat makna kepada umatnya, antara lain lewat tulisan.
Tentu aku secara sadar telah menghindar untuk membayangkan format Gereja masa depan. Dengan kemajuan teknilogi informasi dan komunikasi, khususnya AI, sangat mungkin gereja akan bersifat individual dalam ponsel di genggaman, dengan pastor-pastor AI tampan dan cerdas, yang bisa diminta berkotbah sesuai selera, suasana hati, dan keinginan umat individual.Â
"Baiklah," kataku pada akhirnya, "kalian menulislah menurut caramu sendiri. Itu talentamu, hak langsung dari Tuhan. Kalian boleh pakai cara apa saja. Tapi jangan pernah keluar dari koridor tiga nilai ini. Logika, etika, dan estetika."
"Ingat," lanjutku setelah jeda sejenak, "aku tak minta kalian menjadi penulis, hanya berharap kalian semua bisa dan terbiasa menulis."
Aku berkata demikian sambil membayangkan Roh Kudus turun dalam rupa lidah-lidah api di atas kepala para seminaris yang selalu tampil bersemangat itu.Â
Bayangan atau mungkin khayalku itu berangkat dari keyakinan bahwa apa yang dilakukan dengan "iman, harapan, dan kasih" (1 Korintus 13:13) pada akhirnya akan menghasilkan kebaikan. Harapanku kepada para seminaris itu sederhana saja. Dengan terang Roh Kudus, biarlah mereka setia menulis, menulis, dan menulis dari lubuk hati terdalam.
Juga, saat mereka menulis, jangan pernah melupakan tiga nilai yang dinasihatkan si fosil tua ini: logika, etika, dan estetika. (eFTe)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H