Sabtu itu (1/6/2024), menjelang siang, matahari bersinar cerah, tuntas menguapkan kembali titik-titik air embun di rerumputan pelataran gedung Seminari Menengah Christus Sacerdos (SMCS), di Jalan Farel Pasaribu, Pematang Siantar.
Aku berdiri tegak di depan gerbang gedung berumur 72 tahun itu, tepat seperti kulakukan 50 tahun lalu, saat diantar nenekku untuk melalui hari-hari SMP di sekolah calon pastor itu.
Tak ada yang berubah dari struktur gedung utama sekolah berasrama itu. Dari mulut gerbang, jalan masuk menuju lobby gedung itu masih menyerong ke kiri. Hanya saja, kalau dulu jalan itu ditutupi kerikil, sekarang dikeraskan dengan susunan conblock.
Jalan serong itu seolah mengisyaratkan bahwa, dalam pandangan khalayak, masuk seminari itu adalah pilihan menyerong. Atau sekurangnya dinilai aneh, tidak umum.
Lazimnya pilihan remaja, apalagi Batak, lurus-lurus saja. Sekolah umum sampai kuliah, lulus, kerja, kawin, lalu beranak-pinak. Rumusnya: hamoraon (kekayaan), hagabeon (kaya harta dan anak), hasangapon (mulia).
Menjadi seorang pastor, anggota Ordo Saudara Dina Kapusin (Ordo Fratrum Minorum Capuccinorum; OFM Cap) pula? Ah, kata orang, itu jalan menyerong. Sudah selibat, tak kawin dan tak beranak, tak ada penerus marga, miskin pula. Di mana letak mulianya?
Tapi bukan cara pandang manusia, melainkan cara pandang Tuhanlah yang berlaku. Ada tertulis bahwa yang hina dan tak terpandang bagi dunia, dipilih oleh Allah, bahkan yang tak berarti, dipilih oleh Allah untuk meniadakan yang berarti. (1 Korintus 1:28)
Perlahan tapi pasti, aku menghitung langkah menapaki jalan masuk menyerong menuju lobby. Itu persis seperti kulakukan di pagi pertama masuk seminari dulu. Bedanya, aku kini sedang mengawali napak tilas riwayat panggilanku sebagai calon pastor.Â
Napak Tilas
Di lobby itu mataku melihat dinding kosong warna putih, setengahnya keramik warna senada. Kontras dengan 50 tahun lalu. Waktu itu dinding lobby berwarna coklat tua. Pada dinding kanan, dari arah pintu masuk, tergantung sebuah lukisan reproduksi. Aku lupa persisnya lukisan apa. Mungkin repro The Return of The Prodigal Son karya Rembrandt van Rijn?
Ujung lobby itu menyatu dengan selasar gedung utama. Ke sebelah kiri, dulu adalah selasar sektor Golongan Besar (Golbes), kelas-kelas Grammatika, Syntaksis, dan Poesis (1, 2, dan 3 SMA). Ke sebelah kanan, adalah sektor Golongan Kecil (Golkec), kelas-kelas Prima di ujung barat, Secunda, dan Tertia (1, 2, dan 3 SMP).
Ke sebelah kananlah langkah kuarahkan, menyusuri selasar Golkec sampai ke ujung barat. Aku mengenang selasar itu sebagai jalur air mata. Di situ sejumlah anak Prima meneteskan air mata pada minggu pertama berada di seminari. Entah itu karena rindu rumah atau kena risak anak Secunda dan Tertia.
Aku melongok ke dalam ruang paling besar di ujung barat. Itu ruang kelas Prima, tempatku dan kawan-kawan belajar pada tahun pertama.Â
Kami, Prima 1974 seingatku ada 45 orang. Datang dari berbagai paroki se-Keuskupan Agung Medan. Etnisnya aneka ragam: Toba, Simalungun, Karo, Pakpak, Nias, Gayo, Jawa, Cina, dan Manado.Â
Itu untuk pertama kalinya aku berinteraksi dengan ragam suku bangsa. Agar saling paham maka kami wajib menggunakan Bahasa Indonesia. Bukan soal mudah bagiku, anak Toba yang selama SD menggunakan Bahasa Batak, bahkan saat pelajaran Bahasa Indonesia.
Aku duduk sebangku, terdepan kiri, dengan seorang anak Cina Siantar. Dia, lulusan SDK Cinta Rakyat, tak terkalahkan dalam pelajaran "Aljabar" dan "Ilmu Ukur". Saat buntu otak, beberapa kali aku minta diajarinya tapi otakku tetap bebal. Satu-satunya kemenanganku atas dirinya hanyalah "Menggambar".
Ukuran ruang Prima itu paling besar dibanding ruang-ruang kelas Secunda sampai Poesis. Sebab jumlah siswa Prima memang selalu paling besar. Sistem gugur per kuartal -- dulu masih sistem trimester -- membuat jumlah siswa semakin sedikit ketika tiba di kelas Poesis.
Begitulah proses seleksi panggilan menjadi pilihan berlangsung. Setiap kuartal ada saja siswa seminaris yang dikeluarkan. Entah karena perkara otak lemah atau tabiat buruk yang belum ada obatnya waktu itu.
Kelak kuketahui, dari 45 orang kelas Prima 1974 yang terpanggil ke seminari, hanya tiga orang yang dipilih Tuhan menjadi pastor, imam Katolik. Hanya 7 persen. Bayangkan betapa ketatnya seleksi menjadi pastor.
“Bukan kamu yg memilih Aku, tetapi Akulah yg memilih kamu" (Yohanes 15:16). Itulah hukum-Nya. Maka dari sebegitu banyak anak yang terpanggil, sebegitu kecil jumlah yang dipilih-Nya menjadi imam.Â
Itulah misteri panggilan suci. Sepenuhnya rahasia Allah.
Di seberang timur selasar, dipisahkan oleh taman, ada aula untuk rekreasi. Dulu, seusai belajar mandiri malam dalam kelas pukul 19.30-21.00 WIB, kami seminaris Golkec wajib rekreasi di situ.Â
Homo ludens, maka setiap seminaris harus bermain sebagai rekreasi. Boleh pilih permain apa saja yang tersedia. Tenis meja, karambol, ular tangga, halma, catur, gaple, bridge, atau lainnya.Â
Mengiringi rekreasi, Pastor Pengawas memutar lagu-lagu dari kamarnya, diteruskan lewat pengeras suara ke aula. Lazimnya lagu-lagu The Beatles, Bee Gees, The Cats, dan Credence Clearwater Revival. Aku sangat menikmatinya. Tapi, jujur, yang bisa kutangkap cuma frasa-frasa semacam "oblada obladi", "vaya con dios my darling", "dont't forget to remember me", dan "have you ever seen the rain."
Menempel pada dinding selatan aula, kini adalah ruang jemur dan setrika pakaian. Dulu ruang itu bangunan terpisah di sisi selatan. Ruang itu bagi seminaris adalah tempat pelatihan kemandirian. Cuci dan setrika pakaian sendiri. Dulu aku dan kawan-kawan wajib punya ember, sikat pakaian, dan sabun cuci sendiri.Â
Cuci dan setrika pakaian sendiri bukan soal gampang bagiku dan kawan-kawan. Kami datang dari masyarakat patriarkis. Cuci dan setrika pakaian adalah urusan gender perempuan. Laki-laki tahunya pakai saja.
Di sisi timur aula, dipisahkan tembok, terdapat ruang makan seminaris. Dulu ruang itu terbagi dua oleh tembok, belahan barat untuk Golkec dan timurnya untuk Golbes. Sekarang dua ruang itu tetap terbagi dua, tapi hanya terpisahkan oleh dinding kayu. Meja-meja dan bangku-bangku panjang dulu ditata membujur dari utara ke selatan, sekarang melintang dari timur ke barat.
Ruang makan itu, sekali lagi, adalah wahana pelatihan kemandirian, selain tempat mencukupi kebutuhan pangan dan gizi bagi para seminaris. Secara berkelompok per meja, dan bergilir tiap hari , seminaris harus mencuci sendiri semua piring, mangkuk, dan sendok-garpu makan.
Sekali lagi, di ruang makan itu, kepada seminaris diajarkan soal kesetaraan gender. Bahwa pekerjaan domestik cuci perabotan makan itu bukan semata domein perempuan tapi juga laki-laki. Aku ingat kami awalnya kaku saat melakukan pekerjaan itu. Beruntung kadang ada seorang suster yang mengajari. Lebih beruntung lagi bila suster itu muda dan cantik.
Keluar dari ruang makan, menapaki selasar aula ke arah barat, kepala mendongak ke arah utara, menatap aula besar di lantai dua gedung utama. Dulu itu adalah aula tidur untuk Golkec. Aku beranjak ke sana, menaiki tangga naik dari selasar ruang kelas dan, setiba di atas, melongok ke dalam ruang jembar itu.
Aula tidur itu sudah berubah tapi masih tetap mencerminkan kesederhanaan a'la Fransiskan. Polanya tetap barak, berupa barisan ranjang besi bertingkat dengan alas tidur kasur tipis.
Dulu, tahun 1974-1974, kami tidur di atas ranjang kayu kecil beralaskan tikar pandan. Bagiku anak kampung, yang terbiasa tidur di atas dipan atau lantai kayu dengan alas tikar, hal itu bukanlah soal. Tapi bagi anak-anak kota yang terbiasa tidur di kasur kapuk, hal itu jelas penderitaan.
Turun dari aula tidur, aku melangkah cepat keluar lewat pintu selatan gedung utama. Pandangan mataku terbentur pada bangunan baru. Itulah gedung baru SMA Seminari Menengah Christus Sacerdos. Sejak awal 1980-an, SMCS tak lagi membuka kelas SMP, tapi langsung ke SMA. Para seminaris kini belajar formal di gedung baru itu. Gedung lama sepenuhnya difungsikan sebagai asrama.
Aku berjalan mengitari gedung baru itu untuk mencari bangunan ampiteater terbuka di sebelah barat gedung utama. Banyak kenangan tersimpan di situ. Dulu ada pohon mangga besar tegak di sana. Saat musim berbuah, aku termasuk anak yang sangat aktif melempari buah mudanya menggunakan potongan kayu. Bukan untuk dimakan. Senang saja rasanya kalau target kena dan buah berjatuhan ke tanah.
Suatu kali aku dipergoki pastor pengawas sedang melempari buah mangga itu. Hukumannya lumayan layak dan pantas. Disuruh habiskan tiga buah mangga muda yang sudah jatuh. Setelah itu membabat rumput di ampiteater terbuka, saat teman-teman olah raga sore main sepakbola dan voli.
Dari ketinggian ampiteater itu pula aku, dan beberapa teman, dulu kerap menggodai siswi-siswi SMP yang lewat di jalan depan SMCS. Walau calon pastor, kami waktu itu puber juga, tertarik pada lawan jenis.
Ada rasa kecewa tak menemukan lagi ampiteater terbuka itu. Tempat itu kini telah berubah menjadi lapangan voli dan basket berlantai conblock. Ya, pikirku, itu mungkin solusi yang bijak. Takkan ada lagi seminaris nakal yang usil melempari buah mangga dan menggodai renaja perempuan.
Saat melangkah kemali masuk gedung utama, aku sempat melirik pipa talang yang tegak di sudut bangunan. Dulu aku pernah membakar kertas di bawah talang itu. Asapnya naik ke atas, mengepul keluar di puncak talang pada gigir atap. Itu keren banget.
Tapi mendadak pastor pengawas datang berlari dan memarahiku habis-habisan. "Kamu mau bakar seminari, ya!" bentaknya. Itu tuduhan aneh. Aku kan cuma meniru sinyal asap penanda Paus baru telah terpilih.
Refleksi Panggilan
Aku masuk kembali ke gedung utama, menyusuri selasar menuju sektor Golbes di timur. Di aula Golbes kulihat anak-anak Grammatika dan Syntaksis sedang menyimak serius paparan Mas Damar Juniarto, aktivis kebebasan internet dan hak digital, rekan voluntir di Paguyuban Gembala Utama (PGU). Mas Damar sedang mendampingi para seminaris untuk memahami website dan membuat E-Magazine.
Kemarin sore dan malam, lanjut tadi pagi, aku sudah mendampingi mereka untuk membangkitkan talenta menulis, karunia Tuhan bagi setiap orang. Mengambil topik riwayat awal panggilan menjadi pastor, tulisan-tulisan mereka akan diterbitkan dalam E-Magazine.
Saat membaca satu per satu draft tulisan seminaris itu, aku terhenyak oleh kesamaan antara motif mayoritas mereka dan motifku dulu masuk seminari. Ingin seperti pastor-pastor yang datang melayani umat di gereja mereka dulu. Pastor dipandang sebagai sosok ideal, layak diikuti jejaknya.
Aku juga dulu begitu. Motifku ingin seperti pastor paroki kami yang penuh wibawa. Dia sangat dihormati umat. Dia juga senantiasa dikerubuti ibu-ibu muda dan gadis-gadis saat kunjungan layanan.
Barangkali hal tersebut terakhir itu motif sesat. Dalam suatu retret mahasiswa Katolik tahun 1980, empat tahun setelah keluar dari SMCS, seorang senior menegurku. "Kalau cuma ingin dikerubuti wanita, kamu cukup jadi tukang sayur keliling saja, tak perlu jadi pastor," katanya.
Kelak aku paham, untuk bisa menyandang nama ordo "OFM Cap", seorang lelaki Katolik harus bisa menjiwai nilai-nilai kemurnian (selibat), kemiskinan, dan ketaatan. Barangkali para pastor SMCS tak melihat kehadiran benih nilai-nilai itu dalam diriku. Tentu mereka telah mengamati perilakuku selama tiga tahun di SMP Seminari.
Kemudian hari aku menyadari diriku memang bukan tipe manusia yang tahan selibat dan taat pada atasan. Kalau soal hidup miskin, relatiflah. Toh sekarang juga hidupku terbilang miskin harta juga walau, syukur pada Tuhan, tak sampai meranalah.
Benarlah kata-kata Pastor Direktur SMCS yang disampaikan padaku di penghujung tahun 1976. "Kami tidak ingin merusak kebahagiaanmu dengan menahanmu lebih lama di sini." Itu artinya aku harus keluar dari seminari dan mendapatkan kebahagianku di luar sana.
Perasaanku bergolak waktu itu. Sedih, malu, kecewa, dan marah campur-aduk menjadi semacam racun jiwa. "Mengapa Engkau menolakku, Tuhan!" jeritku dalam hati. "Aku tidak bodoh, juga tidak jahat. Aku nakal, iya, tapi apakah Yesus tak pernah nakal waktu kecil?" Aku menumpahkan kata-kata yang kelak kusesali.
Aku meneteskankan air mata saat keluar dari ruang kerja Pastor Direktur. Di selasar, beberapa temanku telah menunggu dengan sikap empatik. Mereka menepuk-nepuk bahuku untuk membesarkan hati. Ya, itu sedikit menolong, kawan, terimakasih.
Hasahatan
Aku melangkah keluar dari lobby gedung utama, persis seperti kulakukan 47 tahun lalu, saat dikeluarkan dari SMCS. "Tidak semua seminaris dipilih Tuhan menjadi imam-Nya." Kalimat Pastor Direktur itu terngiang kembali di dalam benakku.
Saat melangkah menapaki jalan serong ke arah gerbang, telingaku menangkap riuh tawa anak-anak Grammatika dan Syntaksis di aula Golbes. Aku sudah baca tulisan-tulisan mereka. Ada sejumlah seminaris yang mulai meragukan panggilannya.
Sekalipun aku sadar tak semua yang terpanggil akan dipilih-Nya, tapi aku tetap berdoa dalam hati, "Ya, Tuhan, semoga anak-anak itu kelak menjadi pastor semua."
Aku sangat sadar permohonanku adalah kemustahilan. Tapi bukankan ada tertulis (Lukas 18:27): “Apa yang mustahil bagi manusia, tidak mustahil bagi Allah!" [eFTe
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H