Mohon tunggu...
Felix Tani
Felix Tani Mohon Tunggu... Ilmuwan - Sosiolog dan Penutur Kaldera Toba

Memahami peristiwa dan fenomena sosial dari sudut pandang Sosiologi. Berkisah tentang ekologi manusia Kaldera Toba.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Dipanggil tapi Tak Dipilih: Napak Tilas Sentimental di Seminari Menengah Siantar

8 Juni 2024   05:54 Diperbarui: 8 Juni 2024   13:44 1108
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Selasar ruang kelas Golongan Kecil, ruang kiri depan tahun 1974 adalah ruang kelas Prima, sekarang ruang tennis meja (Dokumen Pribadi)

(Dokumen Pribadi)
(Dokumen Pribadi)

Aula tidur itu sudah berubah tapi masih tetap mencerminkan kesederhanaan a'la Fransiskan. Polanya tetap barak, berupa barisan ranjang besi bertingkat dengan alas tidur kasur tipis.

Dulu, tahun 1974-1974, kami tidur di atas ranjang kayu kecil beralaskan tikar pandan. Bagiku anak kampung, yang terbiasa tidur di atas dipan atau lantai kayu dengan alas tikar, hal itu bukanlah soal. Tapi bagi anak-anak kota yang terbiasa tidur di kasur kapuk, hal itu jelas penderitaan.

Turun dari aula tidur, aku melangkah cepat keluar lewat pintu selatan gedung utama. Pandangan mataku terbentur pada bangunan baru. Itulah gedung baru SMA Seminari Menengah Christus Sacerdos. Sejak awal 1980-an, SMCS tak lagi membuka kelas SMP, tapi langsung ke SMA. Para seminaris kini belajar formal di gedung baru itu. Gedung lama sepenuhnya difungsikan sebagai asrama.

Aku berjalan mengitari gedung baru itu untuk mencari bangunan ampiteater terbuka di sebelah barat gedung utama. Banyak kenangan tersimpan di situ. Dulu ada pohon mangga besar tegak di sana. Saat musim berbuah, aku termasuk anak yang sangat aktif melempari buah mudanya menggunakan potongan kayu. Bukan untuk dimakan. Senang saja rasanya kalau target kena dan buah berjatuhan ke tanah.

(Dokumen Pribadi)
(Dokumen Pribadi)

Suatu kali aku dipergoki pastor pengawas sedang melempari buah mangga itu. Hukumannya lumayan layak dan pantas. Disuruh habiskan tiga buah mangga muda yang sudah jatuh. Setelah itu membabat rumput di ampiteater terbuka, saat teman-teman olah raga sore main sepakbola dan voli.

Dari ketinggian ampiteater itu pula aku, dan beberapa teman, dulu kerap menggodai siswi-siswi SMP yang lewat di jalan depan SMCS. Walau calon pastor, kami waktu itu puber juga, tertarik pada lawan jenis.

Ada rasa kecewa tak menemukan lagi ampiteater terbuka itu. Tempat itu kini telah berubah menjadi lapangan voli dan basket berlantai conblock. Ya, pikirku, itu mungkin solusi yang bijak. Takkan ada lagi seminaris nakal yang usil melempari buah mangga dan menggodai renaja perempuan.

Saat melangkah kemali masuk gedung utama, aku sempat melirik pipa talang yang tegak di sudut bangunan. Dulu aku pernah membakar kertas di bawah talang itu. Asapnya naik ke atas, mengepul keluar di puncak talang pada gigir atap. Itu keren banget.

Tapi mendadak pastor pengawas datang berlari dan memarahiku habis-habisan. "Kamu mau bakar seminari, ya!" bentaknya. Itu tuduhan aneh. Aku kan cuma meniru sinyal asap penanda Paus baru telah terpilih.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun