Letak bontean itu kini sekitar 10 m di atas permukaan danau. Setinggi itulah permukaan Danau Toba telah surut sejak 1800-an. Utuk sebagian besar, itu akibat ulah manusia. Antara lain peledakan sumbat batu oleh Belanda di Sigura-gura (1905), pengerukan hulu sungai Asahan (akhir 1970-an), dan pembalakan hutan di lingkar danau.Â
Masih di kaki bukit, gerbang batu untuk masuk kampung Pagarbatu terdapat di sebelah timur. Dari situ ada jalan setapak ke arah barat, lalu belok ke arah selatan (berupa susunan batu-batu) menuju pintu masuk ke undakan pertama.
Undakan pertama: kebun kampung
Di sisi timur parik atau tembok batu undakan pertama, di sebelah selatan gerbang masuk, terdapat sebuah gua keramat yang dinamai Liang Marlangkup, gua bertutup. Konon gua ini tembus ke Tanjungan di jetinggian Samosir.
Bila terdesak oleh musuh, raja Pagarbatu dan warganya konon akan bersembunyi ke dalam gua tersebut. Begitu mereka masuk ke dalam, maka musuh akan kehilangan jejak. Pintu gua tampak tertutup. Itu sebabnya disebut Liang Marlangkup.
Di area undakan pertama tidak ada satupun bangunan atau tinggalan arkeologis. Peruntukan area itu di masa lalu diduga adalah porlak, kebun di sekitar pemukiman. Di situ keberhasilan budidaya tergantung pada kemurahan Nagapadoha/Boraspati Nitano (dewa tanah), Boru Saniangnaga (dewi air), dan Pane Nabolon (dewa musim).
Undakan kedua: pemukiman
Undakan kedua adalah area pemukiman. Di area ini masih bisa ditemukan sejumlah umpak batu, bekas dudukan tiang rumah adat Batak. Eskavasi arkeologis di area ini menemukan antara lain pecahan gerabah.
Rumah terakhir di undakan kedua Pagarbatu adalah tiga rumah adat. Tapi rumah itu sudah hancur, setelah ditinggalkan para penghuninya pada awal 1970-an. Mereka pindah ke kaki bukit agar lebih dekat ke sumber air bersih dan lahan sawah.